Monday, January 28, 2013

beranak

Alkisah di penghujung  tahun 2012, pada akhir sebuah pesta keluarga, seorang perempuan muda menunggu suaminya yang mengambil mobil sambil menggandeng anaknya yang berumur lima tahun. Tak lama kemudian, berdiri di sebelahnya seorang perempuan setengah baya. Perempuan setengah baya itu tersenyum pada perempuan muda tadi dan juga tersenyum pada anaknya. Capek dan lelah karena seharian belum sempat istirahat, perempuan muda ini tidak berminat untuk membuka percakapan dengan perempuan setengah baya tadi. Tapi memang terkadang hidup tak selalu memberikan apa yang kau inginkan. Perempuan setengah baya tadi menyapa perempuan muda itu begini: "Anaknya baru satu ya? Kok nggak nambah? Sudah besar lho anaknya." Kemudian kepada si anak kecil, perempuan setengah baya ini melanjutkan cerocosannya: "Kamu nggak pengen punya adik, Nyo?"

Lantas tanpa babibu, perempuan muda itu mengeluarkan pisau dari tasnya (entah bagaimana pisau itu ada di dalam tasnya) dan ditusukkannya pisau itu sekuat tenaga pada perempuan setengah baya yang tidak ia kenal sama sekali namun sudah sok tahu mencampuri hidupnya. Habis perkara, bukan? Bunuh mereka yang tidak bisa jaga mulut dan lancang bertanya yang bukan urusannya. Sebab ia tak habis mengerti, dari milyaran topik di seluruh dunia ini untuk membuka percakapan, termasuk topik paling biasa macam cuaca sekalipun, mengapa perempuan setengah baya itu harus memilih topik yang itu?

Tapi tidak. Bukankah hidup tak selalu memberikan apa yang kau inginkan? Sayangnya pembunuhan keji tersebut hanya ada di pikiran perempuan muda itu tadi. Yang sesungguhnya terjadi, perempuan muda itu cuma mesem sambil menggandeng anaknya menjauh dari perempuan setengah baya itu tadi. Sebab ia tahu, barangkali jika ia lebih lama berdiri di dekat perempuan tadi, apa yang ada di pikirannya bisa betulan terjadi. Dan ia tidak berminat masuk penjara hanya gara-gara perempuan setengah baya yang tidak bisa menjaga mulutnya. 

Sudah lama perempuan muda itu berpendapat bahwa beranak bukanlah perkara yang mudah. Yang nikmat dari beranak barangkali hanyalah saat-saat kau merasa membubung tinggi di awan-awan selama beberapa detik kemudian tak lama terdengar dengkuran lembut pasanganmu di sebelah. Tapi beranak? 

Perempuan muda itu memiliki pekerjaan yang bagus dan karir yang mapan. Ya. Mereka bilang, manusia macam dia biasa masuk dalam kategori berlabel: wanita karir. Ya. Wanita karir yang sering disalahpahami banyak orang, mulai dari yang tua sampai yang muda. Mulai dari yang mengaku beragama sampai yang tidak beragama. Wanita karir yang selalu dituding menyalahi kodrat dan tidak sayang pada keluarga, khususnya anak-anaknya. Yang meninggalkan anak-anaknya di tangan pembantu atau baby sitter. Yang dengan mudahnya sering dituduh tidak becus mengurus anak-anaknya sendiri. Sejatinya kata mereka yang mengaku lebih tahu, perempuan itu seharusnya seperti Ainun, istri mantan presiden Habibie yang memutuskan untuk tidak bekerja karena ia tidak mau meninggalkan anak-anaknya di tangan orang lain sehingga ia tidak bisa membentuk sendiri karakter anak-anaknya demi sebuah eksistensi dan harga diri sebagai wanita sukses. Ya. Makan saja kata-kata itu, sebab perempuan muda itu berpendapat menjadi ibu tidak lah sesempit pandangan "tugas wanita adalah di rumah dan merawat anak-anak" atau “memutuskan karir untuk membentuk karakter anak-anak di rumah”. Pandangan yang menurut perempuan muda itu sangat fungsional. Persis seperti kata Aristoteles. Peran perempuan di dunia ini fungsional, yaitu supaya laki-laki lebih bebas berekspresi dan berkarir sesuka hati. Juga seperti kata pepatah yang sering didengung-dengungkan motivator, pendeta, atau bahkan tokoh nasional bahwa dibalik laki-laki yang sukses ada perempuan yang hebat. Sungguh terdengar elok dan indah di kuping. Sehingga para perempuan tak cukup harus mendengar sekali, tapi berkali-kali. 

Tapi beranak memang tak semudah mengambil pembantu atau baby sitter setiap kali kau memproduksi bayi, kata perempuan muda tadi. Supaya kelak orang-orang dapat melihat betapa suburnya kau dan betapa kayanya suamimu sebab lima anak-anakmu masing-masing didampingi baby sitter satu persatu. Atau barangkali semudah itu sebenarnya beranak? Bayar satu, dua atau bahkan tiga pembantu atau baby sitter, sesuai dengan jumlah anakmu, sehingga kau tidak perlu repot sebab tahi dan air seni anakmu sudah ada yang mengurus?

Perempuan itu bertanya-tanya lagi dalam hatinya. Masih tidak terima dengan pepatah yang terdengar elok tadi. Jika dibalik laki-laki sukses ada perempuan yang hebat, apakah itu berarti dibalik perempuan sukses ada laki-laki hebat? Ia tidak yakin. Yang lebih masuk akal barangkali begini: dibalik perempuan sukses ada laki-laki yang cemburu. Karena dunia sepertinya sudah telanjur sepakat dengan Aristoteles, Francis Bacon atau bahkan Immanuel Kant dan sejumlah filsuf lainnya bahwa bukan kodrat perempuan untuk sukses di bidang selain rumah tangga. Ada yang salah dengan wanita karir yang sukses. Bahkan ada yang berpendapat wanita karir yang sukses takkan pernah bahagia selama ia belum mendapatkan laki-laki dimana mereka bisa mendedikasikan hidup mereka untuk bercinta dan beranak dengan.

Dan ditengah-tengah kegalauan hatinya, perempuan muda itu menatap anaknya yang sedang tidur dan suaminya yang sedang bekerja. Ia tahu, diluar sana lebih banyak perempuan tak seberuntung dirinya memiliki suami yang mau mengerti urusan rumah tangga dan ikut repot membantu menjaga anak. Yang mau mengerti bahwa keputusan beranak semata-mata bukan karena ketakutan anaknya akan kesepian tanpa kehadiran saudara kandung ataupun kekhawatiran bahwa anaknya akan kerepotan merawat kedua orang tuanya yang sudah renta kelak ketika ia dewasa. Diluar sana, lebih banyak lagi laki-laki yang merasa dirinya suami sekaligus raja yang harus selalu dituruti kemauannya. Yang berpikir bahwa pekerjaannya adalah cari duit sambil menanamkan benih pada sel telur istrinya dan pekerjaan istri adalah menunggu suami di rumah, memasak dan tentu saja beranak setelah benih berhasil tertanam. Ia bersyukur suaminya tak pernah menghakiminya karena ia tetap memilih untuk berkarir dan suaminya juga percaya bahwa kedekatan orang tua dan anak tak semata-mata hasil dari kuantitas waktu tapi lebih pada kualitas. Siapa yang bilang wanita karir tak bisa dekat dengan anak-anaknya? Siapa yang bilang wanita karir tak dapat ikut membentuk karakter anak-anaknya hanya karena delapan jam atau lebih dihabiskan untuk pekerjaan mereka di kantor? Hanya yang buta dan tak mau percaya lah yang bilang demikian.

Dipeluknya anaknya dalam tidur, dan anak itu bergumam ditelinga perempuan muda tadi: "I love you, Mom."

Monday, 28 January 2013
03:42 pm

PS : Gambar diambil dari sini