Tuesday, May 24, 2016

tanah

Jika kau ingin belajar tentang penerimaan, jangan belajar dari aku. Belajarlah dari tanah.

Sebab tanah menerima siapapun dalam diam. Tanah tak hanya menerima orang-orang baik seperti Suster Teresa, tapi juga orang jahat seperti Hitler. Tanah tak pernah memandang latar belakang keluargamu, status sosialmu, dan profesimu. Tanah tidak menghujat. Tidak juga menghakimi. Ia berdenyut hidup, namun senyap.

Tanah menerimamu dalam diam. Dengan keanggunannya.
                Menerima pelajar.
                Menerima pelacur.
                Menerima doktor.
                Menerima koruptor.
                Menerima seniman.
                Menerima ilmuwan.
                Menerima pendeta.
                Menerima politikus.
                Menerima tuan tanah.
                Menerima buruh.
                Menerima ateis.
                Menerima teroris.
                Menerima feminis.
                Menerima komunis.
                Menerima protagonis.

Kelak tanah menerimamu, tanah menerimaku. Tanpa banyak tanya. Meski syarat dan birokrasi diberikan oleh negara.

Jika kau ingin belajar tentang penerimaan, jangan belajar dari aku. Belajarlah dari tanah.


Surabaya, 24 Mei 2016

Terinspirasi dari puisi Sapardi Djoko Damono
“Tentang Seorang Penjaga Kubur yang Mati”

Gambar diambil dari sini
 

Sunday, May 22, 2016

apa kabar?


"Halo." Kamu menyapaku di tengah keramaian.

"Halo juga." Dan kusebut namamu. Kita pernah satu kelas selama empat tahun. Karena itu aku masih ingat wajah dan namamu. Ini istimewa, karena sebenarnya aku kurang baik mengingat nama. Jadi, kalau aku masih mengingat namamu, maka itu pertanda baik. 

“Kamu apa kabar?” tanyaku.

Seketika itu wajahmu lesu. Dan aku jadi merasa bersalah karena bertanya. Lalu kamu mengajakku minum teh di sebuah kedai di mall tempat kita bertemu. Aku mengiyakan. Kapan lagi bisa mengobrol dengan kawan lama? Aku toh memang sungguh-sungguh ingin tahu kabarmu.

Lantas kamu bercerita. Cerita yang serupa dengan keluhan. Tentang anak pertamamu yang bikin susah. Bikin kamu sering dipanggil guru. Anak pertamamu yang malas. Yang sulit diatur. Yang tak pernah menurut. Tak punya ambisi. Padahal sebagai anak laki-laki harusnya ia lebih bisa diandalkan. Tapi apa daya, disuruh ini tak mau. Disuruh itu tak mau. Sampai kamu menyerah. Kamu biarkan anak sulungmu melakukan apa yang ia mau.

Kabar anak sulungmu: checked. Aku mengangguk-angguk. Sabar.

“Kalau anak keduaku beda,” lanjutmu lagi.

Oh, ceritamu belum selesai rupanya.

Menurutmu, anak keduamu yang perempuan itu pintar. Ia juara di kelasnya. Dan meskipun perempuan, ia selalu berambisi jadi yang terbaik. Membuatku mengerutkan kening, seolah-olah aneh adanya jika perempuan punya ambisi untuk jadi yang terbaik. Masih menurutmu, anak perempuanmu tak perlu kamu suruh akan belajar sampai ia bisa mendapatkan nilai yang terbaik.

“Mirip papanya,” katamu sambil terkekeh. Aku tak paham mengapa kamu terkekeh.

Kabar anak keduamu: checked.

Dan kamu masih menyerocos. Rupanya masih harus kupertahankan persediaan kesabaranku.

“Papanya anak-anak,” katamu, “suamiku itu, sering pergi.” Kali ini nadamu kembali seperti saat kamu bercerita tentang anak pertamamu. Kamu bilang suamimu sering harus ke luar kota. Menemui klien-kliennya yang kaya. Mungkin karena ia pintar dan punya ambisi, klien-klien jadi percaya padanya. Makanya perusahaannya bisa berkembang pesat.

Ah, ternyata kamu hanya ingin memamerkan suamimu dalam bentuk keluhan.

Kabar suamimu: checked.

Namun demikian, masih belum kudapatkan jawaban dari pertanyaanku padamu. Pertanyaanku yang hanya terdiri dari tiga kata tadi.

“Lalu, kamu apa kabar?” tanyaku sekali lagi. Kutambahkan satu kata di depannya. Biar terdengar lebih jelas di kupingmu.

Mendengar pertanyaanku lagi, entah bagaimana kamu lebih ceria. Kamu bilang kamu sedang mulai bisnis kecil-kecilan. Sebuah online shop yang menjual busana-busana kekinian untuk wanita modern. Selain itu, kamu juga berjualan produk kesehatan. Baru kamu mulai juga karena diajak teman. Bisnis ini menjanjikan, katamu dengan lebih semangat. Sebab gara-gara bisnis ini temanmu bisa sering berlibur ke luar negeri. Hitung-hitung membantu menambah penghasilan suami sambil jaga anak-anak di rumah.

Aku manggut-manggut, sementara persediaan kesabaranku mulai menipis. Dan kutanya padamu sekali lagi: “Kalau kamu sendiri, apa kabar?” Itu terjadi tepat sebelum anak-anakku datang memanggilku dari kejauhan. 

“Baik,” jawabmu akhirnya. Dan matamu melihat kedua anak perempuanku. 

“Ini anak-anakmu?” tanyamu. Akhirnya. Sebuah pertanyaan keluar dari mulutmu untukku.

Aku mengangguk dan kusuruh anak-anakku bersalaman denganmu.

“Anak-anakmu cewek semua ya?” Pertanyaan keduamu muncul. Retorik. “Kurang satu lagi.” Kamu menambahkan. Sebab menurutmu, kurang lengkap kebahagiaan kami tanpa kehadiran anak cowok. 

Kali ini aku yang mengeluh. Dalam hati. Persediaan kesabaran itu langsung habis. Butuh kopi bercangkir-cangkir, Haruki Murakami yang berduet dengan Banda Neira atau Payung Teduh dan gerimis semalaman untuk mengisinya kembali penuh dengan cepat. 

Aku berdiri dan tersenyum padamu. Senyum yang palsu, aku tahu. Berusaha pamit sesopan mungkin. Kamu terkejut karena aku tiba-tiba pamit. 

Aku pun tak tahan untuk tak bertanya padamu mengapa aku tak bisa tahu kabarmu. Kita sudah lama tak bertemu dan aku hanya ingin tahu kabarmu. Bukan kabar anak-anakmu, bisnismu, apalagi suamimu yang tak kukenal sama sekali. Aku hanya ingin tahu kabarmu. Itu saja. Apakah itu sulit?

Kamu tergagap dan kemudian menjawab: “Baik. Kabarku baik.”

Kutunggu beberapa detik setelah jawabanmu itu. Berpikir bahwa ada kelanjutan setelah jawaban singkat itu. Nihil. 

Aku pun melangkah meninggalkanmu. Barangkali kabar hidupmu sebelum pertemuan tak sengaja kita ini memang sudah terangkum sempurna dalam kata ‘baik’. Atau mungkin buatmu sendiri, kabarmu tak penting, sehingga kamu tak perlu berpanjang-panjang mengisahkan kabarmu padaku. 

Tak lama kamu ikut menyusul langkahku dan menanyakan nomor teleponku. Kamu bilang kamu ingin menghubungiku lagi kapan-kapan. Siapa tahu aku bisa join bisnismu yang menjanjikan itu.

Aku hanya tersenyum. Yang lagi-lagi palsu. Sepalsu nomor telepon yang kusebut untukmu. 

Dan seandainya kamu menanyakan kabarku hari ini, aku akan menjawab kalau kabarku jadi jauh dari baik. Terima kasih untukmu. 

Tak pernah kukira, perkawanan tak lagi dapat sesederhana “apa kabar?”


Surabaya, 22 Mei 2016

Terinspirasi dari diskusi sore dengan seorang kawan di pinggiran lapangan hijau.

Gambar diambil dari sini.

Thursday, May 19, 2016

gambar di dinding toilet


Kampus itu menjulang gagah dihadapanku. Bagaimana tidak gagah jika predikat terbaik sering nempel pada status universitas ini? Di mana-mana pula beritanya. Universitas terbaik. Kampus bergengsi. Mahasiswa terpandai. Fasilitas terlengkap. Citra yang selalu berhasil bikin orang berdecak kagum apabila mendengar berita apapun tentang universitas itu. Semuanya yang excellent ada di situ. Semuanya.

Kecuali hatiku.

Di depan kampus itu aku gentar sekaligus geram. Hari ini hari pertamaku sebagai mahasiswa baru setelah satu minggu orientasi. Iya, baru. Kelas baru. Guru baru yang sekarang dipanggil dosen. Tas (kebetulan) baru. Sepatu (juga kebetulan) baru. Mau tahu apa lagi yang paling baru? Topengku.

Topeng? Mengapa harus memakai topeng? Bukankah aku seharusnya gembira? Bukan gentar, apalagi geram? Sebab di luar sana banyak anak muda yang tidak seberuntung diriku.  Sehingga aku tidak perlu bekerja keras membanting tulang dan menabung untuk sekolah. Seperti anak-anak muda kurang beruntung itu. Ya kan? Ya kan? Selalu begitu nasehat yang kudapat jika aku mulai mencoba mengungkapkan isi hatiku tentang kuliah yang kuambil.

Mbok ya sudah. Turuti saja ayah ibumu biar mereka senang. Kamu kan belum tentu bisa nyenengin mereka seumur hidupmu.” Ini kata nenek.

“Kamu itu mustinya bersyukur masih bisa kuliah. Di universitas yang bergengsi lagi. Berapa banyak sih yang bisa dapat kesempatan kayak kamu? Aku pengen kuliah di situ saja nggak bisa.” Kalau yang ini kata salah seorang kawan.

Pendetaku lain lagi reaksinya saat aku mencoba menyampaikan uneg-uneg. Si pendeta malah mengajakku ke kolong jembatan. Mengajakku ke daerah pinggiran kota dimana rumah-rumah kardus dan rumah-rumah yang bahkan tidak sampai seluas ruang tamu rumahku berjajar asimetris tak keruan. Ibarat slilit di gigi yang mengganggu namun sulit untuk dicungkil. Diperlihatkannya padaku anak-anak yang dekil, kotor dan berwajah memelas. Juga ibu-ibu yang rambutnya seperti tidak keramas berbulan-bulan. Kemudian baru dimulailah khotbah pendek itu. Tentang anak-anak yang tak seberuntung aku. Tentang hidupku yang nyaman. Tentang betapa bajingannya aku kalau masih menggerutu dan mengeluh hanya karena harus mengikuti apa kata orang tua dalam memilih kuliahnya. Apa salahnya sih menuruti apa kata orang tua?

Bukannya jadi lebih baik, aku justru makin sering merenung. Apalagi waktu orientasi berlangsung. Aku merasa seperti robot. Disuruh apapun aku menurut. Dari yang aneh banget sampai yang aneh saja. Karena itu aku malah tidak banyak diincar oleh kakak-kakak senior. Sebab sangat tidak menarik menghadapi robot pasif sepertiku. Sudah robot, pasif pula. Invisible. Ya. Mungkin itu kata yang paling tepat. Aku ada namun tak ada. Aku tak ada namun ada. Ya kalau merenung ini bikin jadi optimis. Yang ada aku makin pesimis. Dan jika sudah begini, jari-jariku gatal. Ingin menggambar di mana-mana. Di kertas. Di meja. Di papan. Di tanah. Di tembok.   

Kakiku mulai melangkah masuk. Melalui gerbang megah dengan tulisan nama universitas yang dipasang dengan anggun. Ragu, namun maju. Persis di hadapan kantor Tata Usaha Fakultas Ekonomi langkah kakiku berhenti. Petugas TU menyapa ramah.

“Mahasiswa baru? Kelas perkenalan dimulai lima belas menit lagi ya. Lantai 2 di ruangan 220.”

Dalam hatiku: “Terima kasih, tapi informasi itu sudah melekat di otakku. Diingat-ingatkan berkali-kali oleh ibuku yang selalu khawatir.”

“Toilet dimana ya?” tanyaku menyahut pengumuman ramah dari petugas TU tersebut.

“Oh, kamu terus saja nanti ada belokan ke kanan. Nah, di situ toiletnya.”

Aku mengangguk dan mengikuti arahan petugas TU.

Lima belas menit. Cukup waktu untuk jari-jariku yang gatal ini.

Iya, aku ke toilet bukan untuk memenuhi panggilan alam. Jari-jariku memanggil. Dan aku tak tahan. Gatal. Sangat gatal.

Toilet sepi.

Kumasuki salah satu cubicle. Kututup pintunya rapat-rapat. Kubongkar tasku. Kuambil barang-barang yang sengaja kubawa dari rumah tanpa ayah dan ibuku tahu. 

Temboknya kuning pucat. Tidak ada apa-apa disana. Bersih. Dan baru kusadar, toilet ini wangi bukan main.

Mari, jari-jariku. Menarilah di atas tembok itu. Yang belum ada apa-apa disana. Lima belas menit waktumu.

Lima belas menit kemudian, jari-jariku tak lagi gatal. Ujung-ujungnya yang kotor kubersihkan sebisa mungkin. Dan aku melangkah keluar toilet menuju ruang 220 di lantai 2 dengan lebih ringan.

Siangnya petugas kebersihan toilet yang tadi pagi kumasuki dan menjadi tempat bermain jari-jariku heboh. Ia menjerit keras-keras saat berlari keluar toilet. Meraung-raung sambil memohon-mohon pada supervisornya untuk tidak memecatnya karena ada tembok yang tak lagi berwarna kuning pucat dan bersih. Si supervisor langsung menuju TKP dan memeriksa cubicle toilet yang sudah dikerumuni banyak orang.

Di situ, di tembok salah satu toilet, terpampang gagah gambar pria dan wanita berdiri berjajar seperti layaknya hendak diambil gambar di studio untuk keperluan foto keluarga. Hanya kepala pria dan wanita itu berupa kepala anjing yang menetes-neteskan air liur dengan matanya yang nyalang. Dibawah gambar itu ada tulisan besar-besar seperti ini:

#AYAHIBUKUASU

Keesokan harinya, fakultas psikologi mengadakan seminar dengan topik “Menghadapi Generasi Muda yang Makin Kurang Ajar”. Laku keras. Para orang tua di kota itu berbondong-bondong datang dan mendengarkan dengan seksama nasihat dan petuah para psikolog itu. Mengangguk-angguk. Seperti cecunguk. Setuju bahwa ada yang salah dengan generasi muda zaman sekarang. Yang tidak peduli. Yang semaunya sendiri. Yang tidak punya mimpi.

Keesokan harinya lagi, surat kabar kota memuji-muji universitas bergengsi itu. Yang dengan cepat bertindak positif terhadap masalah yang mereka hadapi. Citra mereka makin naik. Statusnya makin bergengsi. Yay. Tepuk tangan, Saudara-saudara.

Dan aku? Salah satu generasi muda itu? Aku tidak peduli. Semauku sendiri. Dan aku tidak punya mimpi.

Meski jari-jariku yang selalu gatal tidak setuju aku menyandang ketiga predikat itu.

Tapi, siapa sih yang mau mendengarkan jari-jariku? Ayah ibuku saja tidak mau.


Bandung – Surabaya
 4 -19 Mei 2016

Gambar diambil dari sini.