Monday, June 20, 2016

dunia lebih memihak sang rama

Aku membenci Rama sepenuh hatiku. Iya. Rama yang itu. Yang kabarnya tampan dan bijaksana. Ramayana. Candi Prambanan saksinya beserta ratusan orang tak kukenal lainnya. Kalau dulu waktu aku kecil, saat kutonton film serinya di televisi, aku sudah tidak suka. Sekarang kunyatakan kebencianku pada laki-laki itu di bawah langit malam, tujuh belas kilometer jauhnya dari pusat kota Jogja.

Kau tentu tahu kisah Ramayana bukan? Singkatnya begini. Ramayana beristrikan Dewi Sinta yang cantik, anggun dan mempesona. Dan tak ada yang lebih sempurna di dunia ini selain daripada si tampan kawin dengan si cantik. Jangan diubah-ubah. Kalau tak percaya, boleh saja kau lihat betapa anak-anak muda itu memuja Glen Alinskie dan Chelsea Olivia. Mereka memuja sebab mereka melihat kesempurnaan. Kalau kau buruk rupa tapi ingin kawin dengan si tampan atau si cantik, niscaya dunia akan menggugat kau. Dan tak ada pepatah yang lebih tepat untukmu selain: bagai pungguk merindukan bulan. Sudahlah, jangan sekali-kali mencoba mendefinisikan ulang tentang kesempurnaan dunia!

Itu pula yang terjadi saat Rahwana, seorang raja buruk rupa yang jatuh cinta pada Dewi Sinta yang cantik itu. Tidak cocok. Penonton gemas karena Dewi Sinta begitu mudahnya masuk dalam perangkap Rahwana. Pembaca tak sabar menanti kisah heroik Hanoman yang dibantu oleh adik Rahwana sendiri saat menyelamatkan Dewi Sinta agar dapat kembali bersanding dengan suaminya yang tampan. Tapi barangkali hanya aku yang tersedu-sedu saat Rama mempertanyakan kesucian Dewi Sinta. Itu adalah saat aku membenci Rama. Aku benci ketika ia meminta bukti kesucian Dewi Sinta dengan membakarnya hidup-hidup. Sinta yang setia. Sinta yang suci. Meski ia berjuang untuk bertahan saat sedang ditawan oleh Rahwana, semua itu sia-sia. Tak cukup kepercayaan Rama, suaminya yang tampan itu untuknya. Aku makin tersedu sendu memendam kejengkelan ketika api itu tak membakar Sinta dan karenanya ia kembali ke pangkuan Rama sebagai permaisuri. Itu bukti yang dipertanyakan oleh Rama.

Akhir bahagia? Akhir bahagia tahi kucing. Kalau aku jadi Sinta, takkan sudi aku kembali pada laki-laki yang tak mempercayaiku. Aku lebih baik kembali pada Rahwana. Rahwana yang dengan sabar mencoba menaklukkan Dewi Sinta dengan cintanya, namun masih menghormati penolakannya. Rahwana tak beruntung, sebab ia buruk rupa. Dunia tak berpihak padanya. Dunia penonton dan dunia pembaca kisah itu.

Dunia yang sama, tempat kau dan aku hidup pun tak berbeda. Tak ada tempat bagi para buruk rupa. Mereka harus berjuang dengan keras agar dunia tempat kau dan aku hidup ini menerima mereka. Perjuangan yang bisa berhasil, bisa juga tidak.

Mari, para buruk rupa pejuang kehidupan. Mari berbaris denganku. Kita taklukkan dunia yang keras ini bersama-sama. Tak ada tempat untuk para buruk rupa, tapi selalu ada tempat untuk para pejuang.

Perkenalkan, aku yang tak pernah ingin menjadi perempuan cantik – aku, yang tak pernah ingin menjadi laki-laki tampan.

Aku, kami hanya ingin menjadi pejuang.

Seperti presiden kita itu. Yang hari ini berulang tahun.

Batu, 21 Juni 2016
1.14 pm

PS : Gambar diambil dari sini