Thursday, January 08, 2015

maria magdalena


Namanya Maria Magdalena. Ia sedang merenung. Di tepi tempat tidur pada kamarnya yang sederhana ia duduk. Kemudian ia bangkit dan membuka lemari pakaiannya. Satu per satu ia perhatikan dengan seksama busana-busana yang ia miliki. Tidak ada yang istimewa. Sudah lama ia tak membeli busana baru. Untuk apa? Toh klien-klien yang ia layani dalam pekerjaannya selama ini lebih suka apabila ia tidak mengenakan busana. Dan uang hasil pekerjaannya jarang ia gunakan untuk kepentingannya sendiri. Sebagian besar ia kirimkan pada ibunya di kampung, untuk biaya pengobatan ayahnya dan konsumsi mereka sehari-harinya. Busana yang biasa ia pakai pada waktu bekerja juga biasanya dipinjami oleh “manajer”nya. 

Tapi hari ini, ia tidak mau berbusana biasa-biasa saja. Seharusnya hari ini hari yang istimewa. Hari di mana ia memutuskan untuk “pulang”. Bukan. Bukan pulang kampung bertemu dengan ayah dan ibunya. Pulang ke rumah tempat ia dicintai dengan amat sangat. Ke sebuah tempat di mana Seseorang sudah dianiaya dan dibunuh untuknya. Rumah tempat ia sudah dibeli lunas dengan darah. Ke sanalah ia ”pulang” setelah bertahun-tahun hidup dalam penolakan diri.

Beberapa ketukan cepat di pintu terdengar. Seorang perempuan lain masuk dengan wajah berbinar-binar. Kedua tangannya berada di belakang punggungnya.

“Aku punya kejutan untukmu!” kata perempuan. Lantas tangannya menyerahkan bungkusan yang ia sembunyikan di belakang punggungnya tadi padanya.

“Apa ini?” tanya Maria Magdalena pada sahabatnya, perempuan yang baru masuk itu.

“Untukmu, Maria,” jawab sahabatnya lagi. “Kau bilang padaku kemarin kalau hari ini terlalu istimewa untuk dilewatkan dengan pakaian yang biasa-biasa saja.”

Ragu-ragu Maria Magdalena membuka bungkusan yang baru diberikan oleh sahabatnya. Dan begitulah, sebuah gaun yang cantik meluncur halus dari pegangan tangannya.

“Gaun ini… untukku?” tanya Maria Magdalena lagi tak percaya.

Sahabatnya mengangguk dengan cepat. “Iya. Untukmu,” tegasnya.

Maria Magdalena baru membuka mulutnya untuk mengucapkan kata penolakan sebelum kemudian dipotong lagi oleh sahabatnya. “Ini tidak baru. Betul. Aku pernah pakai ini sekali di pesta perkawinan ibuku yang ketiga kalinya. Dan terus terang, aku tidak mau melihat gaun ini lagi. Sungguh.”

Ia tatap kembali gaun yang baru saja diberikan untuknya, sambil berpikir-pikir apakah kisah di balik gaun yang disampaikan sahabatnya itu benar adanya atau hanya supaya ia tidak menolak pemberiannya. Sebab sahabatnya sangat tahu ia tidak pernah mau diberi sesuatu dengan cuma-cuma.  

“Betul untukku?” tanya Maria Magdalena lagi untuk yang ketiga kalinya.

“Ya besar! Tolong jangan tanya lagi untuk yang ketiga kalinya, karena kau akan terlambat. Lebih baik kau bersiap-siap sekarang. Kau tahu, mereka sangat tepat waktu,” kata sahabatnya.

Tak lama kemudian, Maria Magdalena berada di depan gedung megah yang sederhana itu. Gedung yang oleh masyarakat pada umumnya disebut dengan gereja. Dandanannya baru. Gaunnya baru. Sepatunya juga masih bagus karena jarang ia pakai. Sahabatnya memaksa untuk memakai asesoris miliknya dan menyemprot sedikit minyak wangi di daerah ketiak Maria Magdalena. Ia masuk pelan-pelan dan duduk di bangku yang masih kosong. Ia pejamkan mata dan ia berikan hatinya sungguh-sungguh untuk mengikuti jalannya ibadah hari itu sambil mengucap syukur atas cinta tanpa syarat yang diberikan olehNya.

Usai ibadah, seorang ibu-ibu cantik menghampirinya. Ibu-ibu itu menyalaminya sambil mengucapkan selamat datang dan juga berkata: “ Anu, mohon maaf sebelumnya, tapi mungkin lain kali kalau datang beribadah di gereja kami ini, minta tolong busananya yang sederhana saja. Gereja kan bukan untuk fashion show ya. Apalagi gaun seperti yang kamu pakai ini kan kurang pas gitu untuk dipakai di gereja. Sebagai perempuan kita memang harus lebih berhati-hati dengan apa yang kita pakai. Betul kan ya? Jangan sampai jemaat lain memandang kita itu seperti perempuan murahan, gitu lho. Apa lagi pakai parfum-parfum mahal seperti punya kamu ini kan. Nggak perlu lah pamer apa yang kita punya di gereja. Ah, saya  nggak perlu panjang-panjang ngomongnya, kamu pasti tahu maksud saya. Memang belum ada peraturan resmi yang tertulis dan dipublikasikan sih, tapi sedang kami godok kok di ruang rapat. Eh, tapi maksud saya, maksud kami ini baik lho, supaya kita menjaga citra sebagai perempuan dengan cara berbusana kita. Betul kan ya? Ingat, gereja bukan untuk fashion show ya. Yuk ah, saya harus berdoa dulu sambil menghitung persembahan di belakang ya. Sampai ketemu minggu depan.”

Dan ibu-ibu cantik itu berlalu begitu saja meninggalkan Maria Magdalena yang tertegun-tegun.

Tak lama, ada yang menyentuh bahu Maria Magdalena. Seorang perempuan lain, lebih muda sedikit darinya, menghampirinya. Ia mengenakan pakaian ketat, rok mini dan sepatu boot keluaran terbaru. Bibirnya merah menyolok, matanya lelah dan rambutnya sedikit berantakan.

Tanya perempuan itu pada Maria Magdalena: “Aku baru lewat di depan gereja ini dan mendengarkan kalian menyanyi selama ibadah. Jam berapa kah ibadah berikutnya? Aku juga ingin merasakan apa yang kalian rasakan.”

Maria Magdalena menghembuskan nafasnya panjang. Ditatapnya kembali perempuan itu dari atas sampai bawah, kemudian tersenyum.

Ia tak bisa menjawab pertanyaan yang diajukan perempuan itu. Betapa pun mudah jawabnya.




Thursday, 8 January 2015
11:46 am

0 komentar ajah: