Ini kisah sekumpulan orang-orang yang tinggal di sebuah kota di sebuah negeri yang
baru saja melek teknologi, dimana ponsel-ponsel pintar mulai banyak digunakan
mulai dari anak-anak sampai orang-orang tua.
Saking takjubnya akan betapa pintar ponsel-ponsel itu,
kepala mereka sering terlihat tertunduk dimana-mana. Di jalan, di kedai kopi,
di sekolah, di kantor, di rumah, bahkan di kamar tidur. Mereka takjub betapa
banyaknya informasi dan pengetahuan yang bisa diambil atau menggunakan istilah
baru ‘diunduh’ dari ponsel pintar itu. Beberapa dari mereka bahkan mulai
bersabda: “Suatu saat buku akan punah dan akan digantikan oleh benda pintar
ini! Kita semua akan pintar, sepintar ponsel yang kita miliki!”
Seiring dengan berjalannya waktu, mereka tidak hanya takjub
dengan berita atau informasi atau pengetahuan yang mereka dapat, mereka mulai
berani berbagi berita dan berbagi informasi. Mulai dari hal sepele macam
guyonan garing ala Cak Lontong sampai cara-cara pengobatan penyakit yang dalam
dunia kedokteran pun belum pernah terdengar obatnya.
Yang paling baru: penculikan anak.
Konon kata berita yang tersebar di ponsel-ponsel pintar
orang-orang ini, mereka semua harus waspada. Penculikan anak sedang marak dan
anak yang diculik akan diambil ginjal, hati, usus dan jantungnya untuk dijual. Ciri-ciri
penculik anak dikabarkan sebagai berikut: laki-laki setengah baya, kulit
gosong, suka memakai tas kain bermotif batik yang diselempangkan di bahu
kirinya, baju lusuh dan menggunakan sandal jepit. Tak cukup terungkap dalam
narasi, foto laki-laki dengan diskripsi yang disampaikan pun tersebar. Mulai
dari grup sebelah, ke grup sebelahnya lagi, ke grup sebelahnya lagi, ke grup
sebelahnya lagi dan seterusnya. Biasanya berita ini dimulai dengan: “Copas dari
grup sebelah” atau “Nggak tahu bener atau enggak, tapi nggak ada salahnya kita
waspada” dan diakhiri dengan “Sebar jika anda peduli!”.
Warga kota itu jadi was-was. Setiap kali melihat pria
setengah baya dengan kulit gosong meskipun tanpa tas kain yang diselempangkan,
para orang-orang tua menggenggam tangan anak-anak mereka erat-erat. Persis
seperti lagu balonku yang sisanya dipegang erat-erat setelah yang hijau
meletus. Mereka berjengit kaget jika kebetulan di dekat mereka ada laki-laki
mengenakan baju lusuh dan sandal jepit meskipun kulitnya tidak gosong dan
usianya jauh di atas setengah baya.
Di suatu hari yang panas, Birowo, dari kota seberang, datang
berkunjung ke kota berponsel pintar tersebut. Tujuannya cuma satu, dia ingin
menengok anaknya yang sudah ditinggal lama karena ia harus bekerja mencari
nafkah di luar kota meninggalkan istri dan anak-anaknya. Ia turun di stasiun terdekat
dengan rumahnya. Tidak membawa koper, tidak membawa kardus berisi oleh-oleh
seperti orang-orang lain pada umumnya jika berkunjung ke keluarganya. Uangnya habis untuk ongkos
pulang dan istrinya tidak keberatan ia pulang tanpa oleh-oleh untuknya dan
anak-anaknya. Yang penting mereka bisa berkumpul meski hanya sejenak.
Birowo, turun dari kereta api dengan pakaian lusuh karena
keringat. Sendal jepitnya membawanya ringan keluar dari stasiun. Di depan
stasiun, ia mengambil botol minum yang dibawanya dari tas kain yang
diselempangkan di bahu kirinya. Berjalanlah ia dengan senyum merekah karena
mengingat sebentar lagi ia akan bertemu dengan istri tercinta dan anak-anaknya.
Mendekati pasar yang terletak tak jauh dari rumahnya, ia mulai sadar
orang-orang di sekitarnya kasak-kusuk sambil menunjuk-nunjuk dirinya. Namun ia
tidak mau berburuk sangka, maka ia terus melangkah. Di depan warung mertuanya,
ia melihat anak bungsunya sedang bermain. Tanpa pikir panjang, ia segera
berlari memeluk anak tersebut dan menciuminya karena rindu bukan kepalang.
Digendongnya anak tersebut meskipun anak itu jadi menjerit-jerit karena lupa
akan wajah bapaknya yang lama tak pulang-pulang. Ia gendong sambil
memanggil-manggil nama istrinya: “Sri! Sri! Aku pulang!”
Sri belum keluar tapi orang-orang di pasar mulai mengerumuni
Birowo. Ada yang merebut anak bungsunya dari gendongannya, lalu yang lain mulai
memukulinya bertubi-tubi. Tak hanya dipukul, beberapa malah melemparinya dengan
batu sambil berteriak-teriak: “Penculik bangsat! Kalau cari rejeki yang halal!
Bangsat!”
Birowo mencoba terus memanggil-manggil istrinya, tapi
lama-lama suaranya hanya sayup-sayup terdengar dan hilang ditelan orang-orang
di pasar yang mengeroyoknya habis-habisan. Anak sulung Birowo yang kebetulan
lewat, melihat adiknya menangis meraung-raung digendong tukang parkir pasar.
“Adikmu hampir diculik, Le. Itu penculiknya sedang dikeroyok.
Untung ketahuan orang-orang,” katanya dengan nada sedikit bangga karena ia baru
saja menyelamatkan seorang anak dari penculik.
Si anak sulung yang penasaran dengan wajah orang yang gagal
menculik adiknya, menyeruak masuk ke kerumunan orang-orang yang sudah mulai
berhenti memukuli orang tersebut. Wajah penculik itu memar di sana sini dan
darah berceceran di sekitarnya. Si anak sulung terkesiap melihat wajah yang ia
kenal itu dan ia mulai berteriak-teriak histeris: “Bapak! Bapak! Ibu, Bapak
dikeroyok! Pak! Pak!”
Kerumunan orang-orang tadi mulai mundur melingkari laki-laki
yang baru saja mereka bunuh karena dikira penculik. Sri, ibu si anak sulung,
istri Birowo tergopoh-gopoh mendekat begitu mendengar suara histeris anaknya.
Begitu dilihatnya suaminya bersimbah darah, ia pun tak kalah histeris dengan
anak sulungnya. Kedua ibu dan anak itu meraung-raung meratapi laki-laki yang
sudah terbaring tak bernyawa di atas jalanan berdebu di bawah terik matahari
yang mulai naik.
Birowo, laki-laki berkulit gosong yang mengenakan pakaian
lusuh dan sendal jepit cuma bermaksud pulang untuk menemui istri dan anak-anaknya.
Dari kerumunan orang-orang yang tadi memukulinya mulai
terdengar bisik-bisik: “Salah sendiri rupanya seperti penculik anak.”
Sementara itu di televisi, kepolisian pusat baru saja
melakukan konferensi pers bahwa isu penculikan anak itu hanya isapan jempol
belaka.
Surabaya, 6 Juni 2017
Foto ilustrasi diambil dari sini.