Thursday, March 24, 2011

malin kundang

Malin Kundang sedang uring-uringan. Ia bete berat karena beberapa hal. Mulutnya cemberut sambil mengomel. Rambutnya juga kusut karena stress. Istrinya yang melihat suaminya sedari pagi seperti itu lama-lama tidak tahan. Kalau hanya beberapa jam saja Malin Kundang berlaku seperti itu, biasanya karena klub sepak bolanya kalah tadi malam. Tapi ini, ini sudah dari tadi pagi dan sekarang hampir waktunya makan malam. Jadi, di malam hari sebelum tidur, istrinya memijat-mijat bahunya pelan-pelan.

“Ada apa sih, Pap, hari ini kok uring-uringan?” tanya istri Malin Kundang perlahan.

Malin Kundang tidak menjawab, hanya menggerundel pelan.

“Apa karena pekerjaan? Si Toha tidur di kantor lagi?”

Malin Kundang mendengus sambil bilang, “Tidak.”

“Terus kenapa kok hari ini Papi bete?” tanya istrinya lagi sabar.

“Papi lagi sebel, Mam. Tadi pagi papi dapat email dari banyak orang. Mereka marah-marah sama papi. Mencaci maki. Mereka bilang saya setan. Tidak punya perasaan. Tidak punya hati. Dan yang lebih bikin papi marah, mereka bilang papi anak durhaka!”

“Lho? Kok bisa mereka bilang begitu?” sahut istrinya tidak terima. “Memangnya mereka kenal papi?”

“Itulah! Mereka tidak kenal papi, karena itu papi sebel! Tidak kenal kok marah-marah!”

“Apa mungkin mereka habis membaca cerita papi yang terkenal itu?” kata istrinya sambil berpikir-pikir.

“Ah! Cerita papi yang mana?”

“Itu lho, Pi, tentang Malin Kundang anak durhaka!” ucap istrinya lagi.

Malin Kundang termenung. Mengingat-ingat cerita Malin Kundang si anak durhaka, kemudian sinar di wajahnya meredup. Ia tiba-tiba melamun. Mengingat-ingat cerita tentang dirinya yang terkenal beberapa tahun yang lalu. Kemudian ia tersedu.

“Lho, papi kok menangis?” tanya istrinya panik melihat Malin Kundang tiba-tiba terisak-isak.

Setelah beberapa waktu tersedu, Malin Kundang menatap istrinya. “Ternyata orang-orang memang tidak mudah melupakan sesuatu yang diceritakan buruk ya, Mam. Papi jadi ingat salah satu email tadi ada yang mengutuk papi untuk jadi patung selamanya. Orang ini menyalahkan Tuhan karena sudah mengembalikan papi kembali menjadi manusia karena kesalahpahaman.”

Istri Malin Kundang diam saja mendengarkan suaminya itu curhat.

“Padahal waktu itu papi sudah mengadakan konferensi pers. Papi juga sudah minta maaf sama Ibu atas kesalahpahaman yang terjadi. Bukankah waktu itu kamu juga ikut membantu meluruskan, Mam, kalau waktu itu papi tidak bermaksud tidak mengakui Ibu. Bertahun-tahun papi pergi meninggalkan Ibu, dan ketika papi kembali ke kampong, papi betul-betul tidak mengenali lagi Ibu. Papi tidak tahu kalau selama papi pergi Ibu berjuang sendirian untuk menghidupi diri Ibu sendiri. Bahwa kemudian penampilan Ibu jadi buruk dan kumuh seperti itu betul-betul tidak papi sangka. Dalam bayangan papi, Ibu masih berpenampilan seperti Ibu. Bersih, rapi, bersahaja. Papi marah-marah waktu itu karena papi sering dicopet oleh ibu-ibu yang menyamar jadi pengemis kotor. Papi jadi waspada. Lebih baik segera usir sebelum pengemis gadungan itu mencuri barang papi! Betul tidak? Papi tidak pernah malu punya Ibu yang miskin. Papi bisa jadi seperti sekarang kan karena Ibu juga! Masa papi setega itu sama ibu sendiri?”

Terengah-engah Malin Kundang curhat, seperti luapan emosi yang sudah mengendap bertahun-tahun lamanya. Istrinya hanya mengelus-elus tengkuknya menenangkan diri.

“Mereka tidak cuma menulis email, mencaci-caci papi di email, tapi mereka juga menulis status tentang papi di facebook!” lanjut Malin Kundang kemudian mengeluarkan laptopnya. “Coba lihat ini! Papi kenal sama orang ini juga tidak! Tapi dia add papi dan ketika papi confirm dia malah menulis status kayak begini! Coba baca! Itu kan namanya bikin sakit hati!”

Istrinya membaca status yang dimaksud suaminya. “Amit-amit deh jadi Malin Kundang. Memang durhaka betul itu orang! Harusnya jadi patung sampai kiamat! Wah, pap! Ini namanya ngajak perang!” Istrinya ikut marah membaca status tersebut.

“Itulah, mam!” kata Malin Kundang sambil menghela nafas panjang-panjang. “Mereka itu tidak tahu cerita sebenarnya tapi kok berani-beraninya nuduh dan ngomong kasar seperti itu? Tuhan saja sudah memaafkan papi karena buru-buru memaki-maki Ibu yang papi kira pengemis, kok mereka yang bukan Tuhan malah marah-marah? Kenapa mereka tidak tanya dulu bagaimana cerita sesungguhnya?”

Istrinya diam. Termenung sambil memikirkan kata-kata suaminya. Dalam hati sebetulnya ia marah. Sewot pada orang yang menulis status kurang ajar itu di facebook. Jengkel juga pada teman-teman orang itu yang ikutan memberi jempol pada statusnya.

“Barangkali memang sudah sifat dasar manusia, Pap,” kata istri Malin Kundang pelan.

“Maksudnya?”

“Ya, jaman sekarang mereka lebih suka cerita yang tidak benar dan belum selesai tapi heboh dan sensasional daripada kebenaran sederhana yang kurang sensasinya. Coba bayangkan kita baca koran. Mana yang lebih menarik: artis yang menjadi duta PBB atau artis yang video mesumnya beredar? Kita lebih mengikuti artis yang video mesumnya beredar kan? Nah itulah! Jaman sekarang ini jaman yang seperti itu, Pap. Jadi menurut mami, papi tidak perlu bete karena memang sudah susah mengubah masyarakat yang kayak sekarang ini! Kalau kata mami sih, lebih baik papi tidak usah mendengarkan caci maki mereka. Hapus saja email-email itu, buat alamat email baru. Yang di facebook, hapus saja orang yang kurang ajar itu. Atau kalau papi tidak mau menyakiti hatinya, papi bisa mengubah setting supaya status orang itu tidak muncul lagi di wall papi. Beres kan? Daripada dipikirkan dan jadi penyakit? Toh, Ibu sudah tidak marah. Sudah memaafkan papi. Hubungan kalian juga sudah baik. Ibu malah sayang sekali sama anak kita. Nah kurang apa? Masakan gara-gara segelintir orang-orang yang tidak kita kenal, kita jadi uring-uringan? Jadi bete sama orang-orang yang justru mengerti duduk perkaranya? Bagaimana? Betul tidak?”

Malin Kundang terdiam mendengar ocehan istrinya. Ia masih termenung bahkan setelah istrinya telah tertidur pulas disampingnya. Berpikir-pikir benarkah tidak perlu mengklarifikasi kesalahpahaman yang sudah terjadi yang menyebabkan orang-orang itu jadi marah-marah dan mencacinya walaupun tidak kenal padanya? Tapi mungkin, istrinya ada benarnya. Buang-buang waktu saja mengurusi orang-orang yang tidak jelas juntrungannya. Yang tidak mengerti tapi sok mengerti. Yang menghakimi tanpa cari tahu terlebih dahulu ada apa dibalik kejadian itu.

Malin Kundang kemudian mengambil Blackberry-nya. Dicarinya nama Ibunya di daftar Blackberry Messenger-nya. Kemudian diketiknya kalimat yang ada di kepalanya untuk Ibunya.

Malin sayang Ibu.”

Lama sekali BBM itu tidak terjawab sehingga Malin Kundang tertidur, tanpa tahu bahwa pesan itu membuat Ibunya di rumah menangis terharu sambil memeluk Blackberry-nya erat-erat dan bersyukur Tuhan sudah memberi anak seperti Malin Kundang.

Thursday, 24 March 2011
5:25 pm
Sambil menunggu hujan reda

PS: gambar diambil dari sini