Thursday, August 16, 2012

jangan panggil saya Cina

Suatu siang di masa lampau, di sebuah kota kecil di Jawa Tengah, seorang anak perempuan berumur kira-kira 9 tahun – dengan rambut tidak dikuncir dua – duduk dengan tenang di atas becak yang meluncur di atas salah satu jalan besar di kota kecil tersebut. Tiba-tiba di samping kanan dan kiri becak yang ia tumpangi, empat anak lelaki yang kira-kira seumuran dengannya sambil mengayuh sepeda mereka berboncengan berteriak pada anak perempuan itu: “Woooo Cino!”

Tukang becak hanya diam. Anak perempuan itu juga diam. Dan diamnya anak perempuan itu bukan karena dia tidak mau cari masalah. Ia diam karena ia tidak tahu kenapa ia harus diteriakin seperti itu. Mengingatkannya pada teriakan yang dicopet pada si pencopet di pasar dekat rumahnya.

Beberapa tahun kemudian, masih di kota yang sama, rumah-rumah orang-orang (yang katanya) keturunan Cina dilempari batu. Ada juga yang dibakar. Hanya karena ada warga setempat (yang katanya) pribumi bermasalah dengan warga lain (yang katanya keturunan Cina). Ia masih menonton Putri Sin Ye di televisi saat peristiwa kaca jendela rumahnya dilempar dengan batu oleh warga-warga (yang katanya pribumi). Keesokan harinya ia dan adiknya dihimbau untuk tidak masuk sekolah, karena sekolahnya adalah sekolah swasta yang murid-muridnya kebanyakan (katanya) keturunan Cina.

Hati anak perempuan itu ciut. Bertanya-tanya tentang berbagai peristiwa yang melibatkan label ‘keturunan Cina’. Membuat ia berpikir bahwa label itu sesungguhnya bisa sangat menyudutkannya tanpa ampun. Hingga pada satu titik, ia bisa sangat sensitif jika ada seseorang memanggilnya Cina atau mengajaknya berbicara bahasa Mandarin. Ia jadi tidak suka dengan film-film mandarin, yang penuh dengan orang-orang Cina berkelahi, berdialog dan bahkan bercinta. Ia tidak pernah mau belajar bahasa mandarin dan benci kalau kupingnya mendengar orang-orang di sekitarnya bicara bahasa mandarin padahal mereka juga fasih berbahasa Indonesia – seolah-olah mereka merasa lebih karena bisa bahasa mandarin.

Ada yang sedang terjadi di negeri berbendera merah putih ini. Yang katanya sudah merdeka selama 67 tahun, dengan rangkaian sejarah yang patut dipertanyakan dan diselidiki lebih lanjut. Ada sesuatu yang mulai ganjil. Seolah-olah bangsa ini lupa akan tiga kata yang tertulis pada pita di bawah kaki lambang negara kita tercinta ini. Tiga kata yang sakral. Yang indah. Yang sesungguhnya terdengar sangat beradab jika diucapkan. Namun bisa seolah-olah dilupakan. Seolah-olah, lambang negara itu hanya hiasan belaka – terpampang di sekolah-sekolah namun tidak untuk diresapi dan dilakukan. Garuda Pancasila yang sekarat, karena tiga kata pada pita di bawah kakinya semakin berat karena ditarik-tarik oleh banyak kelompok untuk dibuang. Mirip dengan nasib burung garuda yang sesungguhnya. Nyaris punah karena keserakahan manusia-manusia yang tinggal di negeri ini. Entah sejak kapan perbedaan menjadi masalah. Bahwa yang satu kaya (kata yang menjelaskan tentang punya banyak uang, rumah mewah, jabatan tinggi dan sering belanja ke luar negeri) dan yang lain miskin (kata yang menjelaskan tentang tinggal di gubuk kumuh, tidak punya pendapatan tetap, tidak punya televisi dan susah cari makan) itu adalah masalah yang sangat besar. Bahwa kulit putih itu lebih indah daripada kulit hitam, sehingga para perempuan Indonesia berlomba-lomba menyamakan warna kulit menjadi putih, hanya karena tuntutan masyarakat berkata demikian. Entah mengapa perbedaan menjadi sesuatu yang sensitif di negeri ini. Padahal ketika negeri ini pertama kali merdeka, para sesepuh justru sangat menghormati perbedaan yang ada. Entahlah.

Enam puluh tujuh tahun Indonesia merdeka. Entah apa yang merdeka. Entah siapa yang merdeka. Bahkan harapan-harapan pun terkungkung dalam penjara hati. Dipenjarakan sendiri oleh si empunya hati. Dan memenjarakan harapan, sungguh adalah tindakan kriminal paling kejam di seluruh muka bumi. Karena untuk apa manusia hidup jika tidak punya harapan? Atau untuk apa manusia hidup jika punya harapan namun tidak mau berusaha mewujudkannya?

Beberapa tahun kemudian, justru karena orang-orang yang menganggap diri mereka pribumi yang suka meneriaki “Cina!” pada anak perempuan itu, anak perempuan itu mulai berani berpikir dan berseru: “Saya bukan Cina. Jangan panggil saya Cina. Saya orang Indonesia. Saya lahir di Indonesia. Sejak kecil saya hormat pada bendera merah putih, bukan hormat pada bendera merah berbintang kuning. Saya tidak bisa bahasa Cina. Saya tidak berminat pindah ke daratan China. Saya juga tidak bisa memilih lewat keluarga mana saya dilahirkan. Dan tolong, jangan teriaki saya Cina hanya karena kulit saya kuning, mata saya sipit dan memeluk agama minoritas.”

Anak perempuan itu kemudian menuliskan tulisan ini. Ditulis dengan hati remuk, karena masih banyak orang-orang di negeri ini tidak mau menghargai perbedaan dan saling menghormati – bukan karena berbeda suku, agama ataupun ras. Saling menghormati karena memang sesama manusia harus saling menghormati. Apapun jabatan dan pekerjaan mereka.

Merdekakan harapan. Jangan penjarakan. Negeri ini butuh eksekusi harapan-harapan yang merdeka.

Thursday, 16 August 2012
5:09 pm

PS: Gambar diambil dari sini