Friday, November 22, 2013

percakapan tahi kucing

"Jaman sekarang tidak ada yang namanya pemberian yang tulus!" sabdanya suatu sore.

Seharusnya aku membalas sabdanya dengan pertanyaan seperti ini: "Kok bisa?" atau "Mengapa kamu bilang begitu?" atau "Maksudmu?" Tapi mulutku terkunci, karena aku tak sudi terperangkap dengan sabdanya yang sok tahu itu. Lagipula aku sedang sibuk.

"Hadiah-hadiah itu macam tahi kucing yang berceceran di jalan. Dan kamu tahu, semua kucing itu tidak tahu diri!"

Lagi-lagi aku diam, sebab aku kurang setuju jika ada yang mengatakan bahwa kucing itu hewan yang tidak tahu diri. Kucing justru hewan yang tahu diri. Ia tahu bahwa dirinya dijadikan mitos di banyak tempat, karena itu dia bisa seenaknya hidup disana-sini tanpa ada yang berani macam-macam dengannya. Kalau menurutku hewan yang paling tidak tahu diri itu kecoak. Buruk rupa tapi pede nongol di tempat-tempat tak seronok seperti kamar mandi dan toilet, tempat manusia mengumbar kelamin masing-masing dan bagian-bagian tubuh yang biasanya tertutup.

"Begini maksudku," katanya lagi.

Benar kan? Tak disahuti pun ia masih menyerocos, apalagi jika kusahuti.

"Suatu waktu kamu bertemu dengan seorang bapak tua penjaja makanan. Ia sudah tua, terlihat selalu letih, dan jika berjalan selalu menggunakan tongkat. Kamu kasihan, kemudian kamu bantu ia berjalan. Kamu belikan makanan. Kamu beri uang untuk ongkos perjalanan pulang. Keesokan harinya, kamu melihat lagi bapak tua ini. Dan kamu merasa kamu masih harus membantunya, maka kamu lakukan hal yang sama. Kamu bantu ia berjalan, kamu belikan makanan dan kamu beri juga uang untuk ongkos perjalanan pulang."

"Tidak ada yang salah dengan itu kan?" sahutku akhirnya.

"Ya! Tidak ada yang salah dengan itu," katanya lagi makin bersemangat. "Sampai suatu ketika bapak tua tadi berubah jadi penuntut. Ketika melihatmu datang, ia akan mendatangimu, memintamu membantunya berjalan. Memintamu membelikan makanan. Ia mulai berani mengatakan ia tidak suka nasi padang yang kamu belikan di rumah makan A. Ia lebih suka nasi padang di rumah makan B - yang harganya lebih mahal. Kemudian ia juga akan minta uang untuk ongkos perjalanan pulang. Seperti biasanya. Dan ketika kamu tidak bisa memberikan itu semua, ia akan marah-marah. Menuntut. Seolah-olah pemberian yang awalnya kamu berikan dengan tulus dan cuma-cuma sudah berupa bentuk menjadi hak yang seharusnya ia terima."

"Ha! Bisa jadi! Tapi itu tidak lantas menjadi alasan utama buatmu mengatakan pemberian itu seperti tahi kucing!" Aku mulai memanas, sebab aku kurang rela mengakui bahwa apa yang dikatakannya ada benarnya.

Ia tersenyum-senyum senang melihatku membalas perkataannya. "Sekarang coba bayangkan. Kamu menyetir mobilmu malam-malam seperti yang barusan kamu lakukan, kemudian kamu melihat seseorang tergeletak di pinggir jalan dalam keadaan tidak sadar. Apa kamu akan berhenti dan menolongnya? Atau paling tidak, memeriksa keadaannya?"

"Tentu saja!" sahutku cepat.

"Benarkah?" Ia tersenyum sinis. "Kalau memang begitu, mengapa kemarin malam kamu tidak melakukannya?"

Aku terdiam. Teringat kemarin malam ketika aku menolak menghentikan mobil saat ada laki-laki terjatuh dari motor. Kataku saat itu: "Ya kalau dia jatuh beneran? Kalau ternyata dia preman yang pura-pura jatuh? Gimana? Mau jadi apa kita? Lagian kamu nggak baca koran apa? Banyak kasus yang kayak begitu. Mau menolong malah bikin kantong bolong. Taruhannya nyawa!"

Ia tersenyum-senyum lagi. "Percayalah, bukan kamu satu-satunya yang berpikir seperti itu. Hidup di jaman sekarang ini, memang kita harus ekstra hati-hati. Jadi benar kan teoriku?"

Aku mulai manggut-manggut cemberut. Antara membenarkan tapi gengsi untuk mengakuinya dan yang sedang kulakukan tak kunjung selesai sebab aku sesungguhnya kurang mengerti apa yang kulakukan.

"Nenekku juga begitu!" cerocosnya lagi. "Tiap ulang tahun, ia dapat banyak hadiah. Dari anak-anaknya. Tapi yang paling dia tunggu-tunggu tentu dari anak laki-lakinya yang sulung. Om-ku itu! Yang paling kaya diantara saudara-saudaranya. Bisnisnya paling sukses, mobilnya lima, rumahnya besar. Makanya dia juga yang paling didengar oleh Nenek, soalnya hadiah darinya untuk Nenekku selalu mahal. Terakhir Nenek dibelikan gadget yang paling baru. Sampai terharu biru Nenekku dibuatnya. Hatinya sudah dibeli oleh Om-ku itu!"

Lagi-lagi aku menggerutu tanda setuju dengannya tapi tak rela kalau ia benar, sambil bertanya-tanya dalam hati apakah memang benar sudah tidak ada lagi pemberian yang tulus di dunia ini?

"Seperti tadi pagi," lanjutnya, "aku ditelepon marketing bank. Dia bilang karena aku sudah menjadi nasabah yang setia, mereka mau memberikan kompensasi. Semacam hadiah begitu. Hadiahnya sejumlah uang. Tapi ternyata setelah penjelasan yang panjang dan ruwet, aku baru tahu kalau yang dimaksud hadiah uang itu adalah pinjaman yang katanya berbunga rendah. Nah, kubilang juga apa? Mana ada hadiah gratisan kayak begitu. Tahi kucing!" Ia mengumpat lagi sambil tertawa-tawa.

"Kamu bisa nggak sih diem sebentar dan bantuin aku?" potongku sewot. "Ini mobil kalau nggak segera dibetulkan kita bisa semalaman disini!"

Sebelum ia menyahut, seorang bapak setengah baya mendekat. Di tangannya ada seperangkat alat. "Mari saya bantu, Dik. Saya lihat dari tadi adik berdua kesulitan membetulkan."

Kemudian tanpa menunggu jawaban, si bapak dengan cekatan mencari kerusakan dan membetulkannya.
Ia, kawanku yang cerewet itu tersenyum-senyum sambil berbisik di telingaku: "Paling-paling dia mengharapkan duit dari kita."

"Duitku tinggal lima puluh ribu! Buat isi bensin!" semprotku mendelik.

Tak berapa lama si bapak memberi isyarat padaku untuk menyalakan mesin. Dan, voila! Mesin menyala! Aku lega karena tak perlu disini semalaman, kawanku yang cerewet itu lega karena lagi-lagi bisa membuktikan teorinya tentang pemberian. Diselipkannya selembar uang berwarna biru di tangan si bapak.

Aku tersenyum.

Bukan. Bukan karena pada akhirnya aku sepakat dengan kawanku yang cerewet itu yang bikin aku tersenyum. Aku tersenyum karena lembaran uang berwarna biru dari kawanku itu ditolak oleh si bapak.

Dan si bapak pergi begitu saja, meninggalkan kawanku dengan mulutnya yang menganga lebar. Lebar sekali. Selebar senyumku.

Yang dikira tahi kucing itu ternyata rasanya manis.


Friday, 22 November 2013
03:06 pm

Gambar diambil dari sini