Thursday, September 25, 2014

blah blah blah


Awalnya cuma karena kepepet. Betul. Kepepet. Kalian tahu kan teori the power of kepepet? Teori ini sungguh ada, nyata dan berkuasa. Dan konon, lebih powerful daripada The Wizard of Oz atau bahkan  Voldemort himself.

Pernah suatu hari ada yang bertanya pada saya, saya lupa siapa. Begini dia tanya: “Bagaimana ceritanya kamu bisa bikin naskah panggung?” Jawaban saya enteng: “Kepepet. Nggak ada orang lain yang mau repot-repot bikin. Yang mau repot-repot bikin sudah minggat ke luar negeri.” Ini juga betulan, nggak bohong, dan nggak bermaksud merendah. Saya sudah cukup rendah (baca: pendek) tanpa perlu direndah-rendahkan. Waktu itu saya memang menulis karena kepepet.

Karena itu lah, ketika naskah panggung yang dibikin dengan menggunakan teori the power of kepepet ini dipentaskan, karakter-karakternya dihidupkan, dan para penonton mengapresiasi apa yang terjadi diatas panggung berikut dialog-dialognya, rasa bangga belum ada. Yang ada rasa senang sekaligus rasa haru. Biar saja orang bilang saya sungguh India, karena harus merasa terharu hanya gara-gara naskah bikinan hasil the power of kepepet tadi diproduksi. Memang itu kenyataannya. 


Kata orang, jika ada yang pertama, maka ada yang kedua, ketiga dan seterusnya. Itu pula yang terjadi pada saya. Saat naskah ketiga dan seterusnya dipertunjukkan, rasa senang berangsur-angsur bersembunyi – diganti dengan rasa bangga. Nah, seharusnya saya tahu, yang namanya rasa bangga alias kebanggaan ini kalau dibiarkan terus tumbuh bisa menjadi rasa sombong alias kesombongan. Bangga boleh, sombong tentu jangan. Kata nenek saya begitu sih. 


Saya nggak ingat juga sejak kapan saya mulai dicari pada saat orang-orang butuh naskah ‘custom’. Custom disini maksudnya ‘minta’. Minta naskah dengan tema ini. Minta naskah dengan jumlah pemain segini. Minta naskah untuk pentas dua puluh menit atau satu jam atau dua jam. Minta naskah kolosal, ada nyanyi-nyanyinya tapi jangan sulit-sulit, ada puisi-puisinya, ada ayat-ayat Alkitabnya, dan sebagainya dan sebagainya. Awalnya saya setres. Lha, dipikir mereka, saya ini super apa? Saya nggak nganggur, broow. Tapi ya itu, diakui atau tidak diakui, disadari atau tidak disadari, ternyata saya menikmati proses pembuatan naskah dan proses produksi naskah tersebut. Jadi, biarpun sambil nggerundel dan nggak yakin, saya terima saja permintaan mereka. 


Perhatikan ini: saya menulis tak lagi dengan the power of kepepet , sudah ada reaksi kimia disana. Semacam phenylethylamine  yang entah sejak kapan tinggal di dalem sini. Saya jatuh cinta dengan proses menulis. Jatuh cinta dengan proses berubahnya naskah menjadi satu produksi yang hidup di atas panggung. Dan orang yang jatuh cinta itu bermacam-macam bentuknya. Bentuk saya? Bergairah dan berusaha merendah, tapi wujud yang keluar barangkali adalah kebanggaan yang terlalu tinggi. Jauh lebih tinggi dari tinggi badan saya yang sebenarnya.


Mau ngomong kalau saya sombong aja kok susah amat ya. Iya, saya kok jadi sombong. Saya merasa pinter. Saya merasa super. Saya merasa saya harus selalu didengerin kalau proses produksi naskah saya sudah dimulai. Saya yang tadinya enggak pede ngomongin bagaimana cara bikin naskah panggung, mendadak jadi merasa yang ahli. Padahal apalah saya ini sih dibandingkan Arifin C. Noer, Nano Riantiarno, Agus Noor yang kemampuannya jauuuuhhh diatas saya itu? Yang sudah go international sejak lama. Diakui sana-sini sebagai  penulis. Lha saya? Yang mengakui saya penulis itu ya saya sendiri, dan suami saya kayaknya. Itu pun karena saya yang paksa suami. Suami bisa saya paksa dengan ancaman “Ntar malem tidur sendiri loh!” atau “Ntar malem posisinya nggak macem-macem loh!” atau… tuh kan saya jadi ngelantur.

Jadi ceritanya saya ini lagi berusaha keras. Gimana sih caranya supaya saya tetap serendah atau sependek fisik saya? Kenapa sulit untuk tetap merasa jadi orang biasa? Sulit untuk netral terhadap diri sendiri? Sulit untuk meletakkan ego, gengsi dan kebanggaan berlebih itu di bawah pantat saya?


Saya jadi penasaran, gimana ya si William Shakespeare kalau sekarang masih hidup dan melihat naskah The Twelfth Night dipentaskan berulang-ulang? Gimana ya rasanya si Victor Hugo melihat novel Les Miserable-nya jadi pertunjukan musikal panggung yang memenangkan 8 Tony Awards? Atau si Jonathan Larson yang nggak sempat mengalami kesuksesan Rent hasil karyanya karena keburu mati sebelum sukses dipentaskan di panggung Broadway?


Saya nggak mau ah mati dulu gara-gara diduduki kesombongan saya sendiri  sebelum melihat hasil karya saya dipentaskan di panggung besar minimal di Taman Ismail Marzuki. Tuh kan, sombong lagi. 


Ah, susahnya untuk tidak mengembangkempiskan hidung saat diapresiasi. Susahnya untuk stay cool saat dipuji. Susahnya untuk tidak sombong....




Curcol bla bla bla ini ditulis di sela-sela tugas revisi bikin SOP dan proposal kegiatan di kantor
Kamis, 25 September 2014
11:27 am

PS: Hati, tolong jangan berharap ‘like’ atau pujian yah… Plisss….