Friday, June 03, 2011

negeri yang rendah hati

Seorang motivator muda sedang melamun. Ia melamunkan kesuksesannya yang datang dengan tiba-tiba. Pernah suatu ketika seseorang berkata kepadanya bahwa kesuksesan yang datang dengan tiba-tiba biasanya juga akan pergi dengan tiba-tiba pula. Sebenarnya ia sendiri heran begitu cepatnya kesuksesan dapat ia raih dan itu semua karena ia memutuskan pindah ke negeri ini. Motivator muda ini mendengar dari motivator seniornya tentang negeri yang sekarang ia tinggali ini – bahwa negeri ini merupakan ladang subur bagi motivator-motivator muda macam dirinya. Oleh sebab itu lah, ia mencoba mengadu nasib, mengikuti nasihat seniornya untuk datang ke negeri ini.

Percayalah, kesuksesan yang didapat dengan tiba-tiba itu sangat mengerikan. Tiba-tiba pula ia punya manajer yang mengaturkan jadwal seminarnya, bernegosiasi dengan para klien-nya dan memberikan penawaran berapa jumlah yang harus ditransfer ke rekeningnya untuk satu kali seminar. Tiba-tiba saja untuk seminggu ke depan ia sudah punya jadwal harus kemana dan berbicara tentang apa, dan rekeningnya terus bertambah jumlahnya. Ini aneh. Seharusnya ia senang. Tapi ia tidak.

Manajernya menghampiri motivator muda itu – menepuk bahunya ramah, pertanda ingin membicarakan jadwal baru untuk pekerjaannya sebagai motivator. “Boss, sibuk? Saya ingin membicarakan tentang seminar-seminar beberapa minggu lagi di….” Begitulah manajernya, pertanyaannya kebanyakan retoris, yang menyebabkan ia sering kelabakan menolak permintaannya untuk membawakan seminar yang seperti tak ada habisnya. Yang dibicarakan juga itu-itu saja.

“Saya sibuk,” jawab si motivator itu singkat. Oh ya, nama motivator itu Billy. Bukan Billy Joel, bukan juga Billy Berlapis Baja. Billy. Hanya itu saja. Singkat dan orang-orang mudah mengingat namanya.

Si manajer mengangkat alisnya – tanda bahwa ia tak senang dengan jawaban boss-nya. Oh ya nama manajer ini Julian Eldorado Smith. Dan saya enggan membicarakan namanya. Jadi kita panggil saja manajer ini: Julian. “Tapi saya lihat boss tidak sedang melakukan apa-apa.”

Billy merengut. Memangnya kalau ia tidak kelihatan sedang melakukan apa-apa, ia tidak boleh bilang sibuk? Memangnya sibuk itu selalu berarti melakukan sesuatu? Ia memang sedang sibuk. Sibuk melamun. Melamunkan kesuksesannya yang datang dengan tiba-tiba dan mengkhawatirkan kesuksesan itu akan pergi juga tanpa pamit dan tiba-tiba.

“Jadi begini, Boss, dua minggu lagi….”

“Sudah kubilang aku sibuk!” tukas Billy sewot.

Julian si manajer mengedip-ngedipkan matanya. Belum pernah sebelumnya ia dibentak oleh bossnya. Sebab itu ia menyimpan catatannya dan duduk di sebelah bossnya. Sebagai manajer yang baik, ia harus selalu bersama dengan bossnya dalam suka dan duka, bukan begitu?

“Ada apa, Boss? Akhir-akhir ini saya lihat kok Boss suka melamun?” tanyanya perlahan karena takut membuat Billy tersinggung.

Billy mendesah. “Aku sedang bingung.”

“Bingung kenapa, Boss?” tanya Julian lagi.

“Aku bingung dengan orang-orang di negeri ini,” kata Billy setelah menarik nafas panjang.

“Mengapa harus bingung dengan orang-orang di negeri ini, Boss? Orang-orang sini sangat mengagumi Boss! Mereka memuja Boss! Mereka selalu datang mencari Boss! Dan ini tentu saja keuntungan besar buat kita, Boss!” Manajer Julian mulai berkata-kata dengan semangat.

“Itulah kenapa aku bingung! Aku bingung kenapa orang-orang yang punya profesi sepertiku ini bisa laris manis di negeri ini sementara di negeri tetangga tidak terlalu? Kenapa?” Billy menarik-narik rambutnya frustasi.

Manajer Julian ikutan bingung. Baru kali ini ia melihat seseorang yang malah frustasi karena dipuja dan dikagumi oleh sekelompok besar manusia.

“Kau tahu, Julian, mereka ini terus membutuhkan orang-orang seperti aku karena mereka tidak punya percaya diri. Mereka terlalu rendah hati! Tidak heran negeri ini diberi nama negeri yang rendah hati! Bayangkan saja, ada peraturan yang tak tertulis di negeri ini yang mengatakan bahwa kesombongan adalah dosa besar! Betapa besarnya sehingga orang-orang takut dicap sombong! Hebat nian peraturan ini!”

Julian hendak menyahut tapi Billy masih mengoceh. “Coba saja kau lihat acara-acara mencari bakat di tivi yang mereka bikin? Pernahkah kau dengar para pesertanya berdiri di atas panggung dan berkata: ‘Aku pasti menang!’ atau ‘Ya aku pasti bisa!’ atau ‘Aku sudah pasti bisa melewati ini!’? Pernah? Pernah? Aku tidak pernah! Mereka selalu berkata: ‘Akan kucoba.’ atau ‘Dengan ijin Tuhan.’ atau ‘Semoga saja.’. Ini baru yang namanya petaka!”

Julian kembali mengedip-ngedipkan matanya tak percaya mendengar kata-kata bossnya. “Tapi, Boss…”

“Tunggu! Aku belum selesai! Dan seolah-olah itu semua belum cukup, pernah juga kudengar di acara mencari bakat, seorang juri malah mengomentari apa yang si peserta lakukan di belakang panggung, daripada bakatnya yang ia tampilkan di atas panggung! Seharusnya itu bukan acara mencari bakat! Itu acara mencari sikap! Juri edan! Juri gebleg!”

Lagi-lagi Julian mengedip-ngedipkan matanya mendengarkan Bossnya misuh-misuh.

“Anak-anak tidak pernah diajar untuk percaya diri! Yang mereka ajarkan untuk anak-anak mereka adalah tidak boleh sombong! Tidak boleh angkuh! Kesombongan akan berakibat kejatuhan! Orang tua gila! Orang tua sinting!”

“Tapi, Boss, “ Julian buru-buru menambahkan sebelum Bossnya melanjutkan omelannya. “Bukankah itu baik? Maksud saya, bukankah ajaran tentang kesombongan berakibat kejatuhan itu baik?”

“Memang!” jawab Billy cepat. “Tapi mereka juga harus diajarkan tentang kepercayaan diri! Itu penting! Bagaimana jadinya sebuah negeri jika orang-orangnya tidak ada yang diajarkan tentang kepercayaan diri? Masakan jika ada seseorang mengatakan: ‘Aku pasti bisa.’, yang lain berbisik satu dengan yang lain dan berpendapat bahwa orang ini sombong? Kau tahu apa bedanya kesombongan dengan kepercayaan diri? Tahu? Tahu?!” Billy tiba-tiba berdiri dan mencengkeram kerah baju Julian. Julian gemetar ketakutan melihat Bossnya. Dikiranya Bossnya sudah gila karena tiba-tiba kaya. Ia pernah membaca di koran, orang yang tiba-tiba kaya bisa berlaku yang aneh-aneh.

“Kesombongan adalah ketika kau bilang orang lain tak ada yang bagus, hanya kau sendiri. Tapi kepercayaan diri? Kepercayaan diri bicara tentang kemampuan diri. Talenta! Bakat! Bakat yang dimiliki, bukan yang dimiliki orang lain! Dimana kau bisa melakukan sesuatu dengan baik! Kau tahu? Kau tahu?? Tapi di negeri ini tidak! Negeri ini edan! Orang percaya diri disamakan dengan orang sombong! Karena itu mereka mencari-cari orang seperti aku untuk terus dimotivasi! Sebab orang-orang di sekitarnya sibuk mengkritik, sibuk mencari kesalahan, sibuk mengatakan untuk jangan sombong! Apa bukan edan itu namanya?”

Billy terengah-engah setelah mengeluarkan semua uneg-unegnya. Julian terdiam sejenak dan kemudian berbicara perlahan, “Saya setuju dengan semua ucapan Boss. Negeri ini mungkin memang edan, tapi saya yakin Boss datang kesini untuk bikin perubahan. Mengubah pola pikir mereka. Dan mengubah pola pikir itu memang mahal adanya, Boss. Mengubah budaya itu lebih mahal daripada mengubah sistem. Jadi menurut saya, Boss jangan berhenti menjadi motivator karena mereka disini memerlukan Boss! Mereka sebetulnya ingin betul menjadi percaya diri, cuma selama ini orang-orang yang mereka temui malah menyuruh mereka jadi rendah hati terus. Makanya mereka mencari Boss untuk mengelus-elus hati mereka supaya berubah dan jadi lebih baik. Bukankah itu misi Boss selama ini?”

Billy tercenung mendengar ucapan manajernya. “Tapi kenapa mereka mau membayar mahal saya untuk bikin mereka percaya diri?”

Julian langsung menjawab: “Kepercayaan diri memang mahal harganya, Boss! Sesuatu yang bagus itu memang tidak pernah murah! Boss tahu itu kan?”

Boss Billy kembali termenung-menung dan dalam beberapa menit ia sudah memegang jadwal baru untuk tiga bulan kedepan untuk membawakan seminar motivasi di berbagai tempat di negeri yang rendah hati ini. Ia sadar, pekerjaannya masih banyak, karena hampir setiap sudut di negeri ini menderita penyakit rendah hati. Terlalu akut. Terlalu lama penduduk negeri ini menderita penyakit rendah hati. Ia menghela nafas panjang, dan menganggukkan kepala kepada sang manajer – tanda menyetujui jadwal barunya. Kemudian ia masuk ke kamarnya dan beristirahat.

Ia tak tahu bahwa manajernya punya dua tuan. Tuan lainnya bekerja sebagai juri di acara mencari bakat di negeri itu.


Written by: Jessie
Friday, 3 June 2011
5:11 pm