Ada orang gila di pinggir jalan. Ia tertawa-tawa sendiri. Ia
senyum-senyum sendiri. Ia bicara-bicara sendiri. Dan saat aku lewat, ia
menyapaku dengan giginya yang hitam-hitam. Orang gila tidak pernah sombong. Ia
selalu menyapa orang-orang yang lewat di depannya dengan senyum, walaupun ia
tak kenal dengan orang-orang itu.
Orang gila itu mengaduk-aduk tempat sampah yang baunya minta
ampun. Ragu-ragu kutinggalkan ia karena perut ini sudah protes minta makan.
Namun dari sudut mataku, ia mengambil sesuatu, kembali tertawa-tawa, kemudian
makan sesuatu yang ia ambil dari tempat sampah itu dengan riang gembira.
Aku mau muntah.
Masuklah aku ke rumah makan dekat orang gila tadi
bercengkerama dengan tempat sampah. Kupesan makanan. Kemudian aku merenung.
Dari balik jendela, aku masih melihat orang gila tadi makan di dekat tempat
sampah yang baunya minta ampun. Kembali aku merenung. Barangkali makanku tiap
hari tidak selalu di rumah makan. Hanya kadang-kadang di restoran sedikit
mahal. Namun tak sekalipun aku pernah makan sesuatu yang kuambil dari tempat
sampah. Tak pernah. Sehingga orang gila itu membuatku hatiku ciut, bahwa
sesungguhnya, hidupku ini sudah terlalu mewah. Dan kemewahan bukan sesuatu yang
patut untuk dibanggakan. Kemewahan adalah bonus tak penting, jika dibandingkan
dengan hidup itu sendiri.
Kuangkat tanganku memanggil pelayan rumah makan. Memesan
satu paket nasi ayam goreng untuk dibungkus – sambil berjanji akan memberanikan
diri memberikan itu untuk orang gila yang kutemui tadi. Orang gila yang selalu
menyapa orang-orang asing baginya dengan senyum.
Kulirik kembali keluar jendela. Hatiku runtuh. Orang gila
itu sudah tidak ada. Kupelototi jalanan depan rumah makan namun tak juga
kutemukan. Aku menyesal. Aku menyesal harus merenung terlebih dahulu sebelum
membelikan makanan untuknya. Aku menyesal.
Barangkali itu pertama kalinya aku iri pada orang gila.
Orang gila akan memberikan senyum pada orang-orang lain meski ia tak kenal.
Orang gila tidak perlu memikirkan apa kata orang lain jika melihat perbuatannya.
Orang gila tak perlu repot-repot takut sakit perut karena makan dari tempat
sampah. Orang gila tidak khawatir akan hari esok – apakah ia masih akan
bertahan hidup, atau mati bertemu Sang Pencipta.
Merenung – memang tak selalu baik adanya.
Orang gila – memang tak selalu berbahaya, bisa jadi ia
inspiratif sebagaimana adanya ia.
Tuesday. 28 Februari 2012
10.05 am
5 komentar ajah:
Wow, Jes, you're such a cool person. Rasanya baru kamu yang menganggap orang gila inspiratif dan tulisanmu juga inspiratif. Two thumbs up :D
Awww.. thank you for saying that. It's precious.
Tapi kok anonymous sih... takut terkenal ya? :D
Ini ide tulisan yg aneh. Bs dikatakan gila. Hahahah... Org gila jd ide tulisan gila. Gila abisss dahhh! :D
Eh, serius ya mau beliin makanan ke tu org gila? Ga takut apa?
Semoga abis ini nggak digila-gilain, alias dibilang "gila..gila..gila.." ;D
Loh, udah takbelikan lho makanannya. Takut sih, tapi beneran sudah menyiapkan hati. ;D
Haha... Ya begitulah resiko blogwalking pakai hp. Salah pencet jadi munculnya anonymous.
Post a Comment