Anak laki-laki itu sedang mencari sepatunya saat ibunya
bilang sudah waktunya berangkat sekolah. Barulah ia sadar bahwa sepatunya
tertinggal di tempat ia bermain kemarin sore. Dan setelah menyadari bahwa
sepatunya ia tertinggal, ia langsung tahu bahwa ia dalam masalah. Bukan karena
sepatunya mahal. Bukan juga karena orang tuanya kekurangan uang untuk beli
sepatu baru. Tapi karena itu berarti pagi itu tidak ada sepatu yang bisa ia
pakai untuk berangkat sekolah.
Jangan tertawa, karena perkara yang kelihatannya sepele
seperti tidak memakai sepatu untuk ke sekolah elit dan baik di kota besar bisa
jadi tidak sepele. Sama besarnya dengan tidak memakai seragam ke sekolah. Ini
penting.
Sang ibu pun ikut panik. Karena toko sepatu mana pula yang
sudah buka pagi-pagi begini? Tidak ada. Maka ketika sang ibu mengantar si anak
ke sekolah, ia bermaksud bertemu dengan sang guru untuk bernegosiasi. Negosiasi
yang ia sendiri tidak yakin akan berhasil.
Bertemu lah sang ibu dengan sang guru. Ia minta maaf karena
lalai memperhatikan sepatu anaknya sekaligus minta ijin pada sang guru supaya
anaknya tetap diijinkan masuk kelas walaupun hanya memakai kaus kaki dan
sandal. Sang guru hanya diam mendengarkan penjelasan ibunda muridnya. Kemudian
dengan berat hati sang guru berkata bahwa sesungguhnya si anak lebih baik tidak
masuk sekolah daripada tetap masuk kelas dengan tidak memakai sepatu. Sudah
kukatakan bahwa perkara tidak memakai sepatu ini bisa sama besarnya dengan
tidak memakai seragam ke sekolah. Gurunya juga berkata bahwa sebenarnya si anak
tetap dianggap melanggar peraturan sekolah karena tidak memakai sepatu ke
sekolah. Tapi guru ini guru yang baik. Karena itu, diijinkannya si anak untuk
tetap masuk kelas walaupun hanya mengenakan kaus kaki dan sandal.
Si anak masuk ke kelas dengan hati lega dan ia bersyukur
punya guru yang mau mengerti. Tapi sekali lagi kukatakan, perkara tidak pakai
sepatu ke sekolah ini bukan perkara sepele. Meski anak itu mengantungi ijin
dari sang guru untuk tetap masuk sekolah, ia harus menerima segala macam olokan dari teman-teman
sekelasnya. Olok-olokan yang tidak hanya bikin kuping merah tapi juga hati
sakit. Segala macam kata yang seharusnya tak diucapkan oleh anak-anak yang
mendapatkan pendidikan layak dan mahal di sekolah itu malah keluar dari mulut
mereka. Hanya gara-gara sepatu. Gurunya yang baik itu tahu anak ini diejek
mati-matian oleh teman-teman sekelasnya.
Tapi ia mengunci mulutnya rapat-rapat. Sambil berpikir bahwa apa yang dilakukan
oleh murid-muridnya itu dapat menjadi pembelajaran bagi semua khalayak – bahwa
tidak memakai sepatu itu merupakan pelanggaran atas peraturan sekolah yang
sudah repot-repot dirancang oleh petinggi-petinggi pendidikan.
Tidak sampai jam akhir pulang sekolah, si anak memutuskan
untuk pulang. Sang guru tidak melarang, hanya berpesan agar besok tidak lupa
memakai sepatu. Namun hari itu si anak belajar sesuatu, bahwa pendidikan
ternyata bisa didapat dengan menggunakan syarat. Sepatu adalah salah satunya.
Baju seragam yang necis adalah salah duanya. Semuanya sudah tertulis dalam
peraturan. Tertulis maupun tidak tertulis. Sehingga meskipun sekolah tidak
menghukum, masyarakat yang akan menghukum. Secara moral. Tak pernah sekalipun
anak itu menyangka bahwa sungguh berat rupanya hanya untuk mendapatkan
pendidikan yang layak saja.
Melihat anaknya pulang sebelum waktunya, sang ibu tidak
berkata apapun. Dibantunya anaknya melepas seragamnya untuk diganti dengan baju
rumah. Diambilkannya minuman hangat untuk anaknya agar sedikit lebih baik
hatinya yang terpukul. Kemudian ketika masih dilihatnya anaknya
termenung-menung, berkatalah sang ibu pada anaknya: “Ibu berjanji besok
sepatumu akan siap dipakai ke sekolah.
Seragammu juga sambil menyadari bahwa hidup ini terkadang memang absurd dan
tidak masuk akal. Meski demikian, tetaplah hidup dan raup sebanyak-banyaknya
ilmu. Bukan untuk mendapatkan nilai dan ranking, tapi untuk mendapatkan
pengalaman dan pengetahuan. Untuk dirimu sendiri. Bukan untuk gurumu, ayah
ibumu ataupun sekolahmu. Supaya kelak kalau kau buka sekolah sendiri, kau akan menerima
mereka yang beli sepatu dan seragam pun tidak mampu untuk tetap belajar di
kelas tanpa olok-olok dari teman-teman sekelasnya dan mempekerjakan guru yang
lebih peduli dengan pendidikan yang harus diberikan pada murid-muridnya
daripada apa yang dipakai oleh murid-muridnya.”
Si anak menatap ibunya dan menjawab: “Ibu, hari ini aku
belajar bahwa pengetahuan mahal harganya dan tidak hanya bisa dibayar dengan
uang, tapi juga dengan mental yang kuat. Itu saja. Esok, dengan atau tanpa
sepatu, aku tetap akan berangkat ke sekolah. Bukankah semua anak seharusnya
berhak untuk mendapatkan ilmu?”
Saat itu juga ibunya tahu, akan tiba saatnya, anaknya tidak
membutuhkan dorongan darinya lagi. Karena dorongan yang paling kuat hanya
berasal dari diri. Itu saja. Dengan atau tanpa sepatu.
Surabaya, at the end of January 2012
12:14 pm
PS: Gambar diambil dari sini
0 komentar ajah:
Post a Comment