Wednesday, September 21, 2011

tumpukan bayangan

Masalah umpama bayangan tambahan nan pekat yang mengintip dari balik punggungmu. Ia ada bahkan ketika kamu belum menyadarinya. Dan bahkan kadang-kadang bayangan tambahan itu lebih besar dari yang kamu bayangkan. Begitu besarnya sehingga ketika kamu menyadarinya kamu hanya bisa tegak memandang dengan ngeri tanpa dapat berbuat apapun.


Jadi bayangkan saja, bayangan tambahan itu ada beberapa lembar. Ukurannya bervariasi pula. Yang kecil bisa segera kamu bunuh, tapi yang besar? Butuh berapa kali kekuatanmu sekarang untuk membunuh yang besar-besar itu?


Bayangan-bayangan pekat itu, yang aku benci dengan sedemikian rupa, yang ingin aku usir saja daripada bikin hidupku tambah gelap, malah melekat disana. Dibalik punggungku. Mengintip gerak-gerikku. Lebih parahnya lagi seolah-olah bayangan-bayangan itu punya mulut untuk tertawa terbahak-bahak. Mentertawakan kebodohanku. Mentertawakan nasibku.


Ya, aku memang bodoh. Tidak hanya bodoh, aku juga sial. Tertawalah karena pepatah ini, yang kumodifikasi sesuai dengan keadaanku sekarang ada benarnya: sudah jatuh tertimpa tangga diinjak-injak kucing dan disapa orang lewat demikian, ”Kok kamu bisa jatuh tertimpa tangga dan diinjak-injak kucing?” – seolah-olah semua yang tidak enak itu aku yang ciptakan sendiri, atau ”Kamu jadi naik tangga tidak? Bagaimana hasilnya?” – sehingga harus lagi kuceritakan bahwa aku sudah naik tangga, namun aku jatuh, dan setelah aku jatuh, tangga itu menimpaku, kemudian tak lama kemudian ada kucing lewat dan menginjak-injak harga diriku. Begitulah.


Ada yang bilang pengalaman itu mahal harganya. Dan harus kuakui sebuah pengalaman, semakin rumit dan nampak bodoh pengalaman itu, semakin mahal harganya meski bagi orang lain semata-mata disebabkan oleh kecerobohanku sendiri.


Aku ingin lari. Lari dari bayangan-bayangan yang menghantuiku siang dan malam ini. Yang bahkan tak nampak juga oleh mata orang lain sehingga mereka menganggap aku hanya sedang sinting. Sedang kumat. Sedang super sensitif sehingga tak lagi rasional apalagi masuk akal. Boleh-boleh saja kalian melihat tawaku yang terbahak-bahak. Boleh-boleh saja kalian masih melihat senyumku. Boleh-boleh saja kalian melihat bahwa aku baik-baik saja. Karena aku sehat. Aku tidak sakit secara jasmani.


Tapi disini. Di dalam tubuhku yang tak nampak oleh mata manusia, bahkan oleh mataku sendiri, aku sedang sakit. Aku tidak baik-baik saja. Aku merasa seperti orang paling bodoh dan paling sial di muka bumi ini. Dan untuk kali ini saja, tolong, untuk kali ini saja aku ingin berlebihan. Aku mau egois dan memikirkan apa yang sedang terjadi pada diriku. Sekali ini saja.


Dan karena aku sedang egois, maka kuajukanlah pertanyaan ini. Bagaimana perasaanmu jika kamu sedang stres, punya bertumpuk-tumpuk bayangan di belakang punggungmu dan lelah di waktu yang sama, dan melihat bahwa seseorang yang menjadi salah satu sumber stres-mu, menjadi salah satu bayangan di belakang punggungmu, dan membuatmu lelah mendapatkan apa yang ia inginkan dan bersenang-senang dengan hidupnya? Untuk beberapa waktu saja kamu tidak ingin bertemu dengan orang itu, tapi nasib mengatakan tidak, dan kamu terpaksa harus bertemu dengan orang itu walaupun hanya sekejap. Kamu ingin pura-pura tak melihatnya tapi tak bisa. Karena sudah telanjur tertulis dalam buku kehidupanmu bahwa hari itu kamu akan bertemu dengannya. Dengan orang itu.


Aku hanya ingin waktu berhenti. Berhenti untuk memberikanku cukup ruang untuk sekedar bernafas, tidak memikirkan dan melakukan apapun. Hanya diam dan bernafas. Itu saja yang kubutuhkan saat ini.


Sayangnya, tuan waktu memang tak pernah peduli. Ia terus berjalan. Berjalan. Berjalan. Membiarkan orang-orang sepertiku tersengal-sengal mengikutinya. Berat karena bertumpuk-tumpuk bayangan dibalik punggung mereka.


Monday, 29 August 2011

5:43 pm