Tuesday, December 13, 2011
Monday, December 05, 2011
tentang cinderella
Wednesday, September 21, 2011
tumpukan bayangan
Masalah umpama bayangan tambahan nan pekat yang mengintip dari balik punggungmu. Ia ada bahkan ketika kamu belum menyadarinya. Dan bahkan kadang-kadang bayangan tambahan itu lebih besar dari yang kamu bayangkan. Begitu besarnya sehingga ketika kamu menyadarinya kamu hanya bisa tegak memandang dengan ngeri tanpa dapat berbuat apapun.
Jadi bayangkan saja, bayangan tambahan itu ada beberapa lembar. Ukurannya bervariasi pula. Yang kecil bisa segera kamu bunuh, tapi yang besar? Butuh berapa kali kekuatanmu sekarang untuk membunuh yang besar-besar itu?
Bayangan-bayangan pekat itu, yang aku benci dengan sedemikian rupa, yang ingin aku usir saja daripada bikin hidupku tambah gelap, malah melekat disana. Dibalik punggungku. Mengintip gerak-gerikku. Lebih parahnya lagi seolah-olah bayangan-bayangan itu punya mulut untuk tertawa terbahak-bahak. Mentertawakan kebodohanku. Mentertawakan nasibku.
Ya, aku memang bodoh. Tidak hanya bodoh, aku juga sial. Tertawalah karena pepatah ini, yang kumodifikasi sesuai dengan keadaanku sekarang ada benarnya: sudah jatuh tertimpa tangga diinjak-injak kucing dan disapa orang lewat demikian, ”Kok kamu bisa jatuh tertimpa tangga dan diinjak-injak kucing?” – seolah-olah semua yang tidak enak itu aku yang ciptakan sendiri, atau ”Kamu jadi naik tangga tidak? Bagaimana hasilnya?” – sehingga harus lagi kuceritakan bahwa aku sudah naik tangga, namun aku jatuh, dan setelah aku jatuh, tangga itu menimpaku, kemudian tak lama kemudian ada kucing lewat dan menginjak-injak harga diriku. Begitulah.
Ada yang bilang pengalaman itu mahal harganya. Dan harus kuakui sebuah pengalaman, semakin rumit dan nampak bodoh pengalaman itu, semakin mahal harganya meski bagi orang lain semata-mata disebabkan oleh kecerobohanku sendiri.
Aku ingin lari. Lari dari bayangan-bayangan yang menghantuiku siang dan malam ini. Yang bahkan tak nampak juga oleh mata orang lain sehingga mereka menganggap aku hanya sedang sinting. Sedang kumat. Sedang super sensitif sehingga tak lagi rasional apalagi masuk akal. Boleh-boleh saja kalian melihat tawaku yang terbahak-bahak. Boleh-boleh saja kalian masih melihat senyumku. Boleh-boleh saja kalian melihat bahwa aku baik-baik saja. Karena aku sehat. Aku tidak sakit secara jasmani.
Tapi disini. Di dalam tubuhku yang tak nampak oleh mata manusia, bahkan oleh mataku sendiri, aku sedang sakit. Aku tidak baik-baik saja. Aku merasa seperti orang paling bodoh dan paling sial di muka bumi ini. Dan untuk kali ini saja, tolong, untuk kali ini saja aku ingin berlebihan. Aku mau egois dan memikirkan apa yang sedang terjadi pada diriku. Sekali ini saja.
Dan karena aku sedang egois, maka kuajukanlah pertanyaan ini. Bagaimana perasaanmu jika kamu sedang stres, punya bertumpuk-tumpuk bayangan di belakang punggungmu dan lelah di waktu yang sama, dan melihat bahwa seseorang yang menjadi salah satu sumber stres-mu, menjadi salah satu bayangan di belakang punggungmu, dan membuatmu lelah mendapatkan apa yang ia inginkan dan bersenang-senang dengan hidupnya? Untuk beberapa waktu saja kamu tidak ingin bertemu dengan orang itu, tapi nasib mengatakan tidak, dan kamu terpaksa harus bertemu dengan orang itu walaupun hanya sekejap. Kamu ingin pura-pura tak melihatnya tapi tak bisa. Karena sudah telanjur tertulis dalam buku kehidupanmu bahwa hari itu kamu akan bertemu dengannya. Dengan orang itu.
Aku hanya ingin waktu berhenti. Berhenti untuk memberikanku cukup ruang untuk sekedar bernafas, tidak memikirkan dan melakukan apapun. Hanya diam dan bernafas. Itu saja yang kubutuhkan saat ini.
Sayangnya, tuan waktu memang tak pernah peduli. Ia terus berjalan. Berjalan. Berjalan. Membiarkan orang-orang sepertiku tersengal-sengal mengikutinya. Berat karena bertumpuk-tumpuk bayangan dibalik punggung mereka.
Monday, 29 August 2011
5:43 pm
Friday, June 03, 2011
negeri yang rendah hati
Tuesday, May 10, 2011
cerita dalam celana
Thursday, March 24, 2011
malin kundang
Monday, February 21, 2011
kursi
Thursday, February 17, 2011
hadiah
Wednesday, February 16, 2011
sebuah rumah
Monday, February 14, 2011
hari yang baik untuk mati
Hari ini, jika bisa diwakili oleh sebuah warna, barangkali warna yang paling tepat adalah hitam keabu-abuan. Hari dimana sebuah pikiran mampir di benaknya bahwa mati barangkali lebih baik daripada hidup.
Banyak orang takut mati. Sebagian besar mengakuinya, namun sisanya bilang bukan kematiannya yang ditakuti tapi bagaimana cara mereka mati. Ia berpikir, kematian seperti gentayangan menakuti semua orang karena orang-orang itu tidak tahu ada apa dibalik kematian itu? Kemana jiwa mereka pergi? Masih bisakah mereka melihat orang-orang yang mereka cintai? Mereka kenal? Masih bisakah mereka membenci orang-orang yang mereka benci waktu mereka hidup? Atau masih bisakah mereka menyeruput minuman favorit masing-masing?
Hari ini, ia tidak peduli. Hari ini, menurutnya, hari yang baik untuk mati. Seorang teman pernah berandai-andai bahwa ada hari yang indah untuk mati. Dimana cuaca demikian bagus. Udara demikian segar. Segala sesuatu berjalan dengan baik. Orang-orang yang dicintainya ada disitu semua. Tapi jika semuanya begitu indah, ia berkilah pada temannya, mengapa harus mati? Hari ini, dimana segala sesuatu tidak ada yang beres, adalah hari yang baik untuk mati. Umpama sebuah ruangan, maka yang biasa tersusun rapi di ruangan tersebut, terjungkir kesana-kemari. Tempat tidur yang biasanya berada di dekat dinding, ada di tengah-tengah ruangan, merusak estetika interior. Kunci mobil yang harusnya ada diatas rak supaya mudah dijangkau ada di bawah kolong sofa, entah siapa yang iseng menaruhnya disitu. Buku-buku yang tersusun rapi menurut abjad, tiba-tiba tercecer hingga ke ujung-ujung ruangan.
Seperti itulah.
Belum keluar dari rumah saja ia merasakan yang tidak biasa. Pengamen yang biasanya tidak boleh masuk dalam kompleks rumahnya tiba-tiba ada di depan rumahnya menyanyikan sesuatu yang tak jelas dan tentu saja mengganggu telinganya. Dan ketika diusir, pengamen itu malah mengoceh dengan kata-kata kasar. Dalam perjalanan menuju ke tempat kerjanya, seharusnya menjadi sesuatu yang biasa jika ada kendaraan umum yang mendadak berhenti tanpa tahu aturan sehingga ia juga harus mendadak mengerem mobilnya. Ada orang-orang bodoh yang memarkir di pinggir jalan sempit, menyebabkan kemacetan konyol yang selalu bikin ia jengkel. Ada tukang koran di perempatan lalu lintas yang memaksa untuk membeli korannya walaupun ia tidak ingin. Dan semuanya tiba-tiba bikin ia capek. Ia lelah dituntut untuk selalu mengerti keadaan mereka. Kasihan supir kendaraan umum itu, jangan diomeli. Mereka masih bekerja di bawah sinar terik matahari, deras berpeluh sementara mungkin kau sudah duduk di ruangan ber-pendingin. Begitu kata seorang teman jika ia mulai mengomel tentang kendaraan umum yang sepertinya bebas dari peraturan lalu lintas jalan raya. Ia capek untuk terus-menerus mengerti bahwa tukang koran itu hanya sedang bekerja mencari nafkah untuk keluarganya barangkali, dan pekerjaan yang ia lakukan jauh lebih menyenangkan daripada tukang koran brengsek itu. Ia capek untuk harus selalu mengerti apa yang sekiranya salah di matanya, tapi sepertinya tidak ada yang melakukan hal yang serupa terhadapnya. Sekali saja dalam hidupnya, ia ingin menjadi makhluk egois. Yang tidak perlu memikirkan orang lain.
Di kantor, mendadak semuanya salah. Tak pernah sekalipun dalam hidupnya, ia membenci hari kerjanya. Tapi hari ini, ia begitu rindu akhir pekan. Akhir pekan yang tidak akan berakhir. Tanpa peduli lagi bahwa sesuatu yang abadi hanya milik Yang Abadi dan jika ia memiliki sesuatu yang tidak memiliki akhir maka cepat atau lambat ia akan bosan.
Hidup menjadi sesuatu yang tak lagi menarik. Petualangan yang ada di dalamnya sudah tak lagi seru. Hari ini, hari yang baik untuk mati.
Karena itu, ia keluar kantor, membawa mobilnya kencang-kencang. Entah kemana. Ia ingin lepas. Ingin bebas dari penat yang mengganggu. Dan jika kematian adalah jawabnya, ia tidak keberatan untuk itu.
Ia tidak tahu mengapa tiba-tiba saja ia ada di bandara. Toh tidak ada yang perlu dijemputnya hari ini. Ia juga tidak berencana pergi kemana-mana. Tapi disanalah ia, seolah-olah bandara adalah tempat sakral yang bisa mengembalikan akal sehatnya supaya bisa berpikir waras lagi padahal disanalah tempat perpisahan biasa terjadi.
Hari yang baik untuk mati.
Melangkahlah kakinya hendak membeli tiket. Kemana pun. Jam berapa pun. Berapa pun harganya. Dikeluarkannya dompetnya…
“Ayah!!”
Ia menoleh, cemberut karena terganggu dengan teriakan itu. Dan sedetik kemudian ia terpana melihat pemandangan itu. Seorang anak perempuan berkuncir dua lari mendapati ayahnya yang menangkapnya dan menggendongnya berputar-putar. Anak perempuan itu tertawa senang. Tidak peduli dengan orang-orang di sekitarnya. Tidak peduli ada seorang perempuan yang berpendapat bahwa hari itu hari yang baik untuk mati. Tidak peduli.
Ia baru saja melihat cinta.
Sekonyong-konyong ia melihat cinta dimana-mana. Anak yang menjemput ayahnya. Suami yang menjemput istrinya. Anak laki-laki yang menjemput teman-temannya. Adik yang menjemput kakaknya. Supir yang menjemput bosnya. Paman yang menjemput keponakannya. Perempuan yang menjemput kekasihnya.
Jika ada perpisahan, maka ada pertemuan.
Jika ada hari yang baik untuk mati, barangkali hari ini bukan hari yang baik untuk mati.
Jika masih ada cinta, tiap hari bukan hari yang baik untuk mati dan berhenti hidup.
Jika memang lelah untuk selalu mengerti, tak apa lelah, istirahat, untuk kembali bersahabat dengan hidup yang selalu memberikan sesuatu yang baru.
Sesuatu yang tidak biasa. Sesuatu yang tidak selalu pada tempatnya. Sesuatu yang jungkir balik dan tidak pakai aturan.
Karena semuanya itu hidup dan hidup tidak mati. Waktu tidak akan berhenti hanya karena ia ingin mati. Semuanya akan tetap melanjutkan hidup walaupun ia tidak.
“Selamat hari Valentine!” sapa seorang petugas. “Penerbangan kemana?”
Ia lupa hari ini hampir seluruh manusia di dunia bercinta. Dengan apa dan siapa saja.
Lebih baik bercinta daripada mati, ia tersenyum dalam hati.
Setidaknya untuk hari ini.
Ia belum mau mati.
Dan warna hari ini berangsur-angsur berubah.
Tak lagi hitam keabu-abuan.
Surabaya, 14 February 2011
In the morning – on a busy intersection
Inspired by "Hari yang indah untuk mati"