Friday, September 30, 2005

hadiah, pacar dan san

Adik angkatku pernah bertanya padaku apa arti pacar. Agaknya dia ingin punya pacar tapi saat ini belum diijinkan punya. Tepatnya ia bertanya pada orang-orang yang sudah punya pacar. Enakkah pacaran itu? Senangkah? Bahagiakah? Atau malah menderita? Waktu dan tenaga malah habis untuk pacar? Semua orang berpikir jauh lebih enak punya kekasih daripada menyandang status single. Dan inilah yang ingin kuutarakan. Aku yang sudah punya pacar selama tiga tahun empat bulan.

Kalau temanku menjawab pacar itu adalah pelengkap baginya, maka bagiku, pacar adalah hadiah. Dan hadiah akan menjadi lebih indah dan berguna jika diberikan pada saat yang tepat. Katakanlah, aku ingin memberimu hadiah mobil – sedan mahal nan mengkilap. Senangkah kau? Tentu kau senang. Tapi seandainya aku memberikan hadiah mobil itu ketika kau belum bisa mengendarai mobil dan belum memiliki ijin menyetir, apakah mobil itu jadi berguna? Paling-paling kau akan menjualnya, menukarkannya dengan uang dan membeli sesuatu yang lain yang lebih tepat untuk dirimu sendiri. Dan kemudian buat apa aku memberikan mobil itu untukmu? Hadiah akan jadi istimewa kalau isinya tidak hanya cantik tapi juga berguna buat yang diberi. Lebih istimewa lagi jika diberikan di saat yang tepat.

Teman-teman di sekitarku sering melontarkan canda tentang kejombloan mereka. Dan kadang-kadang dibalik canda mereka, tersirat harapan. Harapan untuk keluar dari status jomblo. Ada pula temanku yang terang-terangan memproklamasikan bahwa punya pacar dan akhirnya menikah itu suatu keharusan. Selama mereka sendiri belum siap untuk punya pacar, kupikir lebih tepat kubilang hadiah itulah yang sedang menanti mereka siap menerimanya. Ada kalanya, mulut ini maunya bilang siap, tapi pada kenyataannya tidak. Dan kalau kau memang sudah siap tapi masih saja berstatus jomblo, mungkin pasanganmu yang belum siap, sehingga kalian belum dipertemukan. Pertanyaannya sederhana, para high quality jomblos, sudah siapkah kau?

Buatku, San adalah hadiah. Yang dikirim dari Surga karena Tuhan ingin membuatku lebih sempurna lagi. Dan yakinlah, hadiah itu takkan kusia-siakan.


Thursday, 29 September 2005
10:24 pm


The following is specially pasted for San, the gift I have received… enjoy it… whoever you are.

I love you not only for what you are but for what I am when I am with you. I love you not only for what you have made yourself but for what you are making of me. I love you for the part of me that you will bring out. I love you for passing me over my foolish and weak traits that you can’t help but see. I love you for drawing out into the light my beauty that no one else had loved quite for enough to find.

menunggu

Selama perjalanan dari Semarang, kota tempat kereta apiku berhenti, aku melihat beberapa kali antrian. Dan kebanyakan di SPBU-SPBU yang ada. Aku jadi ingat cerita temanku. Dia bilang, dia jadi sering ketemu antrian sejak berita naiknya harga BBM diluncurkan. Tapi, berbeda dengannya, aku justru senang melihat antrian-antrian itu. Kadang-kadang, kalau aku memang sedang tak terburu-buru, aku menikmati mengantri. Hoho, jangan katakan aku sudah gila. Ketika aku mengantri itu, aku berpikir, seperti inilah kehidupan. Hidup ini sering membiarkan kita menunggu. Sadar atau tidak, kita selalu menunggu.

Tiap malam aku menanti pagi. Tiap pagi aku menanti matahari terbit. Kala musim kemarau aku menunggu hujan, dan saat air mengguyur kota tanpa henti aku menunggu matahari. Ketika aku ada dalam kandungan, aku menunggu mami mengeluarkan aku dari janin hangatnya. Ketika kecil, aku sering berangan-angan, seandainya besar nanti, akan jadi apa aku ini. Si kecil nakal papi mamiku. Aku menanti menjadi dewasa. Ketika aku remaja, aku menunggu kapan aku bisa keluar dari kota kecil tercintaku, Pekalongan, untuk kuliah dan belajar hidup mandiri. Ketika aku kuliah, dan aku masih saja belum mendapatkan pacar, sambil menatap teman-temanku yang sudah menggandeng pacar mereka masing-masing, aku bertanya pada diriku sendiri, kapan aku bisa seperti mereka. Ketika aku sudah mendapatkan pacar pun, aku menanti apa yang akan terjadi diantara kita berdua. Akan singkatkah hubungan kami berdua? Atau akan segera berakhir dan ini hanyalah kebahagiaan sesaat? Atau ia akan jadi pasangan hidupku seterusnya? Ketika kami berdua memutuskan untuk menikah, kami menanti saat-saat dimana kami hidup sebagai suami istri. Seperti apakah kita nantinya? Bagaimana dengan anak-anak? Cucu-cucu? Bagaimana kami kalau sudah tua? Bagaimana kalau sebelum sempat melihat cucu-cucu, kami sudah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa? Hidup selalu menanti. Menunggu.

Jadi mengerti kan, kenapa kali ini tatkala aku melihat antrian, aku justru senang? Karena aku melihat diriku sendiri disitu. Dan kalau aku memperhatikan raut wajah yang mengantri itu satu persatu, aku bisa tersenyum. Ada yang tak berekspresi. Mungkin ia berpikir nggerundel dan cemberut juga tidak akan mengubah apapun. Ada yang mengomel panjang pendek. Ada yang mencerucutkan mulutnya yang monyong. Ada yang mengerutkan kening. Ada yang menghapus peluh. Ada yang ngobrol. Mungkin sepasang kekasih. Bersyukur dengan antrian panjang itu seperti aku tapi dengan alasan yang berbeda. Buat mereka, waktu berdua bisa lebih panjang.

Aku sendiri setelah menyadari bahwa hidup ini selalu memerintahku untuk menunggu, tak pernah lagi sering menggerutu (yah, sesekali aku masih menggerutu, jessie juga manusia….). Karena menunggu sepasti udara disekitarku. Yang tidak bisa aku sangkal keberadaannya. Dan karena aku tak punya kuasa untuk menghindar dari menunggu, maka aku memutuskan tidak menyia-nyiakan waktu-waktu dimana aku harus menunggu. Bukannya aku mau sok sibuk. Aku hanya berpikir, tak banyak manusia-manusia yang diberi kesempatan meraih dan melakukan banyak hal seperti aku oleh Yang Di Atas.

Wahai para pengantri, baik pengantri BBM ataupun pengantri kedamaian di Indonesia, jangan pernah putus asa mengantri. Karena akan tiba waktu kalian mendapatkan apa yang kalian tunggu. Mari menunggu bersama denganku.


Thursday, 29 September 2005
10:02 pm

Life is waiting… for the final terminal

Thursday, September 29, 2005

tanah

Pekalongan. Empat setengah jam perjalanan dengan kereta api menuju kampung halamanku itu. Duduk disamping jendela, memandang keluar. Salah satu bagian yang paling kusukai pulang naik kereta api adalah aku bisa melihat sawah-sawah, hehijauan yang jarang bisa kulihat di kota besar macam Surabaya. Selama perjalanan itu pula aku berpikir dan menemukan sesuatu. Tanah itu luar biasa. Tanah mengandung banyak kehidupan, melahirkan banyak kehidupan dan memelihara banyak kehidupan. Di dalam tanah ada begitu banyak makhluk hidup tak bernama yang berkeriapan. Diatas tanah ada tetumbuhan, rimbunan semak, segala sesuatu yang berwarna hijau yang merupakan benih makanan untuk hewan dan manusia. Karena itulah kubilang, tanah juga memelihara banyak kehidupan. Dan, jangan pernah lupakan ini, manusia dibuat dari tanah dan akan kembali menjadi tanah.

Entah mengapa, hari ini hidup membiarkan aku memikirkan tentang tanah. Dan kalau aku berpikir tentang tanah, mau tak mau aku juga berpikir soal petani. Sosok yang sangat berjasa (menurutku), sosok yang mampu mengolah tanah sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang bernama padi, yang mana padi itu akan menjadi beras, kemudian dimasak oleh orang-orang kota seperti kita-kita ini menjadi nasi yang bisa dimakan. Ketika kita makan nasi, memprihatinkan sekali, kita jarang memikirkan darimana asal mula nasi yang kita makan itu. Kita melupakan sosok-sosok pejuang bernama petani itu, peluh mereka, kerja keras mereka, kelelahan mereka. Kita, yang sudah tersedot ke dalam mesin kapitalis, dengan tertegun harus mengakui berhektar-hektar tanah yang sekiranya menjadi tempat benih padi, sayur-sayuran dan buah-buahan yang kita makan sehari-hari itu dimakan rakus oleh mesin itu. Dibangunnya real estate, perumahan, mall, yang kadang-kadang membuat aku merasa bersalah kalau aku enak-enakan berjalan-jalan di mall yang tanahnya mungkin sekali dulunya dipakai untuk menumbuhkan padi.

Baru saja aku menonton televisi. Mata yang tidak bisa diajak merem untuk tidur, membuat otakku memerintahkan tanganku untuk meraih remote control dan menyalakan televisi. Disitulah aku, menonton sebuah realita yang membuatku giris. Sengketa tanah di Lombok. Tanah-tanah yang sekiranya diolah para petani di Lombok menjadi sawah, akan dibeli sebesar dua puluh juta rupiah per hektar untuk dijadikan bandara internasional. Kalau sudah begini, aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Nasi itu kebutuhan pokok masyarakat Iindonesia. Darimana kita akan dapatkan nasi kalau sisa-sisa tanah yang sudah segelintir itu masih juga diraup para pengusaha kapitalis?

Bertahun-tahun lagi, mungkin, kalau aku harus pulang ke Pekalongan lagi dengan kereta api, aku takkan lagi melihat sawah-sawah, ladang-ladang, pepohonan yang rimbun dengan beberapa rumah kecil milik penduduk di sekitarnya. Mungkin, sejauh mata memandang, kulihat bangunan-bangunan tinggi, lapangan-lapangan udara, dan para penduduk yang selalu kulihat tertawa ceria dari dalam kereta api hilang entah kemana. Hanya mungkin, tawa mereka saja yang tertinggal, menjadi tawa giris, memantul di tembok bangunan-bangunan itu.

Mungkin. Dan dari hatiku yang paling dalam, aku berharap itu hanya mungkin. Yang takkan terjadi. Aku sungguh berharap itu.


Wednesday, 28 September 2005
11.17 pm

Wednesday, September 28, 2005

perempuan dan sinetron

Satu jam membiarkan mata ini melotot pada layar televisi yang menayangkan (lagi-lagi!) sinetron yang kuanggap sampah itu, sehingga beberapa kali harus mengedip-ngedipkan mata karena panas. Alasan yang kumiliki untuk terus berada duduk manis di depan televisi itu ada dua. Dan dua-duanya tidak ada hubungannya dengan alur cerita sinetron tersebut. Menemani dan menanti. Menemani seseorang yang sudah cukup berumur tapi tinggal sendirian di rumahnya. Menanti koko yang berjanji akan memberi kabar kalau ia sudah sampai rumah supaya aku bisa segera meluncur ke rumahnya yang tidak terlalu jauh dengan rumah dimana aku memelototi layar televisi sekarang ini.

Dan lagi-lagi, lewat sinetron yang baru saja kutonton ini, aku jadi mengerti mengapa para perempuan di negara ini masih dianggap sebagai masyarakat nomor dua.

Ada tiga karakter perempuan yang sering dimunculkan di sinetron-sinetron Indonesia. Tiga karakter ini begitu kuatnya, sehingga rumah-rumah produksi seperti menjadikannya syarat yang harus ada pada tiap cerita yang tentu tak bisa dilawan para penulis naskah dan sutradara. Siapa yang menggaji kalian wahai para penulis naskah dan sutradara sinetron?

Tiga karakter. Hmm. Here they are:
Perempuan A : lemah, baik banget, suka mengalah, taat pada aturan yang berlaku, sering dituduh, biasanya pemeran utama, tapi yahh… karena lemah, baik banget dan suka mengalah itulah, dia akan terus menderita dan menangis sepanjang perjalanan sinetron (biasanya setelah tiga episode pertama sampai episode terakhir). Kesimpulan dari Perempuan A: berkarakter lemah tapi dibela dan dicintai oleh pemirsa di rumah.
Perempuan B : ambisius, kejam, judes, suka marah-marah (dengan atau tanpa alasan), bisa melakukan apa saja asal tujuannya tercapai, ingin menang sendiri, jahat banget, biasanya pemeran antagonis yang pada episode-episode terakhir kalau nggak mati ya masuk penjara. Kesimpulan dari Perempuan B: berkarakter kuat tapi dibenci setengah mati oleh pemirsa di rumah.
Perempuan C : netral, baik (tapi tidak terlalu diperlihatkan), bisa membalas si jahat, maksudnya kalau dia dimaki-maki kemungkinan besar dia akan membalas memaki-maki, biasanya di pihak perempuan A alias pemeran pembantu. Kesimpulan dari Perempuan C: berkarakter cukup kuat tapi tidak terlalu diperhatikan oleh pemirsa di rumah.

Kalau sudah begini, aku hanya bisa menggigit bibir. Aku ini perempuan. Dan aku tidak terima kalau media yang disebut televisi, yang jelas-jelas bisa menancapkan konsep-konsep tertentu yang mengubah masyarakat tidak menjadi lebih baik. Menonton tayangan sampah macam sinetron itu membuatku berpikir pantas saja tidak terlalu banyak perempuan-perempuan berkarakter kuat yang lahir di bangsa ini, karena perempuan-perempuan berkarakter kuat itu selalu digambarkan sebagai makhluk yang jahat, yang haus akan kekuasaan, yang selalu menyelewengkan aturan-aturan yang berlaku dan yang dibenci oleh semua orang. Seolah-olah, kita ditancapi konsep bahwa perempuan yang baik, perempuan yang dicintai oleh semua orang adalah ia yang membiarkan dirinya diinjak-injak, yang cuma bisa berharap dan berdoa semua kejahatan akan minggat daripadanya tanpa ia perlu melakukan sesuatu. Dan karena itulah Perempuan C lahir.

Oh, tidak, para kapitalis yang budiman. Perempuan lebih kompleks daripada itu. Ia bisa saja kuat sekaligus baik. Ia bisa saja ambisius tapi tahu aturan yang ada. Ia bisa saja suka marah-marah tetapi bisa sekaligus lembut hatinya. Bahwa yang kuat tak selalu berarti jahat. Bahwa ketika perempuan unjuk gigi dan mulai menunjukkan siapa diri mereka sebenarnya, mereka tidak selalu antagonis. Bahwa kadang-kadang perempuan tidak harus selalu nrimo, mengalah dan tidak berbuat apa-apa sampai ada orang lain yang membela dirinya.

Wahai, para perempuan, marilah berjuang bersama-sama denganku, bahwa kita bukan lagi makhluk lemah nan cengeng yang harus dielus-elus dan yang bahkan tidak bisa melakukan pembelaan atas dirinya sendiri.


Tuesday, 27 September 2005
10.19 pm

Monday, September 26, 2005

otoritas keilahian

Dahulu kita berkelahi melawan 'revolusi' dan kini melawan 'Tuhan'. Jauh lebih sulit yang sekarang dan hanya orang-orang yang berani sajalah yang dapat membuka kedok kaum munafik. Seolah-olah hanya mereka sajalah pemilik Tuhan, dan kita semua orang-orang yang tidak tahu apa-apa.
- Surat Soe Hok Gie kepada Herman Lantang, 18 Februari 1968 -

Membaca surat Soe Hok Gie itu membuatku berpikir bahwa negeri ini mungkin memang sedang dibungkus oleh kemunafikan. Yah... maksudku setelah penutupan beberapa tempat-tempat ibadah itu. Aku hanya tidak mengerti mengapa orang-orang yang sengaja melakukan itu bukannya melakukan sesuatu yang lebih berguna untuk membuat negeri ini jadi lebih baik tapi lebih sibuk dengan elemen spiritualisme yang sebenarnya bukan hak mereka atau kami sebagai manusia untuk menyentuh.

Kenapa aku bilang itu bukan hak mereka? Bolehlah kau protes, tapi tiap orang boleh mengemukakan pendapat masing-masing kan? Kemarin aku mendengar dari seseorang, bahwa peristiwa penutupan tempat-tempat ibadah itu terjadi karena manusia sudah menyentuh sesuatu yang bernama otoritas keilahian. Aku setuju. Absolutely. Maksudku, kalau sampai kau mendengar satu atau beberapa orang berpindah keyakinan, berpindah dari satu ekstrem ke ekstrem lainnya, biarkanlah ia. Bukan ia atau orang-orang yang membujuknya untuk berpindah itu yang punya kuasa penuh sehingga ia bisa melompat dari satu ekstrem ke ekstrem lainnya. Ada kuasa yang lebih besar dari itu. Otoritas Sang Pencipta yang mana terkadang tak pernah bisa kau pahami dan kau lawan.

Aku hanya ingin kita semua sama-sama belajar bahwa Tuhan tak perlu dibela. Bahwa manusia hanyalah makhluk-makhluk mungil yang karena kemurahan-Nya diberi sesuatu yang namanya otak dan hati untuk berpikir dan juga punya perasaan, tapi bukan untuk menyentuh otoritas-Nya. Bahwa manusia bukanlah robot yang tidak punya emosi dan hanya punya mesin penghancur untuk saling menghancurkan. Hidup tidak hanya sekedar itu.

Ijinkan aku bermimpi sejenak tentang kedamaian, tentang persatuan, tentang persahabatan, tentang cinta, tidak usah di negeri asing nun jauh disana, tapi di negeri ini.


Monday, 26 September 2005
10.44 am

... praying for Indonesia

Monday, September 19, 2005

pembantu oh pembantu

Pergi dengan seorang kenalan ternyata memberiku pemahaman baru. Kemarin ia bercerita kalau subuh-subuh ketika hendak mendudukkan pantatnya di lubang closet, ia melihat pemandangan yang memprihatinkan. Ia melihat seekor tikus kecemplung di dalamnya, mendecit-decit, menggapai-gapai ingin keluar dari situ. Tak jadilah ia meletakkan pantatnya diatas lubang itu. Sepanjang subuh itu, ia biarkan tikus itu terus menggapai-gapai, mendecit-decit, mengganggu kelanjutan tidurnya. Beberapa jam kemudian, saat matahari sudah muncul dan pembantunya sudah bangun, dimintanya pembantunya melakukan sesuatu terhadap tikus malang tersebut. Pembantunya itu perempuan. Kecil dan masih muda pula. Tapi, nyalinya tak sekecil badannya. Tanpa ragu ia mengulurkan tangannya dan merogoh tikus malang itu, mengeluarkannya, menyelamatkannya dari lubang closet tapi kemudian dibunuhnya pula tikus itu dan dilemparkan entah kemana.

Setelah mendengar cerita kenalanku itu, aku jadi berpikir, mungkin jika diadakan penelitian tentang pekerjaan terberat di seluruh dunia, jawaban yang paling masuk akal adalah pembantu. Catat! Bukan sekedar pembantu, tapi seorang pembantu yang berdedikasi. Rasanya, pembantu yang bekerja di kostku tidak termasuk di jajaran para pembantu yang berdedikasi. Tingkahnya tidak beda dengan majikannya. Malahan tante kost-ku itu yang diinjak-injak. Semua harus nurut dengannya. Belum lidahnya yang panjang itu, yang sudah pergi kemana-mana menjilat gosip manapun dan tak pernah menelan karena ia keburu memuntahkannya lagi di wajah siapapun yang berkenan menerima muntahan gosipnya. Pagi-pagi buta, ia sudah berbelanja gosip dan laki-laki yang kadang-kadang disumpal dengan sayuran di pasar. Pagi-pagi juga, saat kami anak-anak kost masih menyelesaikan jam istirahat kami setelah sibuk seharian di hari kemarin, ia sudah memuntahkan gosipnya ke wajah tante kost yang cuma manggut-manggut dan sesekali menjilat muntahan gosip di wajahnya, bersuara tak kalah lantangnya dengan pembantunya. Lukisan seorang majikan dan pembantu jaman sekarang. Kalau kau ingin melihatnya, datanglah ke kost-ku, sebelum jadi mahal harganya.

Dulu sekali, aku sering bertengkar dengan pembantu rumah. Tapi sejak aku tinggal di kost, aku bersyukur sekali pembantu rumahku masih jauh lebih manusiawi ketimbang pembantu di kost-ku yang satu ini. Kadang-kadang, untuk membunuh waktu, aku sempat membaca tabloid-tabloid ringan yang yah… isinya bikin keningku berkerut dan mengelus dada sambil berusaha menerima kenyataan bahwa ada bertriliun-triliun jenis manusia di muka bumi ini dan tiga perempatnya mungkin tak pernah kumengerti jalan pikirannya. Kadang-kadang aku membaca tentang pembantu yang diperlakukan tidak adil oleh majikannya. Punggung mereka diseterika. Tangan mereka sering dipukul. Kepala mereka sering ditempeleng atas kesalahan yang mungkin tidak mereka lakukan. Mereka tidak dibayar sesuai dengan pekerjaan mereka.

Pernah suatu kali, sebuah pertanyaan muncul dalam benakku, kenapa sih ada orang-orang yang mau saja jadi pembantu? Maksudku, jam kerja mereka jelas lebih panjang daripada orang-orang kantoran. Kalau orang-orang kantoran bekerja delapan jam per hari dikalikan lima per minggu, maka para pembantu itu harus siap dua puluh empat jam kalau-kalau majikannya tiba-tiba ada keperluan. Diluar itu, ia harus bangun pagi-pagi buta untuk membersihkan seluruh rumah tatkala seisi rumah majikannya sedang terlelap, berbelanja untuk keperluan makan, menyiapkan sarapan, membersihkan kamar kalau yang punya rumah sudah minggat bekerja keluar rumah, memasak untuk makan siang, dan oh… segudang pekerjaan lainnya. Belum lagi kalau ada kasus-kasus khusus macam tikus kecebur closet itu. Aku masih ingat waktu aku bertemu dengan makhluk menjijikkan bernama kecoak untuk pertama kalinya. Entah bagaimana, meskipun belum tahu kalau binatang itu bernama kecoak, dan yang namanya kecoak sudah terkenal dimana-mana sebagai salah satu binatang yang paling menjijikkan, aku sudah merasa jijik duluan. Dan orang pertama yang kuteriaki untuk membunuh kecoak itu karena binatang itu tiba-tiba mengibaskan sayapnya dan terbang ke arahku adalah pembantuku. Tiba-tiba ada kelabang di WC, dialah yang kupanggil. Bak mandi kotor dan ada uget-uget kecil (sampai sekarang aku tidak tahu nama sebenarnya binatang kecil-kecil yang suka ngendon di dalam bak mandi yang belum dikuras, apa sih itu?), kuteriaki dia. Mungkin pahlawan bumi yang sebenarnya bukanlah superman, tapi pembantu rumah tangga yang berdedikasi. Dan oh ya! Aku lupa menyebutkan satu hal, dari sekian banyak yang harus dikerjakannya, ia cuma mendapatkan bayaran yang mungkin tidak ada seperempatnya gaji orang kantoran. Padahal orang-orang kantoran yang berdasi dan berdandan cantik itu belum tentu bisa mengerjakan pekerjaan para pembantu itu. Jangan katakan padaku bahwa jadi pembantu hanya perlu tenaga dan tidak otak. Emakku tidak pernah mau menerima pembantu yang biasa-biasa saja, ia mau pembantu yang bisa memakai otaknya, biar bisa menawar harga di pasar, biar bisa membedakan yang mana sabun pencuci lantai dan sabun pembersih kaca, biar bisa cepat tanggap kapan ia diperlukan, biar ia bisa mengira-ira berapa banyak garam yang harus ia cemplungkan di dalam sup yang ia buat.

Wahai para pembantu yang berdedikasi, jangan berpikir kalian adalah orang terendah di seluruh muka bumi ini, karena tanpa kalian aku tidak pernah bisa membayangkan apa jadinya orang-orang yang disebut kaya itu.


Monday, 19 September 2005
07.58 pm

… dedicated to sijuk, mbak yani, mbok ni, anyes dan mbok yah, selamat bekerja!!

Sunday, September 11, 2005

20% of jessie

10 kekurangan jessie:
- emosionil, kurang sabar (kata adi, inge dan yosua)
- rebellious alias pemberontak (kata yosua)
- tukang kritik (kata inge)
- egosentris (kata adi, inge dan yosua)
- apatis alias cuek abissss (kata inge dan yosua)
- pelupa (kata jessie sendiri dunk...)
- ceplas-ceplos, kalo ngomong suka nggak dipikir dulu (kata yosua)
- sarkasm (kata inge)
- sukanya dadakan (kata adi)
- cerewet (kata adi, yanto, inge dan yosua)
10 kelebihan jessie:
- brainstormer, super kreatif (kata adi dan inge)
- bersemangat, dan bisa menularkannya (kata adi, yanto, inge dan yosua)
- cukup dewasa (kata yosua)
- kritis (kata adi dan yosua)
- kadang-kadang bisa melihat sisi baik seseorang yang nggak dilihat orang lain (kata yanto)
- bisa dipercaya dan diandalkan (kata adi, inge dan yosua)
- pinter ngomong (kata adi, inge, yanto dan yosua)
- bukan penganut prinsip mbuletisasi ala cewek biasanya (kata yosua)
- kepemimpinan yang oke (kata adi, inge dan yosua)
- bukan pendendam (kata inge)

Ahahahaha….! Kenapa sih musti kekuranganku dulu yang aku tulis? Haha! Setelah testimonial session di KTB hari kamis yang lalu, aku menyimpulkan bahwa inilah 20% dari seorang jessie. Sisanya? Well, mungkin kau mau tambahkan?


Sunday, 11 September 2005
07.35 pm

juz me!

dengungan berisik

Well… to be honest, aku agak malas menulis sesuatu tentang bagaimana keadaan kami berdua, pasca pertengkaran itu. Kami ini mungkin salah paham. Kami ini mungkin memang waktunya bertengkar (persahabatan tanpa pertengkaran terdengar kurang afdol, kan?). Atau mungkin juga kami sama-sama sedang diproses.

Hari itu, saat kami betul-betul hanya berbicara berdua, aku sadar kami sama-sama keras kepala. Aku dengan sikap apatisku dan ia dengan sikap ingin dimengerti. Well, wajar saja kalau tidak menemukan titik temu kan? Sungguh, aku hanya ingin kami berbincang-bincang santai karena ia akan pergi keesokan harinya. Bukankah kami ini bersaudara? Tapi, kurasa, hari itu pun, kami tidak menggunakan waktu kami sebaik-baiknya. Kalau waktu itu, aku mengulurkan tangan kepadanya, dan mengatakan damai padanya, sebenarnya aku sedang berdamai dengan diriku sendiri. Selesai. Dan ia sudah pergi.

Selama dua hari ini, semuanya itu terngiang-ngiang di telinga. Membentuk dengungan berisik yang terus berputar-putar di area kuping. Dan itu jadi semacam traumatik. Kemarin aku harus jadi MC persekutuan pemuda. Temanya tentang THE HEART OF WORSHIP. Bab 10 dari buku the Purpose of Driven Life. Kalau hari itu aku tidak harus jadi MC, sepanjang minggu lalu mungkin aku akan jadi makhluk yang apatis. Aku sendiri tak tahu mengapa aku tidak mengatakan tidak mau saja pada Elika sebagai koordinator persekutuan. Dan sore itu, sebelum persekutuan, sambil menunggu pengiring persekutuan, aku terduduk sendiri di depan gereja. Angin semilir mendorongku membuka alkitab dan renungan harian yang kubawa. Aku memang belum saat teduh. Ingin menangis rasanya, Tuhan betul-betul melegakan hatiku. Sungguh. Aku seperti mendengar suaraNya menghiburku. Disitu, di dalam renungan harian tertulis tentang menjadi teladan. Ada dua kalimat yang tertulis disitu: anda tak dapat mengajarkan apa yang tidak anda ketahui, anda pun tak dapat menuntun ke tempat yang tidak anda tuju. Bahwa sebuah kepemimpinan di dalam Tuhan yang dilakukan dengan memberi teladan akan bersifat menular. Jujur saja, berhari-hari aku merasa bersalah oleh sebab aku tidak merasa bersalah karena menggunakan kata-kata yang cukup keras pada temanku yang sentimentil itu. Temanku yang menurutku berbicara tentang keteladanan itu lebih penting daripada melakukannya (ampuni aku kalau aku harus mengatakan hal itu lagi!). Dan waktu itu Tuhan seperti berkata, lewat pertengkaran ini, aku dan ia sama-sama diproses. Prosesnya tidak sama, tapi namanya tetap proses. Ia memintaku untuk menyerahkan proses temanku itu kepadaNya, karena itu bukan tanggung jawabku. Itu urusan Tuhan. Aku lega bukan main. Seperti merasa tangan Tuhan mengelus rambutku sayang.

Kupikir, sekarang aku hanya perlu mengusir dengungan berisik itu di sekitar kupingku.


Sunday, 11 September 2005
07.22 pm

Thursday, September 08, 2005

muka penuh lumpur

Pengen tahu rasanya dipermalukan di depan umum? Ditolak terang-terangan bahkan sampai kau harus memohon? Rasanya seperti dilempar lumpur. Percayalah padaku, lebih baik kau masuk ke lumpur itu atas kemauanmu sendiri daripada orang lain yang melakukannya untukmu.

Kenapa sih jessie selalu dikelilingi masalah? Supaya kehidupannya tidak monoton. Dan dalam minggu ini, hidup sudah menjungkirbalikannya berkali-kali. Membuatnya menangis dan marah berkali-kali. Aku jadi bertanya-tanya dan menyesali diri. Seumur-umur, jessie jarang menyesal, tapi untuk kejadian macam ini, aku harus akui kalau aku menyesal. Mengapa jumlah orang yang mendengar suara hati, lebih sedikit lagi yang mengikutinya? Yeah, that's me! Tadi sore, aku mendengar suara hati yang mana menyuruhku untuk tetap tinggal di kost dan tidak ikut farewell party-nya temanku. Teman lawan bertengkarku minggu lalu. Teman yang sentimentil dan jarang kumengerti jalan pikirannya. Sungguh. Aku mendengarnya berseru-seru untuk tetap tinggal di kost. Aku bahkan sudah ijin pada inge dan nita. Dan aku juga tidak mengerti mengapa akhirnya aku memutuskan untuk berangkat. Kupikir karena ia yang menjemput dan aku mau buktikan kalau aku sudah tidak punya masalah apa-apa lagi dengannya.

Well, I guess I was wrong!!! Really! Dan aku menyesal kenapa tubuhku ini mau saja dibawa kesana. Tadi ia minta didoakan dan diberkati. Kemudian kamu bersamal-salaman. Tiba giliranku, uluran tanganku memang disambutnya, tapi aku ditatapnya pun tidak. Aku menahan tanganku sambil menunggu dia memandangku dan mengatakan sesuatu. Tapi bahkan sampai dia berusaha melepaskan tangannya yang kutahan itu pun, matanya tidak kunjung menatapku, sampai aku harus berteriak, "Kamu gak mandang aku!" Dan saat itulah mukaku penuh dengan lumpur. Ia yang melempar. Jangan pernah bermimpi untuk menggantikan posisiku saat itu. Detik itu, aku tahu bahwa sekat diantar kami belum terbabat dengan baik.

Berada dalam mobilnya sepanjang perjalanan pulang membuatku seperti berkubang dalam lumpur. Jijik, bahkan terhadap diriku sendiri yang mau-maunya saja dilempar lumpur di depan teman-temanku. Tapi Tuhan maha adil, tidak dibiarkannya aku sendiri (karena kalau aku sendiri, aku tidak tahu bagaimana jadinya diriku). Dalam kubangan lumpur itu, air mata yang sudah kutahan akhirnya menetes. Meninggalkan hangat di pelupuk mata. Aku tak tahan. Aku muak. Aku ingin dia pergi, jujur saja. Dia sudah mulai mengganggu kehidupanku. Dengan kata-katanya yang setinggi-tingginya langit tapi hampir tak satupun yang aku lihat pernah dilakukannya. Aku jarang mengerti jalan pikirannya dan kalau dulu aku ingin menyelami pikirannya itu, kali ini tidak, terima kasih! Aku bahkan masih bisa hidup, masih bisa bertumbuh, tanpa dia. Aku marah. Dan akhirnya aku menangis. Ingin sekali aku lari ke Melbourne dan menangis di dada San, supaya lega hati ini. Sempat terbersit dalam pikiran untuk meminjam bahu yosua, karena aku butuh seseorang dimana aku bisa bersandar. Aku tahu, dia ada disitu untukku.

Bahkan ketika aku telah menjejakkan kakiku di kamarku, di zona nyamanku, aku masih merasakan sisa-sisa lumpur melekat pada tubuhku. Aku menggapai-gapai, berharap dapat menemukan seseorang yang bisa menolong aku membersihkan lumpur ini. Tapi aku sendirian. Dan..., jessie akhirnya hanya berdua dengan Tuhan.


Thursday, 8 September 2005
12.08 am
after the terrible night

Wednesday, September 07, 2005

hidup tidak seperti sinetron

Hidup ini tidak seperti sinetron. Sungguh. Apalagi sinetron Indonesia yang ceritanya hampir selalu sama. A jatuh cinta pada B. C juga jatuh cinta pada B. A bunuh-bunuhan dengan si C demi mendapatkan cinta si B. Dan entah bagaimana semua jalan cerita selalu berujung dengan adanya kekuatan magis di balik semuanya itu. Kemudian si pemeran antagonis (aku menyebutnya korban) akan mati dalam keadaan mengerikan waktu didoakan (aneh..., bukankah orang seharusnya mati dengan damai atau berubah jadi orang yang lebih baik ketika didoakan?). Harus ada si jahat yang dikorbankan. Si pemeran utama biasanya seorang yang lugu, baik dan lembut yang akan terus-menerus menderita dan tidak akan melawan si pemeran antagonis (korban, maksudku) alias pasrah sampai akhirnya takdir membuat pemeran antagonis itu kalah. And they live happily ever after. Tapi bahkan kebahagiaan si pemeran utama pun diperlihatkan tidak lebih dari satu episode. Ratusan episode lainnya hanya menceritakan bagian sedih-sedih dan saat-saat ia menderita saja. Lebih herannya lagi, ribuan orang dari Sabang sampai Merauke menonton dan ikut menangis dengan si pemeran utama. Seolah tak pernah bosan. Atau menyerah? Pasrah, maksudku. Nrimo. Seperti kata orang-orang tua jaman dahulu. Daripada tidak ada hiburan sama sekali? Lebih baik hiburan berkualitas rendah daripada tidak ada sama sekali? Puh.

Hidup ini lebih daripada sekedar fenomena positif dan negatif bahwa semua fenomena positif menjadi milik yang baik dan semua fenomena negatif menjadi milik si jahat. Kalau kau menonton sinetron-sinetron Indonesia, maka kau akan sampai pada satu anggapan bahwa hidup adalah penderitaan, bahwa ketika kau pasrah maka segala sesuatu yang buruk yang menimpamu akan dikembalikan pada si pemegang fenomena negatif dan setelah itu terjadi maka kau hidup bahagia (dan itu menjawab mengapa kebanyakan rakyat kecil tidak berjuang untuk sesuatu yang seharusnya mereka perjuangkan). Buatku, kebahagiaan tidak tergantung seberapa besar dan seberapa lama penderitaan yang harus kau alami, tapi kebahagiaan itu disediakan tiap hari. Pilihannya adalah: take it or leave it.

Kadangkala hidup ini menyuruhku menjadi orang bisu dan banyak episode dalam hidupku, aku jadi orang bisu. Yang hanya melihat dan mendengarkan sambil menganalisa dalam hati. Di lain waktu, hidup menyuruhku jadi orang yang tidak hanya bisu tapi juga tuli, hanya melihat, merasakan tapi tidak harus berkomentar apa-apa dan tak perlu mendengarkan apa-apa. Tapi tak pernah dibiarkannya aku hanya menjadi penonton. Aku selalu mendapat peran, terkadang peran utama, terkadang peran pembantu, terkadang peran antagonis, bahkan figuran sekalipun. Dibiarkannya aku mencicipi semua peran. Dan aku tahu mengapa. Justru ketika aku diperbolehkan mencicipi semua peran itu, aku betul-betul mencecap indahnya hidup. Hidup jadi tak monoton. Setiap hal dapat dinikmati. Bahkan ketika kau marah, kau menangis dan kau sedih sekalipun, kalau kau tahu caranya, kau akan tahu betapa nikmatnya itu semua.

Jangan percayai sinetron-sinetron itu. Hidupmu jauh lebih indah dari yang kau lihat dan bayangkan.


Wednesday, 7 September 2005
07.48 pm
after watching rubbish called 'sinetron', when will those rubbish thrown away from this country?

pilihanku

Aku ingin sedikit membuat rekapitulasi disini. Yah… setelah banyak kejadian dan peristiwa yang menimpaku selama dua minggu ini, kupikir tak ada salahnya aku sedikit mengenang setiap detil dari peristiwa-peristiwa tersebut. Dan tentu aku takkan melupakan pelajaran yang aku dapatkan.

Banyak emosi bergejolak selama dua minggu ini. Semangat. Ketegangan. Kekhawatiran. Kejengkelan. Kebahagiaan. Kepuasan. Pertengkaran. Kemarahan. Kekecewaan. Tidak peduli. Keceriaan. Keprihatinan. Bumbu-bumbu semacam itulah yang mewarnai hari-hariku. Dimulai dari persiapan pementasan drama sampai masa setelah Youth Camp.

Aku bertengkar dengan seseorang yang mana sudah kuanggap sebagai sosok dewasa yang sering menasihatiku berkaitan dengan masalah spiritual. Dan aku kecewa karena dia hanya bisa menasihati, tapi tidak bisa menerapkan semua yang ia keluarkan dari mulutnya itu kepada dirinya sendiri. Aku sungguh kecewa. Hanya saja, tentu aku masih menganggap dia sebagai sahabatku. Dia protes, mengapa tak ada seorangpun yang mau mengerti dia. Fren…, bagaimana mungkin kau harapkan kami mengerti dirimu kalau kau tak pernah bercerita masalah-masalahmu. Memangnya kau pikir kami ini ahli nujum?? Dia bilang, kami mengganggu kehidupannya dan yah… katakanlah, cintanya. Bagaimana mungkin? Kami bahkan tidak tahu dengan pasti kehidupan cintamu yang sebenarnya. Tolonglah. Jangan karena kau seorang yang sentimentil, kau harapkan kami semua berubah jadi makhluk sentimentil juga.

Kadang-kadang aku memang tidak mengerti jalan pikiran orang-orang yang diberi kadar sensitivitas lebih tinggi dari kebanyakan orang-orang seperti aku. Maksudku, mereka terlihat selalu dikelilingi masalah. Di lain waktu, mereka bisa menjadi orang yang sangat menyenangkan, terlihat peduli dan selalu ada disaat dibutuhkan. Dan setelah kupikir-pikir, akhirnya aku tahu, Tuhan ingin aku mempelajari sesuatu lagi. Inilah yang kudapatkan.

Hidup ini adalah sebuah pilihan. Ada banyak hal yang terjadi di sekitar kita yang mempengaruhi kita dan di luar kontrol kita. Dan tentu saja, yang di luar kontrol kita itulah yang tidak dapat diubah. Tapi, Tuhan memang maha adil, diberikanNya pada kita pilihan-pilihan yang mana kita betul-betul dibebaskan untuk memilih. Kadangkala aku memilih yang salah, tapi aku sadar semakin lama, semakin aku merasa Tuhan membimbing aku mengambil pilihan yang tepat ketika aku diperhadapkan dengan banyak pilihan. Bahwa ketika aku mendapat masalah, akulah yang berkuasa mengambil keputusan apakah aku akan menanggapi masalah itu dengan pikiran positif atau negatif.

Pertengkaran minggu lalu sangat membuatku tak nyaman. Apalagi kalau orang yang bertengkar denganmu tidak memberikan respon yang positif terhadap apa yang sudah kau coba lakukan terhadap dirinya. Kau akan semakin merasa tak nyaman ketika kau lihat gerak-gerik dan ekspresi wajahnya menunjukkan seolah-olah esok matahari tak bersinar lagi. Is it the end of the world, Fren? Hidup ini sudah cukup melelahkan tanpa perlu kita memikirkan hal-hal yang aneh yang membuat hidup ini jadi sesuatu yang tidak menyenangkan. Aku bisa saja memilih untuk bersikap sama dengan dirinya. Tapi aku tidak mau. Aku tidak mau aku kehilangan momen camp ini bersama teman-teman lainnya hanya karena satu orang bersikap tak menyenangkan padaku. Aku ingin punya kenangan manis di camp ini dan takkan kubiarkan satu orang pun merusaknya, termasuk dia, sahabat sentimentil-ku yang satu itu. Dan disitulah perbedaan berbicara. Bahwa ketika kau memilih untuk bersikap positif, segala sesuatunya jadi lebih indah. Kau jadi lebih bisa menikmati hidupmu.

Amsal 15:13 bilang Hati yang gembira membuat muka berseri-seri, tetapi kepedihan hati mematahkan semangat. Ketika aku sedih, aku marah, aku bete, wajahku pun dengan jujur akan memperlihatkan semua yang aku rasakan. Dan kau tahu? Orang-orang yang ada di sekitarku akan melihat seorang cewek manis yang tak lagi manis karena begitu murung dan membuat mereka juga jadi merasa tak enak. Dan aku tahu, aku hidup tidak sendirian. Aku tahu banyak orang membutuhkan senyumku, tawaku, candaku. Dan untuk itulah aku hidup di dunia ini. Bukannya aku tidak boleh sedih, tidak boleh capek, tidak boleh bete, tapi kupikir menghadapi masalah tidak perlu dengan air muka cemberut, hati yang sumpek dan omelan serta keluhan tiada henti.

Inilah pilihanku. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan coba menghadapi segala sesuatu dengan kepala dingin, hati yang gembira dan juga semangat. Meskipun terlihat sulit, tapi aku ingin mencoba, karena untuk itulah aku hidup. Ketika aku dbiarkan dihadapkan pada suatu masalah, aku tahu aku akan berhasil melewatinya. Cepat atau lambat.


Tuesday, 6 September 2005
11.42 pm

Don’t frown, because you never know who’s falling in love with your smile!

Sunday, September 04, 2005

entah yang tak berujung

Aku benar-benar memakai topeng hari ini. Please… jangan tanya aku, aku nggak tau kenapa, tapi entahlah. Maksudku, setelah kemarahanku yang memuncak dan pertengkaran hebat kemarin, aku merasa aku cukup cuek. Kau hanya tidak tahu bagaimana rasanya. Baru kemarin aku merasa marah sampai memuncak seperti itu. Pagi tadi, ucapan ‘sorry’ sudah keluar dari mulut kami masing-masing. Tapi, maksudku, aku sendiri masih mencium bau-bau ketidaktulusan yang menyengat diantara kami. Diantara kami tiba-tiba tumbuh sekat dan ilalang yang sungguh aku tidak tahu kapan mereka bisa terbabat.

Aku tidak menyesali apa yang sudah aku katakana kemarin. Kadang-kadang manusia dengan kadar sensitivitas dan sentimental yang tinggi pun perlu dikerasi. Tidak hanya kami yang harus selalu mengalah, tapi juga yah… entah. Entah yang tak berujung

Well…, aku juga punya perasaan, Fren. Kami juga punya perasaan. Tidak hanya kau.


Saturday, 3 September 2005
11.51 pm

in remembering a sentimental friend

Saturday, September 03, 2005

stitch dalam blacklist

Dee pernah bilang: “… bahwa akan tiba saatnya orang akan berhenti menilaimu dari wujud fisik, melainkan dari apa yang kamu lakukan.” Dan sekarang ini aku pengen bilang sama dia, “Dee, kapan saat itu tiba untukku?”

Pertanyaan yang lucu. Pertanyaan yang berbau keputusasaan. Tertawalah. Sekencang-kencangnya. Mumpung aku belum ngomong sebabnya aku mengatakan hal itu. Yah, kupikir-pikir, kadang-kadang hidup ini tidak adil. Dibiarkannya aku bekerja begitu keras, tapi tetap saja aku harus kalah. Stitch kemaren maen di atas pentas. Pertama kalinya ia dipercaya untuk menjadi pemeran utama. Dan ia begitu sukacita. Tapi ia juga agak tertekan. Mengapa? Karena naskah yang dipakai dulu pernah dimainkan oleh orang-orang yang ia anggap very expert dalam berakting diatas panggung. Generasi teater imaji terdahulu. Dan karena naskah yang ia pegang dulu pernah dimainkan, ia siap dibandingkan – lebih jelek atau lebih bagus. Maksudku dalam hal akting. Biar bagaimanapun, kalau kau suruh aku membandingkan diriku dengan orang yang dulu memainkan peranku sekarang secara fisik, aku kalah jauh. Tapi kupikir, aku masih punya yang namanya akting.

Tiga bulan aku berlatih. Bahkan ketika tubuh sudah berteriak-teriak letih, aku tetap berangkat dan berlatih. Kenapa? Karena ketika aku mencoba berperan sebagai orang lain, ada sesuatu yang menggelegak dalam diriku. Sesuatu yang hidup. Sesuatu yang luar biasa. Sesuatu yang ternyata Tuhan berikan padaku dan baru kusadari ketika aku hidup di Surabaya dan ngendon di GKI Jemursari. Tak pernah lagi kupikirkan soal pembanding. Aku hanya ingin main. Jangan lihat fisikku, karena meskipun aku memerankan seorang wanita cantik, aku sadar aku tidak secantik itu. Tapi, kukatakan sekali lagi padamu, aku punya akting dan itu yang mau aku persembahkan.

Tuhan menerimaku. Kak Lisa sebagai sutradara menerimaku. Teman-temanku satu teater menerimaku. Kebanyakan para penonton menerimaku. Menerima bahwa bermain drama bukan sekedar sesuatu yang hanya boleh dinikmati orang-orang berwajah ayu nan rupawan, tapi juga orang-orang yang mau sungguh-sungguh berlatih. Mungkin, hanya dua yang tidak menerimanya. Dan dua-duanya adalah orang-orang yang sudah kuanggap sebagai partnerku. Yang satu mengatakan naskah drama ini enteng, mudah sehingga para pemain dapat memerankan peran masing-masing dengan gampang, dan yah… that’s it, so what gitu loh…. Yang satunya lagi, tanpa berkomentar apa-apa tentang aktingku, dengan entengnya ia mengumbar, ‘yang jelas lebih ayu yang dulu.’ Dan oh, Stitch, berkali-kali aku menghibur diriku sendiri bahwa ia mungkin cuma bercanda, tapi itu sungguh menyakitkan. Sungguh. Bahwa aku baru menyadari di jaman sekarang ini, penampilan luar masih lebih penting daripada apa yang dilakukan. Dan sampailah aku pada satu pemahaman, bahwa mungkin panggung pementasan memang hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang cantik dan rupawan. Dan aku… masuk dalam blacklist. Thanks.

Saturday, 3 September 2005
12.12 am
“… walau dunia melihat rupa, namun Kau memandangku sampai kedalaman hatiku.”