Sunday, May 13, 2012

sebungkus nasi megono dan tempe goreng

Buat ibuku, hidup tak ubahnya sebuah sungai yang mengalir lancar. Guncanglah sungai itu dengan batu kecil saja, maka riaknya akan sangat menganggu. Bagimu hidup yang seperti ini barangkali membosankan. Tetapi bagi ibuku, hidup sudah seharusnya seperti itu.

Ibuku tak pernah absen membawaku ke Sekolah Minggu. Dan tiap hari Minggu pula, menu sarapanku selalu sama: sebungkus nasi dengan lauk megono*, orak-arik tempe dengan kecap ditambah dengan tempe goreng ala koster gereja. Hingga belasan tahun kemudian, aku baru menyadari bahwa tak kutemukan menu persis seperti ini dimanapun aku berada. Mirip, mungkin. Persis, tidak. Dan bertahun-tahun kuhabiskan masa kecilku tiap minggu dengan menu seperti itu membuat lidahku hafal pasnya rasa nasi dan lauk yang dimasak..

Waktu aku beranjak remaja, aku sering mengajukan pertanyaan konyol ini pada ibuku. Pertanyaan konyol yang hampir selalu dijawab sama olehnya.

Beginilah aku bertanya: "Mam, apa aku cantik?"
Kemudian ibuku akan tersenyum, beberapa detik kemudian ia akan menjawab: "Yah...kamu tidak cantik, tapi juga tidak jelek."
Lantas aku akan bertanya-tanya dalam hati sambil menatap cermin: Jadi sesungguhnya aku ini cantik atau tidak?
Tiap kali kuajukan pertanyaan itu pada ibuku, ia tak pernah juga bosan menjawab kalimat yang sama: tidak cantik, juga tidak jelek.

Barangkali itu sebabnya, aku tumbuh dengan pertanyaan yang terus menghantuiku. Apakah aku cantik? Atau aku jelek? Cantik-cantik jelek? Jelek-jelek cantik? Buatku dulu, hitam adalah hitam, putih adalah putih. Abu-abu adalah warna air bak di kamar mandi yang sudah lama tak dikuras.

Bukannya aku menyalahkan ibuku karena tak mau bilang aku cantik supaya paling tidak anak perempuannya ini lebih punya rasa percaya diri dibanding dengan teman-temannya. Kupikir, ibuku hanya berkata apa adanya. Sesuatu yang kutiru kelak saat aku beranjak dewasa. Dan aku bersyukur juga karena ibuku tak pernah berambisi sedemikian rupa atas diriku seperti ibu-ibu jaman sekarang. Ibuku tak pernah memaksaku belajar piano, biarpun aku dibesarkan dengan bebunyian piano di rumahku yang dibuat oleh murid-murid les ibuku. Ibuku tak pernah memaksaku jadi juara pertama di kelas, yang penting nilaiku tak merah, ia sudah puas. Dibiarkannya aku mengkhayal bersama Lima Sekawan, Trio Detektif, Pasukan Mau Tahu, Darrel dan Sally di Malory Towers atau si Kembar O'Sullivan di St. Clare. Maka aku tak pernah protes punya ibu seperti ibuku. Barangkali jarang kau temukan ibu seperti ibuku yang membiarkan anak perempuannya mengkhayal sedemikian rupa bersama tumpukan buku-buku usang lungsuran dari sepupuku yang kaya yang tinggal di Jakarta.

Satu-satunya kekecewaan pada ibuku barangkali hanya pada saat aku sakit. Sebab biarpun badanku panas, setelah ibuku mengantar ke dokter dan dokter sudah memberi obat, maka ia tetap akan menyuruhku tinggal di rumah, berbaring diatas tempat tidurku dengan ditemani emakku (nenek, buatmu). Ia akan tetap pergi ke gereja, entah untuk berlatih paduan suara maupun melatih pemandu pujian. Pernah aku protes pada emakku, mengapa ibuku tidak tinggal di rumah saat aku sakit? Aku ingin juga ditungguin olehnya, dielus-elus rambutku, diajak ngobrol. Tapi emakku tak pernah menjawab pertanyaanku. Yang emakku selalu katakan tentang ibuku bahwa ibuku sayang padaku, dan ibuku tidak bisa juga meninggalkan tanggungjawabnya di gereja. Aku toh hanya demam biasa saja. Flu biasa yang diminumin obat tiga empat hari akan sembuh. Barangkali karena itu lah, aku selalu berusaha untuk sehat. Aku tidak suka sakit dan harus berbaring di tempat tidur. Karena sakit bagiku sama dengan tidak bisa bersama dengan ibuku. Jika aku sehat, aku suka diajak ke gereja, melihat orang-orang tua itu latihan menyanyi. Kadang-kadang aku juga ikut menyanyikan apa yang mereka nyanyikan, meskipun terkadang aku tak bisa selalu mengikuti instruksi dari pelatih. Barangkali juga sejak kecil aku tak pernah sulit minum obat, karena buatku, minum obat berarti cepat sembuh, dan cepat sembuh berarti cepat bisa pergi bersama-sama dengan ibuku.

Menginjak SMA, aku mulai minta lebih pada ibuku. Aku ingin sekali saja membolos menikmati sebungkus nasi megono dan tempe goreng ala koster gereja, yang berarti di hari Minggu aku tak perlu ke gereja. Supaya aku bisa pergi bersama teman-temanku seperti layaknya remaja lainnya yang tak merasa bersalah karena tidak pergi ke gereja pada hari Minggu. Tapi, tidak. Ibuku tak pernah mengijinkan aku mencicipi menu lain di hari Minggu. Buat dia, sebungkus nasi megono itu penting, sepenting aku harus pergi ke gereja setiap Minggu. Jadilah aku di-cap orang paling alim oleh teman-teman sekolahku.

Gara-gara ibuku juga, kadang-kadang aku merasa seperti alien jika dibandingkan dengan teman-temanku. Saat kulihat teman-temanku beramai-ramai membeli celana jeans, tak sekalipun permintaanku untuk dibelikan jeans dikabulkan oleh ibuku. Ia malah mengajakku pergi ke warung lontong tahu di depan pasar di malam hari dan bersabda sambil menunjuk celana yang dipakai tukang lontong tahu itu: "Coba kamu lihat mas lontong tahu ini pakai celana apa?" Kujawab dengan berat hati sesuai yang kulihat karena aku sudah tahu kemana arah pembicaraan ini. Sabda ibuku lagi: "Kamu lihat kan, celana jeans itu dipakai untuk jual lontong tahu! Masa kamu mau pakai celana yang sama dengan mas lontong tahu?!" Maka kandaslah keinginanku memiliki celana jeans. Sehingga yang kumiliki adalah rok-rok mekar dengan motif bunga-bunga yang tak pernah kusukai tapi selalu dibelikan oleh ibuku. Hingga suatu hari, emakku menyelamatkanku dari fashion disaster dengan membelikanku celana jeans. Ibuku tak bisa berkata apa-apa karena emakku bilang celana jeans itu beli di Mangga Dua Jakarta, dimana mas lontong tahu tidak mungkin beli celana jeans disitu. Kupakai kemana-mana celana jeans itu. Ke gereja. Ke luar kota. Ke rumah sepupu. Ke warung lontong tahu, sambil pamer pada ibuku bahwa meski celanaku dan celana mas lontong tahu sama-sama jeans, celana kami jelas beda kelas. Celana jeansku dibeli di Mangga Dua Jakarta, celana jeansnya dibeli di pinggir jalan kota Pekalongan.

Kelas tiga SMA, ganti aku bersabda pada ibuku: "Mam, Jessie mau kuliah di Surabaya. Sastra Inggris." Ibuku tercenung. Seumur hidupnya, ia tak pernah bermimpi keluar dari kota kelahirannya Pekalongan. Apalagi pindah ke kota lain. Baginya, Surabaya seperti luar negeri saja baginya. Ratusan kilometer harus ditempuh jika ia rindu padaku. Aku, anak perempuan satu-satunya, dan ia harus melepaskannya begitu saja? Ia keberatan. Ia bertanya padaku: "Kamu mau jadi apa kalau masuk Sastra Inggris?" Kujawab, aku belum tahu, walaupun dalam hati aku berkata, aku ingin pergi keluar negeri, keluar dari negara ini supaya tidak perlu ketemu sama orang-orang yang sering meneriaki aku "Cino!" di pinggir jalan seolah-olah aku maling, dan kawin dengan bule! Tapi sesungguhnya, aku ingin kuliah Sastra Inggris karena kudengar aku tak perlu lagi berurusan dengan matematika, fisika dan kimia yang kubenci setengah mati saat SMA. Ibuku lagi-lagi tercenung. Buat dia, Surabaya betul-betul asing buatnya. Ratusan kilometer dari tempat tinggalnya. Tak tahu ada apa di Surabaya selain tempat tinggal bonek dan cuaca yang panas.

Entah darimana ambisi tiba-tiba itu, karena sejak aku kecil, ayah ibuku tak pernah menyuruhku punya ambisi tertentu. Sudah kubilang, hidup buat ibuku seperti sungai yang mengalir tanpa sampah dan riak-riak. Yang jelas, ambisi tiba-tiba ini membuatku pertama kalinya hidup tanpa orang tua di kota yang sama sekali baru buatku. Surabaya, kota pahlawan. Berpisah dengan nasi megono dan tempe goreng ala koster gereja. Keluar dari rutinitas yang diciptakan oleh ayah dan ibuku.

Sungai ibuku mulai beriak dan bergelombang saat aku kuliah ke Surabaya dan beberapa tahun kemudian, stroke menyerangnya. Buatku pribadi, ibuku tak lagi sama semenjak serangan stroke itu. Stroke mengambil sebagian besar karakter dominan ibuku. Ia jadi mudah sekali menangis. Dan ia mulai menuntut perhatian berlebihan dari anak-anaknya. Seolah-olah peranku dan perannya jadi terbalik. Aku sendiri mulai merasa asing dan bersalah karena harus merasa asing terhadap ibuku sendiri. Tapi jangan salah sangka, aku tetap sayang padanya biarpun ia jadi aneh, suka mengasihani diri sendiri dan manja.

Beberapa tahun kemudian, kusadari sungai ibuku tak lagi sama. Selain riak dan gelombang, lumpur dan bebatuan mulai ada disana, menyebabkan alirannya tersendat. Ayahku meninggal. Membuat ibuku semakin lain. Semakin tak sama dengan ibuku yang kukenal dulu. Ibuku tak pernah pisah dengan ayahku. Kemanapun ayahku berada disitulah juga ibuku. Barangkali itu sebabnya, tak sampai lima tahun sejak ayahku meninggal, di sudut tempat piano gereja ibuku biasa mainkan, ia hembuskan nafas terakhir. Ibuku meninggal saat latihan pemandu pujian untuk kebaktian hari Minggu. Membuatku termenung-menung, kagum tak kepalang, bahwa bahkan di saat terakhir pun, ibuku masih melakukan pelayanan di gereja.

Pernah sekali aku bertanya pada ibuku: "Mam, enggak pengen ke luar negeri?" Ibuku menggeleng. "Ke Eropa? Kan enak, bisa jalan-jalan?" Ibuku lagi-lagi menggeleng. "Memangnya mami nggak pernah bosen apa tinggal di Pekalongan?" Lagi-lagi ibuku menggeleng. "Nggak pernah bosen tuh."

Tapi begitulah ibuku. Ia tak pernah berambisi apapun. Buatnya hidup tidak jauh-jauh dari membiarkan anak-anaknya lulus kuliah, memberi les piano dan pelayanan di gereja. Itu saja sudah cukup buatnya. Buat dia, sebungkus nasi megono dan tempe goreng ala koster gereja adalah segala-galanya, yang tak pernah ingin ia tinggalkan. Tak selalu aku cocok dengan ibuku. Selera bajuku dengannya seperti langit dan bumi. Jalan pikiran kami seperti kutub utara dan kutub selatan. Dan meski hingga saat ini tak juga kudengar jawaban yang memuaskan atas pertanyaan "Aku cantik atau tidak?", jika aku bisa punya kehidupan untuk kedua kalinya, aku tetap akan memilih rahimnya sebagai jalan keluarku ke dunia ini.


Berangsur-angsur kutemukan jawabnya: aku cantik, secantik ibuku. Ibuku hanya tak mau mengakui bahwa ia sesungguhnya cantik dan aku mirip dengannya.

Sunday, 13 May 2012
6:27 pm

Memperingati setahun Tuhan memanggil ibuku dari dunia yang berantakan ini.
I always love you, Mom.

*megono : makanan khas Pekalongan yang terbuat dari nangka muda