Tuesday, March 27, 2012

guaku, guamu


Jika bumi seumpama dataran yang luas nyaris tak terbatas, maka diatas dataran yang luas nyaris tak terbatas itu ada gua-gua. Masing-masing gua punya pemiliknya sendiri-sendiri. Para pemiliknya disebut manusia. Dan gua itu berisikan seluruh perasaannya, berjengkal-jengkal pikirannya, dan setiap rinci memori yang tersimpan baik disengaja maupun tidak. Seberapa dalam gua itu, siapa yang tahu? Tak ada, bahkan oleh si pemilik guanya sekalipun.

Guaku, misalnya. Aku tak pernah tahu seberapa dalam guaku. Karena tiap kali aku menjelajah semakin ke dalam, rasa-rasanya tak pernah kutemukan ujungnya. Ada kalanya di ceruk-ceruk tertentu, cahaya matahari masuk begitu hebat sehingga ceruk itu terlihat indah dan aku jadi senang bukan kepalang karenanya. Namun di lubang-lubang tertentu, aku bahkan tak bisa melihat apa-apa saking gelapnya. Jika kutemukan yang seperti itu, hati ini sedih bukan main. Dan jika ada beberapa tempat yang berantakan, yang menurutku tak sesuai dengan keinginanku, aku jadi marah dan jengkel. Seperti itu lah.

Percaya tidak, aku menyeleksi dengan sungguh-sungguh siapa yang akan kuajak masuk dalam guaku. Kau harus mengerti karena tak semua manusia bisa dipercaya. Teman perempuanku contohnya. Biarpun barangkali statusnya adalah teman dan seluruh dunia mengira ia adalah salah satu yang dapat kupercaya hingga pasti akan kubiarkan ia masuk dalam guaku seenaknya, mereka cuma bisa mengira-ira. Dalam guaku, ia hanya sampai di bagian depan saja. Tak pernah kuijinkan ia masuk lebih dalam lagi. Namun, teman perempuanku ini salah berpersepsi tentang diriku. Ia pikir yang kubilang bagian depan itu sudah seluruh isi guaku. Ia keliru. Itu sebabnya ia selalu berpikir bahwa hidupku ini enak adanya. Hidupku ini nikmat adanya. Hidupku ini hanya diselingi masalah kecil-kecil saja yang tak ada artinya jika dibandingkan dengan ia dan guanya. Itu ia lakukan setelah kuijinkan ia bertamu dalam guaku dan masuk di bagian depan guaku saja. Aku hanya tertawa jika ia mulai mengoceh tentang diriku, seolah-olah ia sudah menjelajah hingga ke ujung-ujung guaku. Padahal paling-paling hanya seperdelapan saja atau bahkan seperduapuluh yang benar dari ocehannya. Tak sudi kubuang-buang energi dan waktuku hanya untuk bilang padanya bahwa ia sesungguhnya tak kenal diriku dan tak seharusnya ia mengarang-ngarang sendiri apa isi guaku. Biar saja. Ocehannya toh tak memberi makan mulutku.

Tapi tahukah kau bahwa teman perempuan-ku itu bukan satu-satunya yang berbuat begitu? Jika kau coba perhatikan dengan seksama, hampir tiap orang melakukannya. Yang satu merasa bahwa hidupnya begitu-begitu saja jika dibandingkan dengan tetangganya. Yang di depan guanya terbangun rumah mewah, terparkir mobil mahal dan terguna peralatannya yang serba canggih. Yang terlihat bahagia dan sejahtera. Yang ia tak tahu, rumah mewahnya sepi tanpa gelak tawa karena meski tiap-tiap anggota keluarganya ada di rumah, mereka sibuk dengan peralatan super canggih mereka masing-masing sehingga mereka ogah bertegur sapa meski tinggal dalam satu rumah. Yang ia tak tahu, mobil mahalnya sering menguras habis kantongnya karena tak boleh dirawat dengan sembarangan.

Barangkali aku pernah berbuat persis seperti yang mereka lakukan. Mereka-reka sendiri isi gua teman-temanku atau orang-orang yang aku kira aku kenal dengan baik, padahal sesungguhnya apa yang kureka-reka jauh dari isi sebenarnya gua mereka. Karena itu aku selalu menyesal jika tak sengaja kulakukan hal bodoh dan tak berguna seperti itu. Jika aku tak ingin orang menilai aku dan guaku dengan sok tahu, maka sudah seharusnya tak kulakukan juga yang demikian.

Jika bumi seumpama dataran yang luas nyaris tak terbatas dan diatasnya ada guaku, guamu, juga gua manusia-manusia lain, maka hidup sungguh terlalu berharga untuk dibuang-buang hanya untuk berpersepsi tentang isi gua orang lain. Terlalu berharga juga untuk membanding-bandingkan gua satu dengan yang lain, karena sesungguhnya masing-masing gua punya kedalamannya sendiri-sendiri, punya masalahnya sendiri-sendiri dan punya pergumulannya sendiri-sendiri, sesuai dengan kekuatan pemilik-pemilik guanya. Sehingga tak patut yang satu mengatakan guanya lebih sulit dan melelahkan ketimbang gua yang lain karena ukuran yang dipakai manusia pada umumnya tak berlaku disini.

Kedalaman guaku, siapa yang tahu? Tidak aku, tidak kau. Hanya Yang Menciptakanku saja yang paling tahu. Kedalaman guamu? Sama.

Tuesday, 27 Maret 2012
4:53 pm

PS: Gambar diambil dari sini

Monday, March 05, 2012

hidup ini (masih) indah

Aku tahu hidup ini (masih) indah saat aku melihat dan mendengar tawa riang anak-anak perempuan bermain lompat tali di kampung dekat rumahku.

Aku tahu hidup ini (masih) indah saat aku melihat seorang pemuda bertampang dan berpakaian preman membantu seorang nenek tua menyeberang jalan.

Aku tahu hidup ini (masih) indah saat aku melihat sepasang kekasih generasi Y duduk berdua sambil berbincang-bincang hangat di sebuah restoran mahal tanpa sibuk sendiri-sendiri dengan ponsel pintar di tangan.

Aku tahu hidup ini (masih) indah saat aku melihat seorang ibu duduk di atas trotoar di pinggir jalan, sambil menyuapi anak-anaknya dengan sebungkus nasi di tangan, dan anak-anaknya masih saling bercanda satu dengan yang lain.

Aku tahu hidup ini (masih) indah saat di bagian kedatangan pada sebuah bandara, masih banyak pekik riang dan tawa menyambut keluarga atau teman yang baru turun dari pesawat.

Aku tahu hidup ini (masih) indah saat kulihat sekuntum bunga berwarna putih yang aku tak tahu namanya tumbuh dan mengembangkan kelopaknya diatas tanah yang ditutupi semen oleh manusia.

Aku juga tahu bahwa hidup ini (masih) indah saat hujan turun membasahi tanah dan rerumputan, cangkir berisi kopi instan favorit masih mengepul, Norah Jones masih bisa bernyanyi dan masih banyak buku yang belum habis dibaca.

Hidup ini (masih) indah saat aku, kamu, kita melihat semua yang ada di sekitar dari mata anak-anak kecil yang polos. Saat aku, kamu, kita melihat kesederhanaan sebagai sesuatu yang istimewa. Saat aku, kamu, kita tidak punya definisi yang kaku tentang sebuah keindahan dan kecantikan.

Dan kamu tahu? Hidup ini terasa (lebih) indah meski tak selalu kamu makan di restoran mewah. Tak selalu kamu bisa berlibur ke luar negeri sewaktu-waktu. Tak selalu pendapatanmu gemuk setiap bulan. Juga tak selalu sepatu, tas dan baju-mu ditempeli merek-merek macam Prada, Armani, Vera Wang, dan kawan-kawannya.

Tak selalu. Percaya?


Sunday, 4 March 2012
11.09 pm

PS: Gambar diambil dari sini