Saturday, May 30, 2015

perempuan, pelacur dan cita-cita

Di kolong jembatan layang itu mereka bertemu. Hari hampir berganti meski mereka belum menunggu terbit matahari. Dan di situlah kaki-kaki jembatan layang menjadi saksi secuplik kisah mereka.

Mereka berenam. Semuanya memakai rok, dan mengaku perempuan. Dari dandanan mereka, para lelaki hidung belang yang lewat barangkali akan segera mendekat, memilih-milih satu untuk kemudian bertanya: “Satu jamnya berapa?”

Tapi malam itu malam sepi laki-laki hidung belang. Asal tahu saja, mereka berenam itu tadi jadi luntang-lantung tanpa tujuan seperti ini karena tempat kerja mereka yang lama dan sudah terkenal sampai ke luar negeri itu ditutup dengan paksa oleh walikota setempat. Kompensasi sih kompensasi, tapi bisa bertahan sampai kapan kalau cuma mengandalkan kompensasi tok?

Salah satu dari mereka, namanya Susi, mengeluarkan rokok dari tasnya, menyalakan dan menghisapnya dalam-dalam. Yang lain, namanya Tasya, langsung menggerutu: “Ya makhluk kayak kamu ini, Sus, yang membunuh mimpi-mimpi perokok pasif seperti kami. Kamu pikir asap yang kamu hasilkan itu nggak beracun?”

“Pelacur kok punya mimpi. Sejak kapan?” sahut yang lain sambil memonyongkan bibirnya yang bergincu merah muda. Namanya Renata. Menurutku ia yang paling cantik diantara semuanya. Ia juga yang paling pendiam.

“Nggak ada asap ini juga kamu tiap hari menghirup racun dari jalanan,” kilah Susi tak peduli.

“Lho, jadi pelacur nggak boleh punya mimpi?” tanya yang lain lagi. Namanya Yusi. Kalau Yusi ini menurutku yang paling montok diantara semua, tapi yang paling kritis. Memangnya cuma mahasiswa saja yang boleh kritis? Pelacur juga!

“Boleh, boleh!”

Tiba-tiba saja suasana jadi ramai. Memperdebatkan tentang apa boleh atau tidak pekerja seks komersil macam mereka punya mimpi dan cita-cita. Awalnya banyak yang tidak setuju dengan Yusi. Sebab mereka berpikir, percuma pelacur punya cita-cita. Toh selangkangan juga yang akan berbicara dan menentukan. Tapi berangsur-angsur mereka menyadari bahwa pelacur juga manusia yang bisa dan boleh punya mimpi dan cita-cita.

Dari suasana yang ramai, sepi kemudian menyeruak. Hanya bunyi hisapan rokok Susi yang terdengar. Mereka mengenang-ngenang masa ketika masih mempunyai cita-cita.

“Dulu waktu perayaan hari Kartini, aku selalu pakai pakaian dokter, Yus,” kata Adinda. Rambutnya cepak tapi wajahnya manis. “Tapi itu bukan karena aku kepengen jadi dokter.”

“Lantas?” tanya Tasya.

“Sebab pakaian dokter yang paling gampang dicari ibuku yang sibuk. Meskipun waktu itu aku bilang aku ingin pakai kostum pilot. Menurutku gagah betul kostum pilot itu.” Adinda bercerita dengan berapi-api. “Ibu menolak karena menurutnya pekerjaan pilot hanya untuk laki-laki!”

“Bah!” semprot Hesti, salah satu perempuan yang paling kelihatan mencolok di situ. Bagaimana tidak mencolok kalau ia mengecat rambutnya dengan warna kuning menyala seperti itu. Dan jangan salah, boleh lah kau anggap rambutnya norak, tapi dia punya pelanggan yang setia dan selalu datang ke selang-, maksudku ke pelukannya - memberikan ia uang bulanan yang lumayan untuk menyekolahkan adik-adiknya di desa. Dia pula yang paling sensitif masalah beginian. “Masa mentang-mentang kita perempuan, kita tidak boleh punya cita-cita tinggi?”

“Menurutmu menjadi pilot itu cita-cita yang tinggi?” Susi balik bertanya.

“Iya dong,” jawab Adinda. “Gimana enggak tinggi kalau kerjaannya menerbangkan burung besi ke langit?”

Semuanya tertawa mendengar jawaban Adinda yang seenaknya. Semuanya kecuali Hesti. “Ini bukan cuma perkara menjadi pilot. Ini tentang cita-cita. Yang dipertanyakan oleh Yusi tadi. Buat aku cita-cita itu hak semua manusia. Nah kita ini kan masih manusia tho? Berarti kita semua masih boleh punya cita-cita tho?”

“Iya kita ini memang manusia, Hes. Tapi kita ini pelacur! Kalau pelacur kayak kita ini masih boleh punya cita-cita, nasib kita nggak berakhir di kolong jembatan layang seperti sekarang!” gerutu Susi sambil membuang puntung rokoknya dan mengambil rokok baru.

Tasya langsung menyambar dan membuang rokok barunya Susi. “Justru supaya kita nggak terus-terusan berakhir di sini, kita harus punya cita-cita, Sus! Sekarang coba katakan padaku tentang mimpi-mimpimu! Cita-citamu waktu kecil, yang mungkin sampai sekarang masih ingin kamu perjuangkan!”

Susi misuh. “Sudah kubilang aku tidak punya cita-cita! Kalau aku punya cita-cita, aku nggak akan berada di sini bersama pecundang macam kalian!”

“Cita-citaku sederhana,” sahut Yusi. “Aku cuma ingin bertemu dengan laki-laki yang mencintai aku apa adanya, menikah dan punya anak.”

Hanya bunyi klakson mobil dari kejauhan yang menyela. Teman-teman Yusi terdiam mendengar cita-cita Yusi. Hesti yang pertama kali berucap keras. “Menikah? Mana ada yang sederhana dari menikah dan beranak? Ujung-ujungnya kamu tetap berakhir di bawah ketiak laki-laki! Dan kamu dihujani lagi tuntutan-tuntutan lainnya! Pilihan-pilihan yang serba salah, seperti: menjadi ibu rumah tangga atau wanita karier? Terus apa kamu pikir keduanya sama enaknya? Enggak! Ibu rumah tangga akan diremehkan dan wanita karier akan dihujat. Anak nakal ibu disalahkan, anak pintar, ayah dipuji! Dari mana sederhananya cita-citamu itu, Yus?”

“Wah, kamu jangan cuma bisa menjelek-jelekkan mimpi kawan-kawanmu, Hes. Jangan-jangan kamu sendiri tidak punya cita-cita?” ucap Tasya panas.

“Cita-citaku jadi politikus, Sya!” jawab Hesti cepat. “Terus aku akan maju jadi presiden! Coba bayangkan headline surat kabar ibukota kelak kalau aku naik jadi presiden: Mantan Pelacur Resmi Menjadi Presiden. Nah! Kurang keren apa kalau dibandingkan dengan cita-citamu tadi, Yus?”

“Iya, terus habis jadi presiden, ternyata kamu ditangkap KPK gara-gara korupsi! Lebih keren lagi media cetak akan menulis: Presiden Hesti Ditahan KPK Terkait Masalah Moralitas. Jadi politikus kok dibilang keren. Manisnya itu di mulut doang, hatinya berlobang,” sahut Tasya pedas.

“Kayak punya elu!” Adinda menyambar yang langsung disambut gelak tawa teman-temannya. “Cita-cita itu nggak usah yang tinggi-tinggi. Kalau ketinggian nanti jatuh. Cita-citaku lebih sederhana dari jeng Yusi. Aku cuma pengen sekolah lagi. Belajar bisnis, supaya enggak lagi-lagi menggantungkan nasib pada orang lain.”

“Sekolah lagi, tapi nulis skripsinya dibantu joki ye, Din, biar cepet lulusnya,” sindir Susi. “Kalau kamu gimana, Ren? Dari tadi bengong aja kayak Bagong.”

Renata menatap kawan-kawannya di balik bulu matanya yang lentik. “Aku pengen jadi laki-laki.”

Jawaban Renata kali ini betulan disambut senyap seketika. Tidak ada cita-cita yang lebih ambisius ketimbang cita-cita Renata.

“Aku bosan jadi perempuan. Capek jadi perempuan. Tuntutannya banyak. Penghakimannya sepanjang jaman. Jangankan punya cita-cita, tidak diremehkan sekali-sekali saja aku sudah bersyukur,” kata Renata. “Mana yang lebih ramai dihujat dan dimaki-maki oleh masyarakat saat seorang pekerja seks dengan tarif puluhan juta disorot oleh media? Sang mucikari? Si pekerja seks? Atau pelanggannya? Nggak lain nggak bukan ya si pekerja seksnya! Mucikari nomor dua! Lah pelanggannya ke mana? Melenggang kakung begitu saja, pokoknya nafsu mereka sudah terpuaskan dan sudah juga mengeluarkan kocek untuk itu. Aman. Asal ada duit, kamu nggak akan terusik. Nah, terus pansel KPK yang baru saja dibentuk itu. Yang isinya perempuan semua itu. Yang isinya nggak cuma perempuan-perempuan biasa, tapi perempuan-perempuan pintar dan berpendidikan. Tetap aja diremehkan oleh masyarakat. Sepintar apa pun perempuan, tetap aja dinilai nggak punya kompetensi dan kemampuan buat perkara-perkara yang membutuhkan otak untuk berpikir. Bahkan ada yang terang-terangan menulis di media cetak nasional, kalau pembentukan pansel yang isinya perempuan semua ini kemunduran besar buat negara. Status pemimpin tetap lebih layak dipegang makhluk-makhluk berpenis itu. Bagaimana aku tidak bosan jadi perempuan? Tidak capek jadi perempuan? Aku kepengen jadi laki-laki saja. Supaya tidak melulu diremehkan, dihujat dan dihakimi!”

Teman-teman Renata melongo mendengar pidato sepanjang itu. Renata yang cantik dan pendiam, tiba-tiba menjadi corong yang mewakili suara hati mereka sebagai perempuan.

“Aku mengundurkan diri jadi calon presiden, Ren,” kata Hesti akhirnya. “Kamu yang lebih pantas. Dan kalau kelak kamu jadi presiden, jangan lupa memperjuangkan nasib-nasib orang-orang pinggiran seperti kita. Kita bukan barang. Bukan obyek untuk seenaknya digunjingkan, dihakimi dan dicaci maki.”

Waktu sudah di atas angka dua belas. Tengah malam sudah lewat. Betul-betul malam yang sepi laki-laki hidung belang, tapi ramai mimpi dan cita-cita. Sungguh magis apa yang bisa diubah sang waktu saat berganti hari. Seolah-olah dunia kemarin bisa sangat berbeda dengan dunia hari ini. Hari baru setiap pagi.

Susi mengambil sebatang rokok dari kantungnya lagi. Tasya sudah hampir menyemprot Susi sampai ia berkata begini: “Ijinkan aku menyulut rokokku yang satu ini, Kawan. Sebab ini akan menjadi yang terakhir untukku. Ini cita-citaku sejak dulu.”

Kawan-kawannya bersorak.

Pagi-pagi, orang-orang ramai mengerubungi sudut kolong jembatan layang. Di situ tergeletak beberapa mayat yang selangkangannya berdarah-darah. Semuanya laki-laki. Ditengarai yang mati seorang pejabat setempat bersama para ajudannya.

Seorang saksi bersumpah, pembunuhnya adalah para perempuan pekerja seks komersil yang biasa mangkal di situ. Motif mereka membunuh? Entahlah. Yang jelas pejabat itu memang sudah terkenal suka birahi tiba-tiba saat lewat tengah malam.

Seharusnya pejabat itu tahu, jangan pernah main-main dengan para pelacur yang punya cita-cita.


Saturday, 30 May 2015
11.03 pm

Diinspirasi oleh enam perempuan jejadian yang saya temui di malam tanggal dua puluh enam bulan lima tahun dua ribu lima belas. :)


Monday, May 18, 2015

ironi


“Kamu tahu mengapa aku butuh kafein?”

Tak ada hujan, tak ada angin, apalagi petir dan guntur. Tiba-tiba saja kawanku yang setengah sableng ini bertanya padaku. Padahal, sumprit, aku nggak kepengen tahu. Tapi aku kawan yang baik dan tidak sombong. Meski sableng, tetap kutanggapi pertanyaannya.

“Memangnya mengapa?” tanyaku.

“Sebab kafein selalu berhasil bikin aku kesurupan.”

Benar kan kalau kubilang kawanku ini sableng?

“Kenapa harus kesurupan?”

Bodoh. Bodoh. Bodoh. Kenapa juga aku bertanya? Pasti ngocehnya bakal lebih nggak keruan!

“Karena hanya dengan kesurupan aku bisa menulis – menjabarkan aksara yang wira-wiri di otakku ini menjadi sebuah kisah. Seperti sekarang!”

“Sekarang kamu lagi butuh kafein?”

Ia mengangguk.

Sungguh rumit kawanku ini. Mau ngomong butuh kafein saja pakai bilang butuh kesurupan segala buat menulis.

“Kamu mau nulis apa sih memangnya?” tanyaku lagi mencoba bersabar.

“Banyak! Terlalu banyak sampai aku tak tahu harus mulai dari mana!”

Ia kemudian menyodorkan surat kabar hari ini padaku.

“Coba baca,” pintanya dengan nada memerintah.

“Ogah!” jawabku judes. Asal tahu saja, aku paling malas membaca koran, sebab itu berarti aku membiarkan orang-orang yang tak kukenal – mereka yang mengaku-aku berprofesi sebagai jurnalis – meracuni isi otakku dengan berita sepihak yang mereka tulis. Tulisan jurnalis bikin orang-orang kecanduan berasumsi. Padahal asumsi belum tentu benar! Dan Surga tahu betapa bencinya aku pada manusia-manusia yang suka berasumsi.

“Ayolah! Ini bukan soal politik yang kamu benci setengah mampus itu. Ini tentang nasionalisme!”

Nasionalisme? Nah, ini baru menarik. Sebab aku juga sedang mempertanyakan nasionalisme-ku sendri. Siapa tahu bisa membuat aku segera memutuskan kemana akan kubawa nasionalisme-ku ini.

Kubuka surat kabar itu, yang isinya foto-foto orang Indonesia yang tinggal di berbagai tempat di luar negeri dan usaha mereka untuk memperkenalkan budaya Indonesia di negeri orang. Mulai dari mengajari para bule maniak keju memasak makanan Indonesa yang penuh rempah itu sampai menarikan tari tradisional Indonesia di acara-acara kenegaraan pemerintah setempat. Misi mereka tak lain tak bukan menjadi jendela bagi orang-orang asing itu untuk mengintip dan mencicipi Indonesia tanpa perlu keluar dari negeri mereka.

Selesai membaca aku malah termenung-menung, sambil menatap satu-satu foto-foto dalam surat kabar tersebut.

“Bagaimana? Katakan padaku apa yang ada dalam batok kepalamu sekarang,” ucap kawanku sesaat setelah melihat aku termenung-menung selesai membaca surat kabar yang ia sodorkan padaku.

“Apa aku harus hidup di luar negeri dulu supaya aku bisa lebih bangga dengan negeriku sendiri? Dengan budayaku sendiri?” tanyaku perlahan-lahan, seolah setiap katanya meluncur keluar dari mulutku tanpa komando dari kepala.

“Pertanyaan-pertanyaan kece!” Kawanku makin bersemangat. “Apa lagi? Apa lagi?”

“Apa itu berarti budaya kita akan jatuh di tangan orang asing lagi? Seperti dulu?” Entah setan apa yang merasuki diriku sampai aku mengajukan pertanyaan-pertanyaan goblok ini. Ah, aku kenal setannya. Ya kawanku ini. Tiada lain.

“Makin kece!” Kawanku bertepuk tangan keras sekali. “Persis seperti itu yang berseliweran dalam kepalaku!”

“Kalau begitu, aku sudah mulai sama sablengnya dengan kamu,” keluhku.

“Ironi. Itu kata yang paling tepat, bukan?” tanyanya tanpa peduli bunyi keluhanku.

“Nggak tahu!” Aku pura-pura kesal meski dalam hati aku setuju dengan yang ia katakan.

“Ini jelas ironi!” tandasnya tak terima dengan jawabanku. “Coba bayangkan, bagaimana tidak ironi namanya kalau orang asing lebih tertarik dan lebih tahu tentang budaya Indonesia ketimbang orang-orang Indonesianya sendiri?”

Kalau kawanku sudah mulai berapi-api begini, akan jauh lebih aman untukku jika kututup mulutku rapat-rapat.

“Coba sekarang aku tanya, apa kamu kenal anak-anak yang dikirim orang tuanya belajar gamelan, tari tradisional atau anak-anak yang masih main congklak dan menyanyikan lagu-lagu tradisional macam cublak-cublak suweng, apuse, ampar-ampar pisang? Ada tidak? Ayo jawab!”

“Nggak ada!” jawabku makin kesal. “Puas kamu?”

“Aku ada,” sahutnya, “tapi nggak banyak. Ibaratnya seujung kelingkingku ini. Apalagi kalau kamu tinggal di pulau Jawa, yang anak-anak mudanya justru kerasukan budaya dari luar. Makanya aku setuju dengan apa kata Sujiwo Tejo: budaya luar membuat anak-anak bangsa kesurupan menjelma orang asing di negeri sendiri.” Ia menoleh padaku, menatap mataku dalam-dalam. “Bukankah itu ironi? Seperti kita?”

Pelan-pelan aku mengangguk. Sebab aku melihat dengan kepalaku sendiri, anak-anak muda Indonesia yang begitu memuja seni dan budaya luar negeri tapi tak paham seni dan budaya negeri sendiri. Ketidakpahaman bukan sesuatu yang salah sampai ia berubah bentuk menjadi ketidakpedulian.

Sama ironinya saat aku melihat kami berdua. Kawan karib, saling seloroh, saling memaki, apa adanya, saling memahami meski kami berbeda, saling mencintai tapi tak bisa bersatu.

Hanya gara-gara namaku Sinta dan nama kawanku itu Rahwana.

Hidup di negeri ini memang ironi. Tapi entah mengapa, aku dan Rahwana tetap berkawan akrab dan mencintai negeri ini mati-matian. Cinta memang ironis.


Monday, 18 May 2015
12 : 09 am

PS : gambar diambil dari sini 

Sunday, May 03, 2015

dari balik jendela

Aku selalu terobsesi dengan jendela. Namun tak semua jendela menjadi obsesiku. Aku hanya terobsesi dengan jendela mobil, jendela bis dan jendela kereta api. Mereka membuatku merasa hangat dan lebih dekat dengan kehidupan manusia. Sungguh berbeda dengan jendela pesawat yang dingin dan angkuh. Jendela mobil, jendela bis, dan jendela kereta api selalu berhasil bikin aku merenung.

Dari jendela mobil, aku selalu memperhatikan manusia-manusia. Semakin kuperhatikan, semakin kupahami bahwa sungguh picik pandangan orang yang hanya mendefinisikan manusia hanya berdasarkan dari alat kelamin mereka saja. Tiap manusia memang berbeda, itu saja. Apapun kelaminnya. Barangkali itu sebabnya aku benci seragam sekolah, aku benci seragam kantor. Seragam bikin aku berpikir perbedaan adalah kriminal.

Dari jendela mobil, aku tak hanya makin memahami manusia, tapi aku juga makin memahami negeri ini. Tahukah kamu sebuah negeri dapat dikenal dari gaya hidup rakyatnya? Dan rakyat negeri ini terdiri dari manusia-manusia yang tangguh. Bagaimana aku bilang tidak tangguh kalau aku baru saja melihat dengan mata yang tertempel di kepalaku ini ada anak, kira-kira sebaya dengan keponakanku yang baru kelas lima SD, dengan kakinya yang belum panjang mengayuh becak sambil mengepulkan asap rokoknya? Bagaimana aku bilang tidak tangguh, kalau tak hanya sekali aku melihat satu keluarga yang terdiri atas bapak, ibu dan tiga anak-anaknya yang masih kecil berada di atas satu sepeda motor – melaju kencang diantara kendaraan-kendaraan besar lainnya? Itu belum termasuk para penjaja koran dan tahu goreng yang biasa berjibaku di perempatan lalu lintas jalan raya menghirup polusi, menjejak panasnya aspal tanpa bisa menghindari teriknya sinar matahari di ubun-ubun dan dinginnya malam tanpa bulan yang tambun.

Karena itu aku tak percaya jika ada pengamat – baik dari dalam maupun luar negeri – mengatakan bahwa negeri ini tak ada harapan. Negeri ini sudah jatuh terlalu dalam, tak mungkin dapat bangkit lagi. Negeri ini cuma citra yang palsu dan tak ada yang bagus di negeri ini. Mereka keliru. Negeri ini memang dramatis, tapi negeri ini akan baik-baik saja. Meski banyak yang pesimis, tapi lebih banyak lagi yang optimis. Jalannya memang berbatu-batu, tapi negeri ini tetap melangkah maju. Ini negeri yang dipenuhi manusia-manusia tangguh, bung! Kalau kau tak percaya, tinggalkan sejenak ponsel pintar dan media sosialmu, lihatlah dari balik jendela mobilmu, jendela bis tempat kau menumpang atau jendela kereta api tempat kau menunggu sampai ke tujuanmu.

Lihat saja dan kau akan percaya.


Sunday, 3 May 2015
3:43 pm