Monday, April 27, 2009

keputusan


Ada kalanya, kau menghindari memutuskan sesuatu. Bukan karena kau tidak mau atau tidak bisa, tetapi lebih karena kau takut memikirkan akibat dari keputusan tersebut. Atau barangkali lebih karena kau takut keputusan itu datangnya bukan dari dirimu sendiri tapi dari orang lain yang berhasil mempengaruhimu.

Seperti saat ini.

Anakku sudah dua tahun. Sudah waktunya masuk playgroup. Heran juga, kemana waktu-waktu berlari? Dulu, umur dua tahun, aku masih bermain-main dengan pembantu di rumah saja. Belum waktunya pergi sekolah. Tapi sekarang? Umur dua tahun belum masuk sekolah/playgroup pasti dipertanyakan, apa nggak takut ketinggalan, yang lain semua sudah sekolah. Bagiku, bahkan keputusan masuk playgroup pun, aku menghindarinya.

Ingin kudaftarkan ia di tempat daycare-nya, tetapi ingin juga aku melihat dia belajar di sekolah nasional plus plus dimana bahasa inggris adalah bahasa kesehariannya. Jika kudaftarkan ia di playgroup tempat daycare-nya, kemudian taman kanak-kanak diteruskan di sekolah nasional itu, maka ia akan ketinggalan. Bahkan playgroup di sekolah plus plus itu sudah diajari bahasa inggris dan mandarin. Tapi, jika kusekolahkan ia sejak playgroup di sekolah plus plus itu, maka kami tak akan mengirimkannya lagi ke DayCare. Kenapa? Karena kelas level playgroup di sekolah plus plus itu hanya tiga hari dalam seminggu. Itu pun setiap kali pertemuan hanya dua jam. Kalau memaksakan diri untuk tetap dititipkan di DayCare-nya itu, siapa yang akan menjemput? Siapa pula yang akan mengantarkan ke DayCare-nya? Sekolah plus-plus itu di daerah tengah kota, sedangkan DayCare lebih dekat dengan rumah kami.

Sekolah plus plus akan mengubah banyak hal. Yang pertama, kami harus menggunakan jasa pembantu lagi. Hilang privacy lagi. Aku menikmati rumah tanpa pembantu. Lebih hangat, lebih personal. Tidak perlu pula ngurusin makannya pembantu. Kalau dapatnya pembantu muda, barangkali ada saatnya dia berponsel ria, centil sana-sini. Repot. Tanpa pembantu, biarpun lebih capek, karena semua harus dibersihkan sendiri. Belum lagi ada anak kecil yang tidak pernah tenang jika ruang belum berantakan. Biar saja orang bilang aku tolol karena merepotkan diri sendiri daripada mengeluarkan uang sedikit untuk pembantu. Yang kedua, pembantu saja tidak cukup. Harus sewa antar jemput juga, yang tentu harus bisa dipercaya.

Ribet kan?

Tapi jika tetap di DayCare, memang kehidupan yang sekarang aku jalani *ceilah* nggak akan berubah. Semuanya tetap seperti biasa. Tapi barangkali anakku tidak akan masuk sekolah plus plus itu. Yang sebetulnya jauh di hati kami yang paling dalam, kami ingin melihat ia mengenakan seragam dan belajar di sekolah itu.

Monday, 27 April 2009
3:48 pm

Tuesday, April 07, 2009

saya dan mode


Suatu hari sepupu saya mampir ke kantor. Sepupu saya ini very stylish. Apa yang dia pakai, apa yang dia dandanin, mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki, semuanya berbau mode. Pokoknya keren deh. Kemudian teman kantor saya yang usil bilang sama saya begini: "Jes, sepupumu stylish gitu, kamu kok kumuh?" Kurang ajar betul kan dia? Padahal saya mandi dua kali sehari lho, pake sabunnya sabun Biore yang yoghurt itu, shampoo-nya Pantene.. lah kok jadi iklan yah??

Tapi serius. Dari dulu saya selalu terengah-engah mengikuti mode. Dan jujur saja, saya enggak terlalu peduli dengan mode. Selain menghabiskan duit, saya juga nggak pengen gaya saya sama dengan gaya orang lain yang mengikuti mode juga *alasan aja sih, yang sebenarnya sih emang enggak doyan hehehe*. Jadi terkadang saya suka kagum sama cewek-cewek yang bisa memadu-padankan kaos ketat, celana pensil sama syal terus ditambah gelang segede gajah, juga kalung etnik. Lah enggak kepikiran sama sekali di kepala saya itu untuk memadu padankan busana jadi seperti itu.

Dulu waktu celana legging sedang berjaya, dimana-mana mata saya melihat cewek-cewek bercelana legging. Celana legging waktu itu dikaitkan dengan baju kedodoran *maap ini hanya istilah saya*. Saya enggak suka pakai baju kedodoran. Kenapa? Karena saya ini kurus bukan main, kalau pake baju kedodoran alias baju kebesaran saya bisa jadi orang-orangan sawah lagi nyasar ke Surabaya. Biarpun mbak-mbaknya FO atau pegawai toko baju-nya bilang itu mode, setengah mati saya tolak, karena saya nggak mau kayak orang-orangan sawah hanya karena ingin mengikuti mode. Celana legging juga begitu. Saya nggak pernah nyaman dengan celana legging. Celana kok nempel erat di paha? Bikin gerah. Untuk info saja, buat yang belum pernah tinggal di Surabaya, kota ini kota dengan cuaca yang panas coy, jadi sori saja, saya nggak mau menyiksa diri bergerah-gerah ria. Celana legging ini berjaya pararel dengan celana pensil. Apakah celana pensil berbentuk pensil? Tentu! Tentu tidak maksudnya! Kalau berbentuk pensil, bagaimana kaki bisa masuk? Saya tahu tentang celana pensil juga dari bekas pembantu saya dulu *aduh betul-betul bikin malu dah*. Dan hasilnya, saya sempat beli karena penasaran. Begitu celana itu ada di tangan saya, dan saya pakai di malam Natal, saya sadar betapa bodohnya saya. Malam itu adalah malam Natal paling tidak nyaman yang pernah saya lewati. Bukan karena kebaktiannya tentu saja, tapi karena celana pensil itu! Celana pensil itu enggak beda jauh dengan celana legging, karena celana pensil juga melekat erat di kakimu. Karena itu sampai sekarang, jeans-jeans saya yang longgar semi cutbray masih saya pakai. Saya taruh paling atas, sedangkan celana pensil itu terselip tersembunyi di bawah. Biarlah orang melihat saya makhluk aneh ketika memakai jeans jadul itu, tapi yang penting saya bisa asoy geboy jalan-jalan kesana kemari, diiringi sandal jepit kesayangan saya.

Tapi tentu tidak semua yang bermode saya hindari. Sekali lagi saya bukan anti mode, saya hanya terkadang nggak bisa mengikuti mode. Waktu celana pendek lagi berjaya, saya bersorak-sorai bergembira karena bisa kasi alasan ke suami untuk pakai celana pendek ke mal. Alasannya tentu saja tak lain tak bukan: lagi mode.

Dan saya selalu berterima kasih untuk cicik-cicik saya, mertua saya, tante saya, sepupu saya, teman saya, yang tak pernah jera bersusah payah memberikan busana dengan mode terkini sebagai kado saya. Semoga kado-kado itu diberikan pada saya bukan karena putus asa melihat gaya pakaian saya yang seenak pusar. Saya betul-betul salut untuk mereka dan kalian yang bisa memadupadankan rupa-rupa busana dan asesorisnya sehingga jadi bisa enak dipandang.

Ajarin saya dong... Tapi kalau bisa, busananya yang mengandung celana pendek atau celana longgar semi cutbray, terus bajunya ehm.. yang kecil aja dah, saya kan kecil. Terus jangan lupa sandal jepitnya yah!! Saya nggak bisa hidup tanpa sandal jepit. *minta diajarin tapi maksa hehehe*

Tuesday, 7 April 2009
12:39 am

Monday, April 06, 2009

perubahan


Tanggal empat april yang allu teman-teman SMP-ku Pekalongan mengadakan reuni. Tentu saja aku diundang, hanya saja reuni itu dilangsungkan *macam akad nikah saja* di Jakarta - ratusan kilometer dari tempat aku tinggal sekarang. Yang menyebabkan aku tak bisa hadir memenuhi undangan. Facebook jadi saran untuk saling mengundang dan voila! Terkumpullah empat puluh manusia beramai-ramai menyerbu The Buffet, Citraland, Jakarta Barat.

Sedangkan aku? Selang beberapa hari aku hanya bisa menikmati foto-foto mereka di facebook - gigit jari karena sesungguhnya aku ingin berada disana bersama dengan mereka. Bertemu dengan mereka. Menyaksikan perubahan apa saja yang terjadi selama kami semua tak bersua. Dan pada saat itulah, ketika aku mengamati foto-foto mereka satu persatu, ada banyak yang tak kukenali lagi. Ada pula yang samar-samar kuingat. Kemudian aku tertegun dan menyadari sesuatu. Dari sekian banyak perubahan yang terjadi di dunia ini, ada satu yang tidak pernah mengalami perubahan yaitu: perubahan.


Kalau melihat anak saya, anak-anak sepupu saya, saya seperti melihat diri saya dan sepupu-sepupu saya waktu masih kecil. Kami yang tidak berpikir negatif. Kami yang jujura dan apa adanya. Kami yang isi kepalanya hanya bermain, bermain dan bermain. Kami yang tidak pernah merasa punya masalah. Menginjak dewasa, semuanya itu seperti hilang. Yang tersisa kebanyakan adalah prasangka dan pikiran negatif, biarpun setengah mati sering kucoba untuk menghilangkan itu. Prasangka dan pikiran negatif tidak cukup. Tiba-tiba masalah datang bertubi-tubi. Membuat kami tak lagi tampil apa adanya dan memaksa untuk mengenakan topeng hingga berlapis-lapis. Betul-betul membuatku merindukan masa kecil. Tapi waktu terus berjalan dan aku nggak akan pernah bisa kembali ke masa kecil. Mau tidak mau, siap tidak siap, aku sendiri harus menghadapi tuan perubahan yang terus berdiri mengkangkangi jalanan di hadapanku.

Somehow
, aku nggak pengen berubah. Masih pengen jadi anak-anak. Masih pengen jadi anak sekolah. Masih pengen jadi mahasiswa *kalo yang ini masih suka dikira mahasiswa sih hehehe*.

Tuesday, 7 April 2009
12:15 am
insomnia, pergi kau!

Thursday, April 02, 2009

rasa itu

Pagi itu masih seperti biasa. Saya datang agak telat *hehehe* juga masih rada biasa. Saya duduk juga di kursi biasa. Saya nyalain komputer dan ngecek email, juga hal biasa. Hati juga masih biasa-biasa saja. Tenang dan damai. Kemudian, mata ini tertumbuk pada satu email. Membaca subject-nya saja saya sudah bisa menduga. Dan hati yang tenang itu mulai sedikit beriak. Sedikit ada ombak. Koneksi internet yang selambat siput bahkan tidak membantu menenangkan. Voila! Akhirnya terbuka juga. Saya baca perlahan-lahan. Ombaknya semakin lama semakin besar. Semakin dahsyat, tapi tentu saja tak sedahsyat tanggul jebol di Situ Gintung. Karena apa? Karena saya mencoba menahannya. Sekuat mungkin. Perasaan apa ini? Ahh.. perasaan ini sering muncul, tapi tentu saja tidak sebesar saat ini. Perasaan ini bernama: IRI HATI.

Betul. Iri hati, itu yang saya rasakan. Pada email itu, si penulis mengatakan bahwa ia mendapatkan kesempatan lagi untuk studi lanjut *setelah post doctoral yang dia ambil..glek* di New Zealand - negeri dimana Lord of the Ring versi layar lebar lahir.

Jujur saja, siapa sih yang nggak pernah iri? Semua manusia pasti pernah. Yang sudah berkecukupan pun bisa iri juga kok. Barangkali memang sudah sifat dasar manusia sejak zaman Adam yang juga iri dengan kemahakuasa-an Tuhan, dan karena itu Adam menggigit buah yang diberikan istrinya. Itu pula yang menyebabkan Tuhan mencetak salah satu perintah di loh batu: JANGAN MENGINGINI MILIK ORANG LAIN. Karena pada kenyataannya sulit sekali untuk tidak mengingini milik orang lain.

Dari dulu saya kepengen studi lanjut. Dulu sekali, sebelum suami dapat beasiswa S2 di Melbourne, Australia, saya sudah bermimpi ingin sekolah lagi. Dulu saya pengen kuliah di USA. Mendengar banyak cerita oleh tante saya yang pernah bertahun-tahun tinggal di USA bikin saya ngiler. Saya pengen kuliah di San Francisco State University - just like my auntie. Meskipun barangkali otak saya enggak seencer beliau. Kemudian ketika saya sempat diberi kesempatan untuk menemani suami menyelesaikan S2-nya dan tinggal di Melbourne selama setahun, saya pindah haluan. Saya pengen kuliah di University of Melbourne - just like my husband. Tapi ketika untuk ketiga kalinya application letter saya untuk mendapatkan beasiswa di kampus itu ditolak, saya mulai berpikir untuk pindah haluan lagi. Apalagi mendengar cerita sepupu suami yang ambil S2 di Belanda dan melanjutkan hidup disitu dengan bekerja. Saya juga jadi kepengen kuliah di Belanda. Kenapa? Karena kalau bisa tinggal di Belanda, dekat kemana-mana. Ke Prancis bisa - buat ketemu Nyonya Besar Eiffel *pinjam istilahnya Andrea Hirata*, ke Jerman bisa. Eh, bisa nggak sih? Teman-teman saya bilang bisa soalnya, hehehe. Jadi kesimpulannya, saya memang suka iri dan it's not something to be proud of. Dan yang kali ini, keirian saya cukup besar. Cukup besar sehingga April Mop kemarin, saya ngerjain teman-teman kantor dengan bilang bahwa saya dapat beasiswa sekolah di London jurusan Creative Writing. Yang mana tentu saja saya harus berakting seolah-olah saya dapat beneran supaya looked convincing. Sungguh seperti orang bodoh, meskipun untuk sesaat seolah-olah saya memang hendak terbang ke negeri itu. Sama artinya dengan menipu diri sendiri. Beginilah orang bodoh yang sedang menipu diri sendiri.

Dari itu semua, saya mengambil kesimpulan bahwa saya ini PLIN-PLAN. Saya kepengen apa aja nggak jelas, bagaimana Tuhan mau mengabulkan permintaan saya! Saya kepingin disini, disitu, itu semua karena orang lain, bukan karena saya sendiri kepingin kesitu! Jauh di ruang hati saya yang terdalam, saya menjerit. Saya memohon. Saya menuntut. Ironisnya, saya tidak pernah mendoakan jeritan saya, permohonan saya, tuntutan saya.

Saya masih kepengen studi lanjut. Tapi bukan karena iri. Karena saya masih ingin melihat dunia. Saya masih ingin banyak belajar. Saya merasa belum cukup dengan apa yang sudah diserap oleh otak saya. Saya masih kepingin bertemu dengan banyak orang dari banyak negara dengan banyak latar belakang. Saya kepingin melihat langit biru di sisi lain bumi ini.

Dan rasa iri itu sudah tergantikan saat ini. Semangat. Never give up. Pray.

Thursday, 2 April 2009
8:50 pm


PS: Thanks to Jusak, who has reminded me to never stop trying...