Monday, November 19, 2012

cinta

Cinta itu lucu. Apalagi kalau dirasakan sekaligus dipikirkan sesaat menjelang pernikahan. Saat itu, cinta tak lagi terasa absurd. Cinta nyata, ada dan bermuara. Legalitas yang bikin hati senang karena ada sesuatu yang baru yang akan dijalani bersama. Ada juga yang bilang cinta bukanlah cinta jika tidak membahagiakan. Tapi memang kebahagiaan itu bukan akibat, melainkan sebab. Kelak sepasang muda-mudi  yang telah berjanji setia di hadapan pendeta atau para pemuka agama lainnya berangsur-angsur akan mengerti, dalam pernikahan cinta tak lagi melulu soal rasa, melainkan hak sekaligus kewajiban. Cinta tak lagi pasif, tapi aktif. Ah, tapi bukankah cinta memang seharusnya aktif jika ingin berjalan ke tempat yang lebih baik?

Barangkali itu sebabnya aku tak pernah suka lagu-lagu cinta manusia kasmaran atau apa lah itu yang pada intinya seperti ini: “I love you just the way you are.” Kupikir, cinta tak sedangkal dan sesederhana itu. Cinta sepatutnya menjadikan manusia menjadi lebih baik dengan apa adanya ia pada dirinya.

Catatan ini ditulis setelah perjalanan dengan pesawat dari Kota Pahlawan menuju ibukota. Penumpang di sebelah tempat dudukku adalah perempuan setengah baya. Mungkin tak ada yang tahu, dan entah ia merasa atau tidak, sesekali aku mencuri pandang ke arahnya. Bukan. Bukan karena ia menarik atau tetap cantik meskipun usia mencuri sedikit-sedikit kulitnya yang kencang, rambutnya yang hitam dan menambahkan lemak-lemak tak perlu pada bagian tubuhnya disana-sini. Pernahkah memikirkan apa yang kupikirkan saat itu? Bahwa kelak bukannya tak mungkin aku akan seperti dia. Tak lagi muda. Kulit tak lagi kencang. Rambut tak lagi setebal atau sehitam dulu. Dan lemak-lemak… oh gosh aku berharap lemak-lemak tak perlu itu eksis di tubuhku kelak. Dan kalau nantinya aku tak lagi muda dan bahenol, masihkah suamiku mencintai dan menerimaku?

Tapi disitulah komitmen unjuk gigi. Janji yang diucapkan di depan pendeta, di hadapan para saksi, jelas bukan perkara main-main. Ini perkara kontrak seumur hidup, bersama orang yang barangkali tak kamu sadari baru setengah atau bahkan seperempatnya saja kamu kenal.  Seperti yang Meg Cabot pernah katakan:  pernikahan seumpama teken kontrak seumur hidup pada sebuah toko kue. Kue yang menurutmu enak dan gurih, sehingga bikin ketagihan. Lantas kamu berjanji pada toko kue itu bahwa  kamu akan terus membeli kuenya, apapun bentuk dan rasanya. Meskipun di sebelah toko kue tersebut muncul toko kue lain yang lebih menarik. Atau di seberang toko kue itu dibuka toko kue lainnya lagi yang kata-kata orang yang sudah mencicipi, kuenya lebih bikin ketagihan daripada toko kuemu. Dan kontrak yang sudah telanjur kamu tandatangani menyebabkan kamu tak lagi bisa mencicipi kue-kue di toko-toko yang lain – semenarik dan semenggiurkan apapun kue-kue mereka.

Cinta memang istimewa. Ia seperti ada dimana-mana. Di novel, komik, film, sinetron, panggung, lagu, mimbar keagamaan, kampus, rumah, de es be, de es be. Barangkali karena ia memberi diri dengan lapang dada untuk didefinisikan dalam berbagai bentuk oleh segala makhluk, terutama manusia.

Ah, tapi aku percaya kamu akan temukan sendiri definisi cintamu – khusus untukmu sendiri. Karena perjalanan cinta masing-masing orang itu berbeda. Dan perbedaan itu melahirkan definisi cinta yang berbeda-beda pula. Dan tak ada yang lebih indah dari sesuatu yang berbeda-beda. Sebab warna hitam tak lagi mencolok dan kelihatan indahnya jika dijajarkan dengan hitam lainnya.

Tulisan ini untuk sepupuku yang menikah hari Sabtu, 17 November 2012 kemarin. Kuucapkan selamat mencintai, dicintai, bercinta dan mendefinisikan cinta mereka sendiri.


Jakarta, 16 November 2012
11:42 pm

PS : Gambar courtesy of Daniel A. Sudarmadi

Wednesday, November 07, 2012

bertanya

Dari guru bahasa Indonesia-ku, aku belajar sebuah pepatah begini: malu bertanya, maka kamu akan sesat di jalan. Namun menurutku, pepatah ini belum selesai. Pepatah ini mungkin lebih masuk akal jika dilanjutkan dengan: tapi lebih baik sesat di jalan daripada dipermalukan.

Buatku, pepatah itu maknanya dalam, apalagi untuk anak-anak Indonesia yang sering kurang percaya diri untuk bertanya di dalam kelas. Selain dalam maknanya, buatku pepatah itu juga mustahil. Mustahil untuk sering-sering diterapkan. Sebab rupa-rupanya kebanyakan orang tua menganggap pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari mulut anak-anak, selain kadang-kadang absurd, juga bisa sangat merepotkan. Satu pertanyaan berbuah jadi dua. Dua pertanyaan berproduksi jadi tiga. Dan seterusnya. Bagaimana tidak merepotkan coba? 

Sekali-kali cobalah alas kaki seorang guru dan berdirilah di depan kelas. Kemudian seorang murid mengajukan suatu pertanyaan yang ternyata tak bisa kamu jawab. Bagaimana perasaanmu? Biasa saja? Jengkel? Atau malu? Tidak usah malu mengakui kalau memang malu. Sebab reaksi itu wajar sekaligus manusiawi. Jika kamu tidak merasa malu, itu bukan karena hasil pembelajaran dalam satu malam. Itu hasil pembelajaran seumur hidupmu.

Sesungguhnya, pada sebuah pertanyaan – apapun itu – ada langkah pencarian jati diri disana. Bertanya adalah pembuktian bahwa otakmu bekerja cukup baik. Tak peduli apa kata orang. Tak peduli bagaimana tawa orang. Bertanya adalah bukti bahwa kamu merasa kurang. Atas sesuatu yang belum kamu pahami.

Dan Tuhan memang baik. Sangat baik. DiciptakanNya orang-orang yang menciptakan Google. Sebab kesanalah orang-orang jaman sekarang akan bertanya jika tidak ingin dipermalukan, ditertawakan atau dihina-hina. Yang menyebabkan pepatah malu bertanya, sesat di jalan menjadi relevan kembali.

T : Apa sih artinya hopeless romantic?
J : Tanya Google sana.

T : Apa itu kleptomania?
J : Tanya Google sana.

T : Bagaimana caranya upload foto di blog?
J : Tanya Google sana.

T : Gunung Raung itu dimana?
J : Tanya Google sana.

T : Lebih bau mana, kambing atau babi?
J : Tanya Google sana.

Google. Google. Google. Ia selalu punya jawaban atas segala pertanyaan konyolmu. Tanpa kamu perlu khawatir mukamu penuh lumpur karena malu. Tanpa kamu perlu khawatir diremehkan. Tanpa kamu perlu khawatir ditertawakan karena tidak tahu. Tanpa perlu kamu khawatir dihina-dina. Hampir semua jawaban ada disana. Free. Kecuali kalau kamu belum bayar tagihan internetmu.

Jadi pelajaran moral hari ini adalah: dengan meng-google kamu jadi gemar membaca. Dan tak pernah ada yang salah dengan gemar membaca, walaupun sebenarnya sama tak salahnya bertanya pada pacarmu, pada sahabatmu, pada temanmu, pada orang yang kamu rasa kamu percaya mereka tidak akan mentertawakanmu, sebodoh apapun pertanyaanmu.

Bertanya pada seseorang di jaman sekarang, ternyata merupakan kemewahan tersendiri. Yang tak mewah? Bertanya pada mesin atas nama teknologi.

Titi DJ sekarang kawin sama siapa? Tanya Google sana.


Wednesday, 7 November 2012
5:38 pm


PS : Gambar diambil dari sini