Friday, October 29, 2010

hitam dan putih

Kata seseorang, dunia ini terdiri dari dua kotak. Kotak warna hitam dan kotak warna putih. Semua orang yang jahat dimasukkan ke dalam kotak warna hitam. Sedangkan semua orang yang baik dimasukkan ke dalam kotak warna putih. Semua tukang tipu dimasukkan ke dalam kotak warna hitam. Dan yang berkata-kata jujur dimasukkan ke dalam kotak warna putih.

Tapi sebuah simbol yin dan yang mengubah pemikiran tersebut. Lantas dipercaya bahwa tiap manusia - sejahat apapun - selalu punya sisi baik. Karenanya, itu menghasilkan ide lain juga bahwa sebaik apapun manusia, ia juga punya sifat jahat.

Saya sendiri berpikir manusia tidak terdiri dari sifat jahat dan sifat baik saja. Sifat manusia jauh lebih kompleks dari itu semua. Sesuatu yang dilakukan atau diucapkan bisa saja jahat menurut yang satu tapi biasa saja menurut yang lain. Satu hal dianggap benar oleh seseorang, bisa dianggap salah oleh yang lain. Buat umat nasrani, kebenaran tentu saja enggak jauh-jauh dari Seseorang bernama Yesus. Tapi barangkali buat umat muslim lain lagi. Dari sini saja saya beranggapan bahwa jika ada seratus satu manusia di dunia ini, maka akan ada seratus satu kebenaran di duni ini. Dan kenyataannya, tidak mudah bagi manusia yang berpegang teguh pada kebenaran masing-masing untuk berteman.

Saya sedang tergila-gila dengan tokoh Jack Bauer. Siapa itu Jack Bauer? Pada sebuah kisah fiksi, Jack Bauer adalah seorang patriotik Amerika yang sering menghabiskan waktu selama dua puluh empat jam tanpa makan dan tidur untuk menumpas teroris. Kenyataannya, dalam kisah fiksi tersebut menumpas teroris tidak sesederhana Goggle V atau Ksatria Baja hitam atau Sailor Moon menumpas kejahatan - yang ketika 'BERUBAH!' maka sudah dapat ditebak musuh akan kalah walaupun bakal kembali di episode berikutnya dengan rencana baru. Kisah Jack Bauer dalam menumpas teroris ini barangkali bisa menimbulkan kontroversi karena kisahnya sering menyebut negara-negara tertentu sebagai musuh atau teroris. Selain itu, kisah ini terasa sekali nuansa show-off akan kehebatan Amerika dalam menangani teroris yang ingin ditunjukkan. Tetapi terlepas dari itu semua, ada hal-hal yang dapat saya pelajari disini. Jadi ini pelajarannya: sehebat-hebatnya Jack Bauer, ia tidak bisa melakukan apa-apa tanpa sebuah tim yang tangguh. Ia butuh orang-orang yang hebat sekaligus dapat dipercaya untuk dapat menyelesaikan misi yang diberikan padanya. Ini juga berlaku di kehidupan sesungguhnya. Sehebat-hebatnya orang, jika ia sendirian maka ia tidak ada apa-apanya. Dan meskipun kisah ini tidak banyak mengumbar adegan seks, kosakata yang sering digunakan para pemerannya barangkali ada beberapa yang tak patut untuk ditiru.

Tapi begitulah. Segala sesuatu selalu memiliki dua reaksi yang berlawanan: pro dan kontra, setuju dan tidak setuju, suka dan tidak suka. Reaksi ini sepenuhnya ada di area yang bernama hak asasi manusia. Karena itu, jika mengingat bahwa pernah ada sekumpulan manusia yang mengancam sebuah institut karena dianggap menayangkan film-film yang bisa memberikan pengaruh buruk hanya karena film-film tersebut mengangkat kaum minoritas macam homoseksual dan AIDS, saya suka gemas. Pernahkah berpikir, bahwa film-film tersebut itu, jika dilihat dari sisi lain maka dapat pula menunjukkan sebuah sisi kemanusiaan yang sedianya perlu dimiliki untuk menerima keperbedaan jalan hidup? Tapi tidak. Institut itu diancam sedemikian rupa dan ancaman ini seperti ada di luar kuasa hukum, dimana penegak-penegaknya mengkerut karena yang mengancam mengatasnamakan agama.

Saya percaya, nama agama yang mereka bawa tidak sedangkal itu. Saya percaya agama itu baik adanya. Saya percaya agama itu mengajarkan tentang kedamaian dan rasa hormat atas perbedaan yang akan selalu ada. Saya percaya. Dan saya sangat menyayangkan jika ada beberapa hal hanya dilihat dari satu sisi saja. Ini sama dengan sebuah pernyataan: "Gara-gara facebook, seorang murid dikeluarkan dari sekolah." Menurut saya, pernyataan ini aneh. Bukankah facebook itu benda mati yang merupakan alat saja? Bagaimana facebook dimanfaatkan oleh pengguna itu kuasanya betul-betul ada di tangan pengguna. Jadi, "murid itu dikeluarkan dari sekolah, karena ia ceroboh menggunakan facebook" barangkali lebih tepat. Sama juga dengan pernyataan salah seorang menteri kita bahwasanya gempa dan bencana itu adalah murka Tuhan. Memang enak sekali menyalahkan sesuatu yang lain diluar kita. Barangkali sebabnya adalah dulu waktu kecil orang tua kita sering sekali menyalahkan si meja jika kita terantuk ujungnya. Padahal meja itu hanya berdiri diam disitu tidak ngapa-ngapain.

Salahkan saja pornografi kalau ada yang namanya perkosaan. Salahkan saja perempuan kalau ada pria yang bernapsu. Salahkan Harry Potter kalau ada yang belajar sihir! Salahkan Dan Brown kalau ada orang Kristen yang jadi nggak percaya Yesus gara-gara baca bukunya! Salahkan yang lain, asal jangan saya! Saya yang paling benar! Kalau perlu, salahkan Tuhan atas semua yang terjadi! Kalau saya bercerai, maka itu kehendak Tuhan, salah Tuhan! Enak kan? Semuanya salah, kecuali saya!

Padahal segala pilihan atas apa yang disodorkan ke muka kita, sepenuhnya keputusan kita untuk bereaksi.

Nyonya John C. Maxwell berkata: "Suami saya tidak akan pernah bisa membahagiakan saya. Saya sendiri yang bisa membuat saya bahagia."

Friday, 29 October 2010
4:11 pm

PS: Apapun reaksi pembaca bukan tanggung jawab pemilik blog ;p
PPS: Gambar diambil dari sini

Friday, October 08, 2010

love being me?

Blog saya penuh d engan sarang laba-laba, kata Alice dan adik saya. Kalau kata saya selain sarang laba-laba juga ada rumput il alang tinggi-tinggi terus ada bunyi jangkrik juga: krik krik krik, terus bunyi serigala dari kejauhan: hauuuuuu... Tapi plis, pocong, kuntilanak dan sundelbolong silahkan jauh-jauh dari blog saya.

Lagi-lagi alasan saya klasik n an membosankan banget kenapa kok tega membiarkan blog ini begitu saja. Ada apa? Ada apa? Biasa aja. Cuma pekerjaan yang rasanya kok nggak kasi kesempatan buat nge-blog sej enak gitu lho. Cari lagi deh kambing hitam. Paling asoy dah kalau udah ngomongin kambing hitam. Diri sendiri bisa diakali nggak kelihatan salah. Tapi ini beneran. Dan kalau sudah sampai di rumah, waktu saya dituntut anak saya yang sudah mulai pandai mencari cara untuk menarik perhatian

(Dan baru dua paragraf saya tulis, tiba-tiba ada deadline yang harus diselesaikan segera!)

Anyway, akhirnya saya bisa melanjutkan tulisan ini di rumah. Semoga tidak ada yang tiba-tiba telepon atau kirim email minta data atau sesuatu yang harus segera dikirimkan hari ini juga (plis plis plisss).

Saya mau ngomong apa yah? Beginilah kalau lagi enak-enaknya menulis terus tiba-tiba ada sesuatu yang menginterupsi. Ehh.. ehmm.. uhh.. okay, jadi begini. Ini sesuai judul ya.

Beberapa minggu terakhir ini saya dihantui perasaan bahwa saya bukan orang yang keren, tidak menarik dan biasa aja. Hobi saya standar: baca, tulis, ngopi dan maen wedding dash. Apa istimewanya? Saya pengen punya hobi travelling kayak Ria. Tapi kenyataannya bahkan membaca buku: Traveller's Tale: Belok Kanan, Barcelona! tidak menggugah keinginan saya untuk berjalan-jalan kemanapun yang saya pengen. Saya lebih senang menetap di suatu tempat yang eksotis, nyaman dan (kadang-kadang) dimana orang-orangnya tidak saya kenal. Bali dan Jogja adalah dua tempat yang saya pengen banget untuk tinggali. Dan for your information, di kedua kota itu enggak ada keluarga saya yang tinggal disana. Seandainya saya kepengen jalan-jalan or liburan or vacation, saya lebih senang pergi ke tempat-tempat seperti Disneyland, Movie World atau kalau di Melbourne, tempat kayak Royal Botanical Garden dan di luar kota itu: Sovereign Hill, dengan bau masa lalu yang kental. But that's it. Selebihnya saya lebih suka wisata kuliner dan tempat-tempat favorit wisata kuliner saya tentu di Indonesia. Lidah saya cinta mati sama makanan Indonesia. Waktu tinggal di Oz pun saya lebih sering masuk ke resto makanan Indo daripada model Subway atau McD atau Burger King. Apa boleh buat.

Selain itu, saya juga pengen punya hobi kayak Fanda, yang selalu bisa meluangkan waktu untuk fitness dan hunting buku-buku yang keren. Dari dulu saya kepengen ikutan fitness. Pernah saya bergabung dalam klub dan saya cuma bisa bertahan satu bulan, karena setiap kali fitness saya bawaannya mau makan lebih banyak dari porsi saya biasanya. Jadi untuk apa saya fitness? Plus, setelah punya anak, entah gimana sulit sekali squezze fitness time diantara waktu-waktu saya bekerja di kantor, urus anak di rumah dan pelayanan di gereja. Padahal, sumprit, nih perut sudah waktunya diurusin supaya nggak nampung makanan aja bisanya, tapi juga harus work out supaya burn fat (ceilah).

Hobi lain yang saya pengen adalah hobinya Aries, yang tiap minggunya hampir selalu ikutan hip hop dance dan pernah sekali saya tonton videonya saya mbathin: ih keren ya bisa ikutan begituan. Tapi lagi-lagi saya juga kesulitan bagi waktu untuk ikutan model beginian. Lha wong mau fitness aje susyeh minta ampun, apalagi ikutan hip hop dance?

Satu lagi hobi keren menurut saya: menikmati musik jazz. Ehh, saya nggak tahu kenapa kok penikmat musik jazz itu orang yang keren menurut saya. Saya sendiri jujur saja enggak terlalu bisa menikmati musik jazz. Jangankan musik jazz, musik klasik pun saya enggak terlalu doyan. Dulu waktu lagi hamil katanya kan baby-nya disuruh dengerin musik klasik, mommy-nya juga, biar rileks. Katanya lho. Tapi yang ada tiap kali saya dengerin musik klasik, hati saya bergetar-getar protes dan saya jadi gelisah. Karena saya gelisah, nyetrum juga tuh ke baby. Akhirnya saya jadi jarang banget dengerin musik klasik semasa hamil. Musik yang paling saya nikmati tentu saja musik-nya Project Pop, soundtrack-nya Disney (mulai dari film kartun yang jadul itu sampai High School Musical dan Up) dan lagu-lagunya Norah Jones.

Saya tahu setelah membaca semuanya ini pasti ada yang protes, mengapa kekerenan itu dinilai dari hobi? Lha terus dari apa? Hehehe. Sesungguhnya bener saya memang kepengen kelihatan keren karena punya hobi-hobi macam yang saya sebut diatas. Tapi apakah masih bisa disebut keren kalau kemudian tidak menjadi diri sendiri? Hobi saya baca, dan saya pernah berusaha untuk kelihatan keren dengan mencoba membaca biografi-biografi macam Bung Karno, Nelson Mandel, alhasil saya enggak menikmatinya tuh. Satu-satunya biografi yang berhasil saya lalap habis hanyalah biografinya The Fuhrer, si Hitler itu yang ditulis oleh William L. Shirer, seorang jurnalis Amerika yang berada di tengah-tengah perang yang dicetuskan Jerman berlangsung. Yang lain enggak pernah habis. Payah memang.

Semakin saya mencoba meniru orang lain yang saya nilai keren, makin jauhlah saya menjadi diri saya sendiri dan terasa enggak terasa, semakin tidak nyamanlah saya. Iya dong, apa ada yang merasa nyaman jika tidak menjadi diri sendiri? Karena itu berangsur-angsur saya mencoba kembali menikmati hobi-hobi saya yang membuat saya berpikir saya nggak keren. Dan hasilnya, hidup jadi lebih mudah. Ini bener. Dan hidup yang lebih mudah bikin saya nyaman. Ketika saya nyaman, saya bisa melihat positifnya hidup. Bahwa hidup masing-masing manusia sudah keren dengan cara yang berbeda-beda dari sononya tanpa perlu diubah-ubah sedemikian rupa.

Banyak yang iri dengan Agnes Monica. Dengan kecantikannya. Dengan suaranya yang bagus. Dengan popularitasnya. Tapi pernahkah ada yang iri dengan kerja kerasnya, latihan-latihan vokalnya? Bagaimana dia membangun karirnya sejak kecil? Bagaimana dengan popularitasnya, apapun yang ia lakukan selalu bisa memancing pro dan kontra? Ibaratnya, pandangan masyarakat akan berbeda jika saya yang nendang kucing di jalan dan Agnes Monica yang nendang kucing. Dan barangkali dengan kecantikan dan popularitasnya dia bisa dibuntuti dan digangguin orang-orang aneh? Ah.

Tapi begitulah. Semoga tidak ada orang yang kayak saya, atau lebih parah lagi jadi copycat orang yang terkenal. Menjadi diri sendiri jauh lebih keren daripada meniru.

Saturday, 9 October 2010
7:55 am

PS: gambar diambil dari sini, sini, sini, sini, sini, dan sini.