Thursday, July 30, 2015

tuan merah jambu dan nona biru laut


Di sebuah negeri yang membosankan, pada sebuah café yang suram, Tuan Merah Jambu dan Nona Biru Laut bertemu. Tuan Merah Jambu sedang memesan latte dengan pesan spesifik: tolong kopinya di-decaf, saat Nona Biru Laut di balik jendela menyeruput espresso yang ia pesan dengan tambahan: make it strong and black, pada sang barista.

Saat latte sudah di tangan, Tuan Merah Jambu duduk di dekat Nona Biru Laut. Ia membuka buku yang sudah dibawanya: Little Women yang ditulis oleh Louisa May Alcott dan tak lama tenggelam bersama kehidupan putri-putri keluarga March.

“Menurutmu, apakah manusia itu terlahir baik atau buruk?” 

Tuan Merah Jambu, yang tidak merasa diajak bicara, tidak menyahuti pertanyaan tersebut.

“Hei.”

Tuan Merah Jambu mendongak, sadar bahwa ternyata ia yang diajak omong oleh perempuan itu. Alis mata Tuan Merah Jambu berkerut, tanda ia merasa terganggu.

“Bagaimana menurutmu?” Nona Biru Laut meneruskan pertanyaannya. “Apakah manusia itu terlahir baik atau buruk?”

Sumpah, pikir Tuan Merah Jambu, aku hanya ingin membaca buku ini dengan tenang dan menikmati latte-ku tanpa perlu merasa terusik oleh pertanyaan absurd macam beginian

“Dulu kupikir manusia terlahir baik. Bayi lahir seperti kertas yang putih bersih. Tabula rasa. Kau tahu? Tapi sekarang aku berubah pikiran.” Nona Biru Laut kembali menyerocos sambil meneguk espressonya.

Dan itu menjadi urusanku karena? Tuan Merah Jambu kembali mengerutkan dahi. Oh, sebentar, itu bukan urusanku. Karena aku malas berpikir repot-repot seperti kau, Nona. Aku lebih suka merasa. Merasa bikin aku merasa manusiawi.

“Tapi kalau memang bayi lahir sebagai makhluk suci, mengapa ada bayi yang sangat pendiam dan ada bayi yang ributnya bikin ibunya naik darah?” Nona Biru Laut kembali berucap tanpa peduli.

Aku tak tahu. Sumpah, aku tak tahu. Aku belum pernah punya bayi, belum pernah pegang bayi. Aku belum kawin dan belum akan kawin dalam waktu dekat. Jadi, please, ijinkan aku menikmati kesendirianku dengan tenang.

“Namaku Biru Laut.”

Tuan Merah Jambu menoleh. Itu pertama kalinya ia menoleh dan memandang perempuan yang dari tadi menyerocos tak henti meskipun tidak ia tanggapi. Perempuan itu menyodorkan tangannya. Matanya yang tajam menyebabkan Tuan Merah Jambu ikut mengulurkan tangannya dan menyebutkan namanya: “Hai, aku Merah Jambu.”

Tuan Merah Jambu sudah bersiap menyediakan telinganya dan menelan tawa mengejek yang biasa ia dengar dari orang-orang setiap kali ia memperkenalkan diri. Namun tak disangka, perempuan itu malah tersenyum manis. Seolah-olah baru saja mendengar nama paling indah sedunia.

“Merah Jambu, menurutku kita lahir di negeri yang salah,” kata Nona Biru Laut.

Tuan Merah Jambu menutup bukunya, menyerahkan kesendiriannya diusik oleh perempuan yang baru dikenalnya. “Bagaimana bisa?”

Nona Biru Laut mendekatkan kursinya ke meja Tuan Merah Jambu. Bibirnya yang merah merona berucap, “Coba kau perhatikan, mengapa aksesoris bayi laki-laki kebanyakan biru dan bayi perempuan berwarna pink? Mengapa semua orang-orang negeri ini seperti sepakat bahwa biru adalah warna untuk laki-laki dan merah muda alias pink adalah warna milik perempuan? Mengapa?”

Tuan Merah Jambu mengeluh dalam hati. Tak satu pun dari segala pertanyaan absurd yang keluar dari bibir indah perempuan muda ini bisa ia jawab. “Mengapa kau selalu mengajukan pertanyaan yang sulit?” keluhnya akhirnya pada Nona Biru Laut.

Nona Biru Laut menghempaskan tubuhnya, menyeruput kembali espressonya dan memandang gerimis yang mulai turun di balik jendela. “Aku pikir….”

“Cobalah sesekali kau merasa, bukan berpikir,” potong Tuan Merah Jambu. 

“Mengapa?” tanya Nona Biru Laut memandang Tuan Merah Jambu kembali dengan tatapannya yang tajam. “Mengapa aku harus merasa kalau aku bisa berpikir? Kau pikir karena aku perempuan maka tugasku hanya merasa? Tidak boleh berpikir?”

Tuan Merah Jambu gelagapan. Ia tidak pernah suka bertengkar dengan orang lain. Ia juga selalu menghindari konflik. Karena itu ia candu akan kesendirian. Kesendirian bikin ia tenang. Hari itu nasib sial melemparkannya ke pangkuan perempuan ini, yang selalu bertanya dan berpikir.

“Karena merasa bikin kau seperti manusia!” jawab Tuan Merah Jambu cepat, sebelum didului rentetan pertanyaan dan pikiran perempuan itu lagi. “Ini bukan persoalan milik perempuan atau laki-laki. Ini hanya soal rasa. Semua manusia, mau laki-laki, perempuan, bencong, setengah bencong, bisa merasa. Dan menurutku, rasa adalah komponen paling indah yang ada dalam tubuh manusia. Bisa merasakan itu suatu anugerah. Bayangkan kalau kau kebanyakan berpikir, kau bakal bikin hidupmu sendiri susah! Bukan aku berpikir maka aku ada, tapi aku merasa maka aku ada!”

“Tapi manusia juga perlu berpikir, Tuan!” kilah Nona Biru Laut lagi. “Dengan berpikir, ia tak hanya bertahan hidup, tapi juga menciptakan sesuatu yang baru. Yang orisinil!”

Tuan Merah Jambu mendecak. “Tidak ada yang baru di atas bumi ini, Nona.  Orang selalu merasa mereka yang paling orisinil dan berbeda di muka bumi ini. Iming-iming menjadi yang paling orisinil dan berbeda itu hanya permainan kata-katanya motivator-motivator narsis itu. Supaya mereka diundang kembali  dengan biaya yang lebih mahal untuk menghibur mereka-mereka yang putus asa!”

Senyum Nona Biru Laut mengembang kembali. Lebih lebar dari yang tadi. Menyebabkan jantung Tuan Merah Jambu seperti kebat-kebit kesambit langit. “Aku suka laki-laki yang tidak memperlakukan orang lain berdasarkan jenis kelamin mereka. Laki-laki seperti itu selalu membuatku… terangsang.” Matanya kembali tajam menatap laki-laki dihadapannya lalu turun ke bawah.

Keringat dingin mulai muncul di dahi Tuan Merah Jambu, membuatnya tak sengaja menutupi selangkangannya dengan kakinya.

“Bagaimana kalau kita ke toilet dan bercinta disana?” tanya Nona Biru Laut lagi. Kakinya yang jenjang semakin dekat dengan kaki  Tuan Merah Jambu.  Jantung Tuan Merah Jambu makin berdegup-degup, bikin ia meneguk habis latte-nya. Sesuatu yang kurang biasa ia lakukan saat sedang menikmati candu kesendiriannya. 

Tolong, siapapun, tolong selamatkan saya dari sesuatu yang jelas tidak bisa saya tolak

“Kenapa? Kau pasti berasumsi perempuan tidak bisa terangsang begitu saja terhadap laki-laki. Seperti yang ditulis oleh psikolog-psikolog kampret itu. Dan yang digembar-gemborkan tokoh-tokoh agama itu. Mereka sibuk merancang peraturan tentang apa yang harus kami pakai dengan dalih melindungi kami. Kenapa tidak sekalian mereka rancang peraturan tentang apa yang harus laki-laki pakai? Memangnya kami para perempuan tidak bisa birahi melihat laki-laki?” Nona Biru Laut mulai menyerocos lagi. 

Tuan Merah Jambu terdiam.  Tubuhnya berhenti gemetar dan ia membalas tatapan Nona Biru Laut dengan dingin. Lantas ia menyahut: “Asumsi.”

“Maksudmu?”

“Kau mulai berasumsi tentang aku. Asumsi adalah racun dari sebuah relasi. Kau bisa saja tertarik berelasi denganku, dan aku juga. Tapi kalau kita memulainya dengan asumsi, kita selesai sampai disini.”

Nona Biru Laut melipat tangannya. Kali ini ia mengatupkan mulutnya, menunggu laki-laki yang duduk di sampingnya itu meneruskan curahan hatinya tentang asumsi.

“Aku benci dengan asumsi. Asumsi bikin aku ditertawakan saat kuucapkan namaku. Persis seperti yang kau katakan.  Seolah-olah warna merah jambu hanya untuk mereka yang memiliki vagina. Dan namamu, Biru Laut….”

“… bikin mereka mengernyitkan dahi untuk kemudian bertanya mengapa perempuan cantik sepertiku diberi nama Biru Laut. Bukankah biru hanya milik makhluk yang memproduksi sperma?”

“Ternyata selain absurd, kau juga narsis.”

“Aku tidak narsis, aku hanya percaya diri. Aku percaya aku cantik. Apakah dengan begitu kau akan bilang aku arogan? Sombong? Tak tahu diri?”

“Kau berasumsi lagi.”

Nona Biru Laut menggeleng. “Kali ini tidak. Sebab aku bertanya, agar aku tak berasumsi salah tentangmu. Aku sepakat denganmu bahwa asumsi hanya membawa kita pada kepuasan diri sendiri saja. Tidak peduli apakah asumsi itu benar atau salah. Apalagi jika kau bertemu dengan orang-orang yang kebetulan punya asumsi yang sama tentang sesuatu. Kau akan mulai berpikir bahwa asumsimu adalah sebuah kebenaran yang kau pegang erat-erat supaya tak bisa meletus seperti balon hijau pada lagu Balonku Ada Lima yang legendaris itu.”

“'When you’re surrounded by people who share the same set of assumptions as you, you start to think that’s reality. Emily Levine, penulis, komedian, dan kata mereka, juga filsuf.”

“Ah, aku makin menyukaimu, Tuan Merah Jambu. Tapi mulai berpikir bahwa sebuah sesuatu adalah kebenaran tidak sama dengan kebenaran itu sendiri.”

“Tidak usah khawatir, Nona Biru Laut. Aku hanya mengutip, tanpa menyetujui. Asumsi hanyalah makanan orang yang sepertinya peduli padahal tidak. Orang yang sok tahu,” sahut Tuan Merah Jambu. Diambilnya kembali buku Little Women yang tadi ia letakkan di atas meja. 

“Kau tahu profesi apa yang bikin orang jadi sok tahu sedunia?” tanya Nona Biru Laut.

“Apa?”

“Pendeta. Tokoh agama. Dan sejenisnya.”

Tuan Merah Jambu tidak menyahut. Tidak jelas ia setuju atau tidak. Ia buka kembali buku yang ia bawa, sebab ia menganggap percakapannya dengan perempuan absurd tadi telah selesai. 

“Juga psikolog.”

Tuan Merah Jambu kembali mengeluh dalam hatinya. “Ya, kau sudah mengatakannya tadi. Dan aku belum terlalu pikun untuk melupakannya dalam beberapa menit saja.”

“Politikus.”

Tuan Merah Jambu menatap Nona Biru Laut dengan putus asa. “Ada lagi?”

“Netizen.”

Nona Biru Laut mengedikkan bahunya sambil tersenyum menatap Tuan Merah Jambu. Kemudian tangannya meraih cangkir espresso-nya, menyesapnya dalam-dalam dan tiba-tiba menganggap laki-laki yang diajaknya bicara tadi tidak ada.  

Tuan Merah Jambu termangu-mangu sejenak, sebelum lantas tenggelam kembali dalam kisah putri-putri keluarga March. Di sebelahnya, duduk Nona Biru Laut. Menatap kembali gerimis yang masih turun di balik jendela. Menegak habis  espressonya yang sudah mendingin. Hening menyeruak. 

Di salah satu sudut di negeri yang membosankan, café itu mulai ramai. Nona Biru Laut dan Tuan Merah Jambu membaur bersama Pak Kuning Neon, Ibu Hitam Pekat, Opa Merah Darah, Oma Hijau Daun dan lain-lainnya. Dari kejauhan café itu tak lagi suram. 

Dan Tuan Merah Jambu tidak tertarik untuk bercerita pada gadis absurd di sebelahnya kalau ia seorang pendeta yang tadinya lulusan Psikologi yang punya beberapa akun aktif di media sosial dan sedang ditawari masuk dalam sebuah partai politik. Saat ini, yang ia inginkan cuma menjadi dirinya sendiri. Kesoktahuan hanya pekerjaan.


Written on 3 March 2015
4:12 pm
rewritten on 29 July 2015
9:18 pm

PS : Gambar diambil dari sini