Teman saya yang baru saja tiba di Melbourne berkata pada saya di area messenger. “Dingin banget ya, disini.” Begitu katanya. Padahal, ketika pertama kalinya ia injakkan kaki di kota empat musim itu, penduduk disana sedang menikmati musim semi. Tapi musim semi di Melbourne yang terkenal dengan cuacanya yang nasty (panas, hujan, berangin dan kering bisa terjadi dalam satu hari), memang cukup dingin bagi orang yang terbiasa hidup di negeri tropis macam Indonesia. Apalagi yang terbiasa dengan udara panas Surabaya. Saya jadi teringat ketika untuk pertama kalinya saya merasakan musim gugur/autumn. Kalau lihat di gambar-gambar di internet, musim gugur itu kelihatannya romantis, banyak daun berguguran (iya lah, namanya juga musim gugur!), suasananya jadi cokelat keemasan, tapi kenyataannya saya tidak begitu menikmati musim gugur. Karena pada musim itulah transisi dari cuaca panas ke cuaca dingin.
BERGEGAS DI MUSIM DINGIN
Di Melbourne pada waktu saya tinggal disana, musim gugur sudah berhasil bikin saya menggigil di pagi hari. Tapi di musim dingin, saya tidak berani nekad keluar dengan busana selapis. Karena saya bekerja, saya tetap harus bangun pagi-pagi, dan keluar rumah juga pagi-pagi, dimana udara segar bercampur dingin dapat menusuk tulang. Yang paling saya perhatikan di kala musim dingin adalah, orang-orang yang berjalan dengan bergegas-gegas sambil memasukkan tangan dalam kantong jaket. Berbeda dengan musim panas, dimana orang-orang lebih santai ketika berjalan bahkan terkadang berhenti sejenak untuk menontoni etalase toko. Jadi pada waktu musim dingin, orang-orang memang kelihatan lebih tidak peduli, padahal mereka hanya berusaha cepat-cepat sampai ke tempat tujuan atau ke tempat yang lebih hangat.
BERGEGAS DIBALIK MEJA KASIR SUPERMARKET
BERGEGAS MENCEGAH GLOBAL WARMING
Indonesia sebagai Negara kepulauan, seharusnya lebih serius menghadapi isu Global Warming ini. Karena jika ramalan para ahli itu terjadi beberapa tahun mendatang, Indonesia termasuk salah satu dari beratus-ratus ribu pulau lainnya yang akan tenggelam. Tapi dari apa yang saya lihat di keseharian saya, saya tidak melihat keseriusan itu dalam gaya hidup masyarakat Indonesia. Orang-orang yang buang sampah ke sungai, ke sembarang tempat yang kebetulan dilalui, dari jendela mobil, masih banyak. Puntung rokok juga banyak berserakan di jalan. Ternyata, manusia-manusia yang tinggal di Indonesia bukan termasuk mereka yang bergegas melakukan tindakan pencegahan Global Warming. Ironis.
BERGEGAS?
Sayangnya, instead of menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya untuk menangani banyak masalah yang sebenarnya sudah terjadi di Indonesia, ada orang-orang yang lebih ribut dan bergegas-gegas mengurusi moral orang lain ketimbang ribut dan bergegas-gegas mencari cara bagaimana perekonomian di Indonesia semakin membaik, tingkat kriminalitas di Indonesia menurun, pendidikan yang layak di Indonesia bisa diberikan pada seluruh lapisan masyarakat, dan pembangunan lebih merata ke seluruh tempat di Indonesia, bukan hanya di pulau Jawa saja. Orang-orang dibalik pembuatan RUU Anti Pornografi yang bergegas-gegas memaksa bapak presiden untuk mensahkannya jadi UU. Seriously, saya nggak tahu musti ngomong apa. Membaca draft-nya yang sudah diperbarui itu pun bikin saya mual. Mereka memberi arti sendiri tentang pornografi. Padahal menurut Wikipedia (yang memberikan arti global), pornography or porn is the explicit depiction of sexual subject matter with the sole intention of sexually exciting the viewer (pornografi adalah penggambaran eksplisit menurut subyek secara seksual dengan tujuan yang murni untuk menyenangkan pelihat secara seksual).Which means, yang menjadi masalah adalah bukan gambar atau obyek-nya, tapi subyek yang terangsang. Ibaratnya, pisau yang diciptakan untuk memotong sayur-sayuran dan daging di atas meja dapur, tapi digunakan untuk membunuh manusia. Apa yang salah pisaunya? Pencipta pisaunya? Tentu penggunanya kan? Dan seriously, apa dengan dilarang semuanya tiba-tiba akan baik-baik saja? Sekarang saja, angka pemerkosaan di Indonesia masih lebih tinggi daripada Negara-negara lain yang barangkali norma agamanya tidak sekeras yang digembar-gemborkan di Indonesia. Tapi tak banyak yang peduli dengan masalah ini, lebih banyak yang peduli dengan artis-artis yang kawin cerai.
Saya sendiri merasa bahwa memang ada kalanya perlu sekali untuk bergegas. Tapi bergegas dalam hal yang positif. Yang tidak mengutak-utik moral orang lain dan hak asasi masing-masing individual, karena moral adalah hal yang sangat pribadi dan tidak ada yang dapat mengubah moral seseorang selain orang itu sendiri. Bergegas menentukan prioritas, yang mana yang harus diperbaiki lebih dahulu. Tapi jangan sampai bergegas sehingga lupa menikmati hidup. Itu saja.
Friday, 17 Oktober 2008