Monday, May 31, 2010

no second chance

Once in a lifetime means there's no second chance, so I believe that you and me should grab it while we can -Troy, Everyday, High School Musical 2-

Dalam hidup enggak selalu saya dapetin apa yang saya pengen. Enggak selalu juga saya bisa lakukan apa yang saya pengen. Dulu saya mengira selalu ada kesempatan
kedua. Kenyataannya sekarang saya harus mengakui kalau ada kesempatan-kesempatan yang datang cuma sekali. Dan terkadang kalau saya renungin kesempatan yang lewat begitu saja itu karena saya cuma melihat aja kesempatan itu lewat di depan hidung saya.

Pernah suatu waktu saya dan keluarga pergi makan malam ke sebuah restoran. Restorannya ada di lantai dua. Waktu kami naik tangga, di tengah-tengah tangga ada anak kecil memakai seragam sekolah putih merah yang sudah kumal berjualan koran. Dia menawarkan dagangannya pada kami, tapi seperti biasa kami hanya menggelengkan kepala *ini kayak program otomatis udah ter-inject di otak kalo ada orang nawarin koran/ngamen di jalanan*. Entah kenapa saya keinget terus dengan anak itu. Bukan, bukan karena dia ganteng, tapi entah kesambet apa rasa kemanusiaan saya muncul. Saya lirik lagi anak itu, dia sedang menerima uang dari pengunjung lain yang membeli koran. Kemudian saya berpikir pengen beli korannya tapi nggak mau minta kembaliannya. Terus saya pikir itu sudah biasa, jadi saya kepengen beliin dia makanan di resto itu. Saya melirik lagi anak laki-laki tadi, dia sudah tertidur dengan beberapa lembaran uang di tangannya. Oke, saya memutuskan dalam hati, saya mau belikan dia makanan aja dari resto itu. Setelah melihat-lihat menu dan hendak memesan, saya lirik lagi anak laki-laki tadi. Dia sudah enggak ada disitu. Saya mencoba keluar dan mencari-cari tapi anak itu seperti raib, entah pergi kemana. Cinta memang enggak perlu dipikir, tapi dilakukan.

Cerita ini hampir mirip dengan kisah kasih di sekolah saya *ehm*. Maksudnya semasa saya di bangku sma dulu. Tapi ini dulu lho ya. Dulu. Jadi waktu itu saya dipasang-pasangin sama satu anak laki-laki (iya lah laki-laki, masa perempuan?), katakanlah namanya mr. X. Enggak disangka enggak dinyana mr X menganggap serius permainan teman-teman saya. Saya sendiri enggak tahu kalau dia serius sampai dia ngomong sungguhan via telepon *duileh, kenapa via telepon yah waktu itu?* Saya sempet aja sih ngomong iya coz menurut saya walaupun dia nggak ganteng, dia keren. Keren ini menurut saya: tinggi, pinter dan sedikit 'nakal'. Maksudnya 'nakal' bukan nakal jorok ya, tapi pernah dia dikeluarin dari pelajaran biologi gara-gara pe-ernya belom selesai dan dia malah bilang gini sama gurunya: ''Serius, Bu? Saya boleh keluar kelas? Horeeee..!!'' Dan dia menghambur keluar begitu saja keluar kelas. Di mata saya waktu itu dia keren betul waktu menghambur keluar kelas. Sementara si guru cuma geleng-geleng kepala. Errr... kok jadi ngelantur yak? Oke, jadi setelah saya ngomong iya, saya nggak bisa tidur berminggu-minggu *nah lho, lebay*, maksud saya hati saya nggak tenang, saya blom mau pacaran soalnya, mau mikirin karir dulu gitu. Eh, tapi saya masih sma ya? Kalo gitu, mikirin sekolah. Jadi akhirnya setelah beberapa hari menghindar, saya ngomong enggak sama dia. Enggak jadi maksudnya. Dan minggu-minggu setelah itu adalah minggu-minggu saya dihindari dia. Yang saya enggak sadari sih saya sebenernya suka juga sama dia. Sampai sekarang saya belum pernah ketemu lagi sama dia. And I think God forbids us to see each other. Oh, well. Tapi mungkin ini kejadian no second chance yang enggak pernah saya sesali coz my hubby is one of the best things that ever happened to me ^^.

Kepergian saya ke Bandung minggu ini, selain menunaikan tugas dari kantor, saya juga kepengen banget ketemu teman lama saya. Katakanlah namanya Ms. Y. Sehari sebelum berangkat saya udah kirim message ke dia via fb. Saya minta nomornya supaya ntar kalau saya disana saya bisa kontak dia dan bisa ajak dia ketemuan gitu loh. Tapi ternyata minta nomornya tuh sesulit melakukan serving pada pertandingan voli (sumprit, saya paling nggak bisa serving bola voli, tiap kali giliran saya, bola volinya enggak pernah melewati net, boro-boro melewati net, ngelewati pemain garis belakang aja udah untung). Saya udah coba berbagai cara, dari merayu sampe pura-pura bete saya tetep enggak dapet nomornya. Anehnya, dia enggak melakukan ini ke saya aja, dia melakukan itu ke hampir semua temen sma-nya. Sampai hari terakhir saya mau kembali ke Surabaya, dia telepon saya. Dia takut saya marah. Saya enggak marah sih, saya cuma enggak ngerti aja kenapa dia kayak gitu. Seinget saya, saya enggak pernah tuh buat salah sama dia. Tapi waktu ditelepon sama Ms. Y ini saya udah menyerah. Saya pikir buat apa sih ketemu sama orang yang nggak pengen ditemui? Dia tanya kapok nggak sama dia, saya jawab aja, saya enggak kapok ke Bandung, dan dia kerasa sendiri. Dia bilang susah ya ketemu dia. Batin saya, jauh lebih susah ketemu dia daripada ketemu yosi project pop! Saya bilang ke dia, udahlah kalau memang nggak bisa jangan dipaksain sambil dalam hati saya nyanyi lagunya High School Musical 2 yang Everyday: ''Once in a lifetime means there's no second chance, so I believe that you and me should grab it while we can.'' Karena siapa sih yang bisa pastiin saya akan ke Bandung lagi, bisa ketemu dia lagi? Siapa coba?

Bandung memang aneh. Dalam waktu empat hari saya menghasilkan tiga tulisan. Saya jadi m
engerti kenapa Vicky rutin ngeblog, mungkin saya harus pindah ke Bandung supaya bisa lebih produktif ;) Ini sama anehnya dengan cerita yang siang ini saya dengar. Sepasang sahabat, katakanlah namanya Mr. S dan Ms. M di suatu siang yang menyengat berbincang-bincang di udara. Ms. M sudah menikah sementara Mr. S belum. Entah bagaimana, pembicaraan berbelok ke masa lalu. Saat Mr. S dan Ms. M masih satu kantor dan mereka boleh dibilang cukup dekat satu dengan yang lain. Mr. S tiba-tiba mengaku kalau dulu suka dengan Ms. M dan merasa brokenhearted ketika tahu Ms. M akan menikah. Ms. M enggak tahu kalau ternyata dulu Mr. S menyimpan getar-getar cinta (jadi inget lagu pertamanya Rossa nggak?). Mr. S bilang dia merasa lebih cocok jadi kakaknya aja *euh, classy banget ya?*, padahal Ms. M barangkali akan pertimbangkan Mr. S, kalau dia ngomong. Waktu dengar cerita ini, otak saya langsung bilang: ceritanya kayak cerpen di majalah Anita Cemerlang jaman dulu coy. Tapi ini yang dinamakan no second chance (btw, ini cerita beneran lho, bukan fiksi). Ms. M enggak mungkin meninggalkan keluarganya begitu tahu tentang perasaan Mr. S dan Mr. S juga nggak bisa ngapa-ngapain lagi. Seandainya saja waktu itu Mr. S ngomong atau Ms. M enggak hanya menunggu, barangkali lain ceritanya.
Tuan Waktu memang enggak mau tahu, dia akan terus maju apapun yang terjadi disekitarnya. Memang manusia hanya bisa mengikuti jalannya Tuan Waktu. Entah itu dengan santai, terengah-engah, terbirit-birit atau enggak sabar, Tuan Waktu tetaplah Tuan Waktu, dia nggak selalu menawarkan kesempatan kedua. Karena itu sebisa mungkin saya harus memilih, karena tidak semua kesempatan harus saya ambil dan sebaliknya ada kesempatan yang harus saya perjuangkan biarpun berat.

Friday, 28 may 2010
4:46 pm
Cipaganti 84 to Bandara Soekarno Hatta
Dedicated to my friends: Mr. X, Ms. Y dan Mr. S

PS: Dan kayaknya saya juga kehilangan kesempatan beli beanie ini, cuma saya coba aja tapi nggak jadi beli ;(

PPS: Gambarnya diambil dari sini, sini, sini,sini

hari ini...

Hari ini aku melihat seorang perlente menghampiriku dan menawarkan produk perusahaannya, berharap aku bisa berhenti sejenak mendengarkan apa yang ingin ia katakan, lebih baik lagi membeli produknya
Aku menolaknya, kulangkahkan kakiku sok sibuk sambil geleng-geleng seperti ondel-ondel

Hari ini aku melihat supir bemo mempercepat kendaraannya sambil berharap aku mau jadi penumpangnya
Aku menolaknya sambil melirik jam yang sudah menunjukkan hampir pukul sembilan malam
Lantas aku berenung, betapa panjang jam kerja supir bemo dibandingkan jam kerjaku

Hari ini aku melihat tiga anak kecil seumur anakku
Tidur di atas trotoar beratap langit malam, beralaskan tikar lusuh sambil menghirup udara yang sudah bercampur polusi


Hari ini aku melihat diriku sendiri yang sering mengomel atas hal-hal sederhana dalam hidupku
Hari ini aku malu
Maafin aku ya, Tuhan


Bandung, 26 May 2010

11.22 pm

Saturday, May 29, 2010

dari sebuah bandara

Dalam sebuah perpisahan yang manis (bukan sambil tereak-tereak ngomong: "Pokoknya kita cerai! Kamu lebih sayang burung-burungmu daripada aku!") biasanya terjadi rasa haru, rasa penyesalan dan rasa sedih, entah itu datangnya bertubi-tubi atau sedikit-sedikit saja, tapi biasanya ada. Itu yang barangkali kami rasakan kemarin malam. Sahabat saya, saudari angkat saya, dan kadang-kadang musuh yang menyenangkan akan melanjutkan hidupnya di tempat lain. Ini juga berarti bahwa wakut-waktu biasanya saya melihat dia dimana-mana sudah hilang. Kemarin malam, kesan dan pesan dilayangkan. Betapa ia sudah menjadi inspirasi, menjadi teladan, menjadi seseorang yang jelas akan dirindukan ketika ia pergi. Dan saya berpikir, barangkali ini gunanya sebuah perpisahan, untuk menunjukkan betapa berharganya orang itu sebetulnya bagi saya. Ironis memang.

Saya enggak sempat ngomong banyak pada sahabat saya itu. Bukan apa-apa, saya mencoba berkata banyak tentangnya. Tapi saya ternyata enggak kuat dan saya lagi terlalu sombong untuk menangis di depan orang banyak. Karena itu saya pakai cara ini, dimana meskipun saya menangis tersedu-sedu waktu menulisnya pun enggak masalah karena enggak akan ada orang yang tahu.


So here goes... just for you.
Non,
It's a privilege to know you
It's a privilege to have those wonderful moments with you
Masa-masa ketawa cekakak-cekiki bareng
Masa-masa gila-gilaan bareng

Masa-masa bertengkar dan kemudian baikan lagi

Masa-masa saling curhat dan saling mendukung

Masa-masa yang enggak akan terlupakan

I know I was not always be there for you
I know sometimes we had different things in mind about anything
I know
But be sure about this: you have a special room in my heart forever
And I thank God about that

Manusia-manusia seperti hidup dalam bandara-bandara raksasa. Perpisahan terjadi ketika satu manusia melangkah memasuki pintu keluar, melambaikan tangan dari balik ruang berkaca dan naik ke pesawat yang akan menerbangkannya untuk tinggal di bandara raksasa yang lain.

"It's not goodbye, it's see you again."


25 May 2010
7:58 pm

on a plane between two talkative businessmen

Gambar diambil dari sini

Thursday, May 20, 2010

tentang naskah, penulisnya dan teater

Saya nggak tahu mulai kapan saya suka dunia teater. Saya juga nggak ingat sejak kapan saya menulis naskah drama. Tapi saya baru sadar bahwa hidup saya enggak jauh-jauh dari bikin naskah drama sejak beberapa minggu terakhir ini. Enggak, saya enggak lagi show-off, nunjukin kalau saya pinter banget bikin naskah drama. Menurut saya, naskah drama saya nggak ada apa-apanya dibandingin naskah dramanya Putu Wijaya atau WS Rendra atau Remy Silado. Oopss.. jauh ya? Jangankan mereka, menurut saya naskah drama saya masih enggak ada apa-apanya dibandingkan senior saya yang sekarang tinggal di San Jose, amrik sono. Jauh banget dah. Kalau sampai sekarang saya masih diminta bikin naskah saya kira barangkali itu karena dua hal. Satu, saya yang lebih sering available untuk dimintain tolong. Dua, saya orangnya kan baik hati dan enggak sombong, jadi susah nolak permintaan orang *hohohoho*.

Seingat saya, sejak kecil saya memang suka menulis drama. Saya ingat karena saya pernah nemu tulisan saya lima putri di sebuah negeri yang ditinggal orang tuanya dan kerajaannya hendak diambil alih oleh kepala rumah tangga kerajaan. Yang saya enggak nemu adalah akhir ceritanya, jadi entah naskah itu terselesaikan atau tidak, saya enggak tahu. Terus pernah juga waktu kelas dua SMP, ketika guru bahasa Indonesia menyuruh kami untuk bikin kelompok dan mentasin drama di kelas, saya pula yang tulis naskahnya untuk kelompok saya. Tapi saya sama sekali enggak ingat tentang apa tulisan saya itu. Terus waktu kecil saya juga suka sekali mainan boneka kertas yang baju-bajunya bisa diganti-ganti. Biasanya saya beli banyak-banyak tapi orang-orang yang saya pakai cuma dua atau tiga biji alias itu-itu aja. Kemudian dari dua atau tiga biji orang-orangan kertas itu saya mulai bikin cerita. Ceritanya memang hanya di kepala saya aja, tapi saya ingat saya menikmati betul saat-saat bermain boneka kertas murahan itu. Rasanya pe-er dan segala tetek bengeknya bisa saya tinggalkan hanya untuk main-main dengan boneka-boneka kertas yang kepalanya gampang putus itu (dan biasanya saya isolasi kembali). Ketika saya akhirnya beneran nulis naskah untuk dipentasin dan ditonton orang banyak, naskah pertama saya aneh banget dan rasanya enggak heran memang kalau waktu itu ada satu orang di gereja saya yang ketawa-ketawa sambil ngomong: "kamu pakai kata 'kau' terlalu banyak nih". Setelah saya baca lagi, emang iya sih, dan saya jadi ikutan ketawa. Dari satu naskah yang dipentasin jadi dua. Dari dua menjadi tiga. Sampai sekarang entah udah berapa naskah yang dipentasin, saya enggak sempet ngitung, bukan karena saking banyaknya jadi enggak bisa dihitung.

Dulu di awal-awal saya bikin naskah untuk dipentasin, saya masih ikut-ikut bantuin sutradara tanpa diminta (orang Pekalongan bilang "ngerusuhi"). Kalau sutradara atau pelatih menginterpretasikan naskah saya lain dari yang saya maksudkan maka saya akan bilang ke mereka kalau maksud saya (yang nulis) bukan begitu. Tapi berangsur-angsur pula saya belajar, bahwa penulis naskah sebetulnya sama sekali tidak punya kuasa untuk mengatur sutradara dalam mementaskan naskah si penulis. Penulis naskah boleh memberi masukan kepada sutradara tapi enggak boleh maksa masukannya diterima. Misalnya, naskah untuk peran A sebenarnya dimaksudkan untuk 1 orang saja, tapi oleh sutradara dimainkan menjadi 3 orang untuk peran A, itu adalah interpretasi dan improvisasi sutradara yang sudah enggak menjadi hak si penulis naskah untuk protes. Penulis naskah baru boleh marah kalau dialog yang sudah ditulis diputarbalikan, dimodifikasi hampir lebih dari separo dan inti dan alur cerita jadi tidak sama lagi, tapi pementasan tetap jalan dengan judul yang sama. Itu sama saja dengan menggunakan naskah baru dengan judul lama. Makanya sekarang ini kalau naskah saya dipilih untuk dipentaskan saya betul-betul akan menyerahkan semuanya ke sutradara, walaupun (ini bener, saya enggak bohong) mulut saya pengen ngomong banyak kalau ada sesuatu yang menurut saya nggak pas dengan yang saya inginkan. Barangkali ini bentuk lain dari sebuah kebanggaan berlebihan yang harus saya hilangkan ;(.

Yang menarik dari ikutan teater adalah kadang-kadang kami dibilang orang-orang aneh. Saya sendiri enggak tahu kenapa. Tapi kalau ditanya apa sih menariknya berakting di atas panggung teater? Maka jawab saya (dan barangkali pemain-pemain teater lainnya) adalah begini. Panggung teater jadi sebuah tempat yang asyik banget karena disana kami bisa jadi apapun yang mungkin enggak pernah kami bayangkan sebelumnya. Jadi orang gila? Jadi pelacur? Jadi ibu-ibu tua yang suka marah-marah? Jadi orang yang buta tuli? Semuanya bisa. Apapun yang enggak bisa dilakukan dalam keseharian bisa dilakukan di atas panggung. Ini yang bikin menarik! Ini yang bikin asyik! Tapi ini pula yang barangkali penyebab kami dibilang orang-orang aneh (asal jangan dibilang orang-orangan sawah aja), karena kami menikmati peran jadi orang lain di luar diri kami sendiri. Jujur aja, latihan buat sebuah pementasan (besar atau kecil sama aja) itu cukup berat. Saya suka dengan klub teater di gereja saya karena pementasannya enggak sekedar drama meja kursi yang ceritanya melulu tentang keluarga atau sepasang suami istri yang suaminya kecewa pada gereja, dsb, tapi klub teater di gereja saya lebih senang mementaskan sesuatu yang kontemporer, yang menyebabkan jemaat yang menonton ikutan berpikir ini drama maksudnya apa. Kalau jemaat masih bingung, pendeta yang berkhotbah bisa membantu menginterpretasikan isi drama tersebut. Selain itu - ini yang menurut saya cukup istimewa - penggunaan microphone (baik wireless maupun tidak) adalah tabu hukumnya. Jadi para pemain dipaksa belajar vocal sehingga mengucapkan dialog pun harus menggunakan suara perut, lebih bagus lagi diafragma. Supaya seluruh penonton dalam gedung gereja (yang akustiknya sangat enggak bagus ) dapat mendenger kata per kata yang diucapkan. Dulu saya pikir suara perut kayak begitu cuma digunakan untuk paduan suara atau nyanyi, tapi ternyata enggak juga. Yang boleh dipakai hanya standing microphone yang nggak akan mengganggu gerak-gerik pemain. Pokoknya pemain enggak boleh pegang microphone atau menggunakan wireless microphone. Yang menempel di tubuh pemain adalah yang ada hubungannya dengan peran dia. Pelatih yang sekarang bilang sebabnya enggak boleh pakai microphone adalah mengganggu estetika panggung dan saya setuju. Masa ada orang gila bawa-bawa microphone kemana-mana?

Secara pribadi, kalau saya ditanya, dalam sebuah pertunjukkan teater, apa yang paling bisa dibanggakan? Saya nggak akan menjawab pementasannya atau akting para pemainnya atau dekorasi panggungnya atau make-up pemain yang keren atau sound system yang bagus atau lighting yang memukau atau kostum panggung. Sebaliknya saya akan bilang, sebuah pertunjukan teater yang sukses adalah pertunjukkan dimana kerjasama antara pemain dan kru di balik layar dapat saling mengisi dengan baik. Bagaimana mereka bekerjasama itu menentukan kesuksesan pertunjukan. Dan kerjasama yang baik membutuhkan tiupan dari Surga. Betul semua yang saya sebutin diatas itu sangat mendukung, tapi jika orang-orangnya enggak bisa bekerjasama dengan baik dan enggak membutuhkan tenaga dari Yang Di Atas, pementasan itu enggak akan punya nyawa.

Tulisan ini saya persembahkan buat temen-temen seperjuangan saya di Teater Imaji, Surabaya yang lucu-lucu, yang gemar membuat orang tertawa dan pementasan-pementasannya enggak kalah lucu dari extravaganza, srimulat dan opera van java dijadiin satu *haiyah*. Jangan menyerah. Jangan manja. Jangan berhenti. Jangan menyerah selagi nafas kalian masih ada, selagi semangat itu masih ada, selagi dunia ini belum kiamat. Jangan manja karena kemanjaan adalah bentuk lain dari kemalasan, karena hanya orang malas lah yang enggak pernah kepengen untuk maju. Jangan berhenti bekerja serabutan dan saling tolong menolong dan tetep yang terbaik yang diberikan. Jangan. Setengah-setengah hanya untuk orang biasa, padahal kita semua tahu kita orang biasa yang jadi luar biasa karena Dia yang nyiptain kita semua. (Lama-lama ini tulisan jadi kayak pidato presiden di hari Kebangkitan Nasional deh..)

Suatu hari nanti. Suatu hari. Suatu hari saya kepengen jadi penulis naskah yang bisa bikin cerita sekeren... 24 ;) *maap lagi tergila-gila 24 soalnya*
.

Sunday, 23 May 2010
2:14 pm
after two exhausting days

PS: gambar paling atas saya ambil dari sini, yang lain-lainnya milik pribadi ;)

Wednesday, May 12, 2010

menipu penipu

Dulu kejadian kayak yang mau saya ceritain ini cuma bisa saya baca lewat email yang di-forward sama temen-temen saya. Kadang-kadang saya baca juga artikel-artikel di internet atau dari surat pembaca di koran. Tapi enggak sebersit pun dalam pikiran saya, kejadian serupa bakal saya alamin sendiri.

Jadi begini.

Di suatu sore yang cerah. Saat saya baru pulang kerja, menyelonjorkan kaki di lantai yang adem, sambil makan taro rasa rumput laut (tunggu, taro sepertinya kurang keren, diganti ngopi aja deh, eh tapi saya ngopi biasanya pagi-pagi, jyah.. jadi ga penting deh..) dan nonton Spongebob Squarepants, tiba-tiba telepon di rumah saya berbunyi. Berikut adalah percakapan antara penerima telepon yaitu saya dan si penelepon.


Saya (S) : Halo?

Laki-laki Aneh (LA) : Halo, bisa bicara dengan Pak Agus (bukan nama sebenarnya - red)?

S : Oo.. (karena udah biasa terima telepon serupa) Pak Agus itu pemilik lama rumah ini, Pak. Sudah pindah.
LA : Ini dengan ibu siapa ya?
S : Bapak mau cari siapa? (asal tahu aja, saya paling nggak suka deh penelepon yang enggak memperkenalkan diri tapi malah nanya yg ditelepon)

LA : Saya cari Pak Agus.

S : Iya, Pak.. Pak Agusnya udah pindah. Dia pemilik rumah lama. Saya sekarang yang nempatin rumah ini.

LA : Ooo.. kalo begitu ini dengan ibu siapa ya?

S : Ini darimana ya, Pak?

LA : Saya dari petugas kepolisian, Bu. Dengan ibu siapa ya?
S : Saya dengan Jessie, Pak.

LA : Ibu Jessie, nama suami ibu siapa ya?

S : (semakin curiga nih saya) Lho, katanya tadi cari pak Agus, kok sekarang malah tanya nama suami saya? Ini darimana sebetulnya??

LA : Saya dari petugas kepolisian, Bu, mau tanya nama suaminya ibu siapa.
S : Doni Gamalama (perhatian, ini bukan nama sebenarnya, tapi saya kasi nama sebenarnya ke laki-laki itu, bego bukan?)

LA : Pak Doni kerja dimana ya, Bu?
(semakin aneh kan?)
S : Lho, Pak, sebenarnya ini bapak cari siapa sih kok sekarang malah tanya suami saya kerja dimana??

LA : Enggak, Bu, saya cuma mau informasikan kalau suami ibu kecelakaan dan dalam keadaan kritis sekarang di rumah sakit.

S : Hah? Kok aneh ya, pak, tadi kan bapak cari Pak Agus, sekarang kok malah ngabarin suami saya kecelakaan?

LA : Ya, Bu, jadi ini suami ibu sama saya. Dia yang kasi nomor ibu ke saya. Katanya rumah ibu itu bekas rumahnya Pak Agus. (ada yang aneh ga sampe disini?)
S : (semakin jengkel) Aneh banget ya, Pak. Suami saya kecelakaan terus kasi nomor rumahnya ke bapak dan bilang kalo rumah ini bekas rumahnya Pak Agus? Hubungannya apa ya, Pak?? Kok nggak masuk logika sama sekali??
LA : (mulai jengkel juga keliatannya hehehe) Ya nggak tahu, Bu, pokoknya suami ibu sekarang ini abis kecelakaan! Apa mau dibiarin mati?? (kurang ajar banget)

S : (udah tinggi nih ceritanya) Eh, tunggu sebentar ya pak, ya!

Tut tut tut... telepon ditutup..


Satu detik setelah telepon ditutup, saya langsung telepon
hubby. Sekali nggak diangkat, yang kedua diangkat. Suaranya segar bugar. Dia masih di kantor. Dengan emosi saya cerita soal telepon gelap itu. Dan waktu saya tutup telepon, saya baru sadar bahwa saya baru saja lolos dari sebuah percobaan penipuan. Penipuan yang biasanya cuma saya baca aja.

Kemarin di gereja ada pertemuan, dan ternyata ada keluarga temen gereja yang sudah sempet kena dengan modus serupa. Dan mereka sudah nyebarin sms berantai untuk mendoakan temen gereja ini karena kecelakaan. Kabar terakhir malam itu ternyata temen gereja saya ini sehat walafiat tak kurang suatu apapun, ortu dan kakanya kena tipu. Saya nggak tahu apakah mereka sudah keluar uang atau belum, saya harap sih belum. Temen saya yang lain bilang ke pendeta saya, "Sama kejadiannya kayak c'Jessie tuh. Untung c'Jessie berhikmat, jadi nggka sampe kena tipu." (Makasi, sob, saya baru tahu kalau saya berhikmat). Tapi pendeta saya malah ngomong begini, "Ya iyalah Jessie nggak mungkin ketipu. Penipu kok mau nyoba nipu penipu juga." Butuh sedetik untuk menterjemahkan kalimat ini sebelum saya melihat seringai jahil pendeta saya. Asem.. jadi saya ini penipu juga gitu?


Kurang afdol rasanya ya kalau nggak ada moral of the story-nya? Jadi, moral of the story-nya adalah: udah deh, hub, nomor telepon rumah kita enggak usah diganti nama, biarin aja tetep pake nama Agus! Supaya kalau ada yang nipu kayak tadi bisa lebih gampang nanganinnya. Soalnya saya yakin tuh, si penipu dapet nomor dari yellow pages. Darimana lagi coba?

Buat temen-temen sekalian.. hati-hati yaa... ;)


Wednesday, 12 May 2010
4:37 am

Gambarnya diambil dari sini

Thursday, May 06, 2010

award lagi

Sebelumnya minta maaf sebesar-besarnya buat mamanya Reyhan dan Ghaus karena keterlambatanya mamanya Vinn untuk posting award di blog. Iya, saya lagi sok sibuk. Belum bisa atur waktu seperti blogger-blogger lain yang setia dan teratur postingannya.

Anyway, ini awardnya.

Thank you bangetttt... buat awardnya. ;)
Dan ini cara-caranya :
  1. Copy dan paste aturan main ini.
  2. Copy data “The Bloger Family” di bawah ini.
  3. Paste di bagian bawah post award, nanti.
  4. Hibahkan award ini (ONLY) ke 5 blogger yang begitu dekat dengan anda.
  5. Bloger yang akan dihadiahi award namanya HARUS belum tercantum dalam data “The Bloger Family”.
  6. Cantumkan nama masing-masing dari 5 Blogger tersebut (Plus insert LINKnya!).
  7. Pencantuman nama diletakan di deret selanjutnya dari data “The Bloger Family” yang sudah ada. (Jangan lupa insert linknya)
  8. Deret data “The Bloger Family” yang anda copy, seberapapun panjangnya dan banyaknya, diganti ataupun didelete. KECUALI urutan , BOLEH diganti sekehendak anda, anda boleh meletakan nama anda di urutan no.1,2,3, atau terakhir sekalipun.
  9. WAJIB MENJALANKAN ATURAN MAIN.
Ini para pemain pendahulu ;)
Aviorclef , Mba Elly S, Mba Fanny, Mas Roel, Mba Iyaz, Mas Munir Ardi, Seti@wan Dirgant@Ra, Fanda, Reygha'mum, Jessie's Absurd World

Dengan ini secara resmi saya hibahkan awardnya kepada... eng ing eng... Lisa Boed, Grace Receiver, Ria & Kristina, Shanty dan Desi Yoanita. Makasi makasi...

Wednesday, 6 Mei 2010
12.30 pm

Wednesday, May 05, 2010

ketika buah jatuh jauh dari pohonnya

Sibuk, sibuk, sibuk…

Sibuknya klasik. Membosankan dan terlalu biasa untuk diceritakan.


Tapi ini sibuk yang menyenangkan walaupun bikin stress. Ambigu ya? Betul. Saya jadi berpikir. Lebih baik stress karena banyak kerjaan daripada stress karena nggak ada kerjaan.

Anyway, festival kampus di tempat saya bekerja selesai juga (big phew, there). Satu bulan sebelum empat hari yang melelahkan itu berlangsung, saya diberitahu bahwa akan ada guest star yang hadir di malam penutupan acara tersebut. Ahai.. siapakah gerangan? *sambil berdoa: semoga yosi… semoga yosi.. semoga yosi.. semoga yosi..* Tapi ternyata yang saya dengar bernama: PETRA SIHOMBING. Dan saya harus mengakui, bahwa pertama kali saya mendengar nama itu yang terbersit dalam pikiran saya adalah: ini orang pasti orang Batak! Tapi yang jadi pertanyaan saya adalah: KENAPA BUKAN YOSI?? KENAPA?? Eh, bukan, pertanyaan saya adalah: SIAPA TUH PETRA SIHOMBING? GUA GA PERNAH DENGER NAMANYA. Kemudian setelah cari info sana-sini barulah saya tahu bahwa Petra Sihombing itu anaknya Franky Sihombing, penyanyi rohani yang cukup terkenal itu. Pluss… ketika saya sempat searching di google, nama Petra Sihombing muncul sebagai the rising star yang mungkin bisa menyaingi Derby Romero (kalau yang ini saya tahu, buat yang enggak tahu, berarti sampeyan juga bukan ABG, hehehe, dia dulu main film Petualangan Sherina). Petra Sihombing seorang penyanyi (juga) dan lagi beken di antara ABG. Baiklah, kejadian ini bikin saya sadar bahwa saya bukan lagi ABG yang singkatannya Anak Baru Gajah, eh Anak Baru Gede sehingga saya tidak tahu siapa yang lagi beken di kalangan ABG. Padahal saya masih umur tujuh belas tahun, (iya, just info, saya berhenti nambah umur sejak dua belas tahun yang lalu).

Tapi memang yah… bener kata pepatah: Buah jatuh enggak jauh dari po’onnya. Jadi kalau buah belimbing jatuhnya pasti di dekat pohon belimbing, bukan di dekat pohon mangga. Uhm, kalau enggak salah ingat waktu pelajaran bahasa Indonesia dulu, pepatah itu artinya sifat, karakter dan kebiasaan anak itu enggak jauh-jauh dari sifat, karakter dan kebiasaan orang tuanya. Jadi reaksi saya waktu tahu kalau Petra Sihombing itu anaknya Franky Sihombing adalah: ooo… pantesan. Biasa banget emang. Bagi beberapa orang barangkali malah reaksi saya itu nyebelin. Soalnya saya lebih tahu bapaknya ketimbang anaknya (ini menunjukkan bahwa saya ikutan generasinya si bapak ughhh..).


Kalau dilihat-lihat berapa banyak sih anak yang ikutan jejak orang tuanya? Cukup banyak saya kira. Petra Sihombing itu salah satunya. Gita Gutawa dan Sherina juga contoh lain dari anak-anak yang mengikuti jejak orang tua mereka. Ada lagi Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani dan Benazir Butto yang mengikuti jejak orang tua terjun di bidang politik. Nana dan Naysilla Mirdad juga contoh lain di bidang pesinetronan. Bukan hal yang aneh kalau anak ikutan orang tuanya. Anaknya pengusaha biasanya juga kerjanya seputar itu. Keponakan saya kalau ditanya cita-citanya apa dia selalu jawab: kayak papa. Pendeta saya dulu waktu masih kecil disuruh menulis tentang cita-cita nulisnya pengen jadi pendeta (kayak papanya), dan sekarang dia beneran mengikuti karir papanya. Anaknya dokter juga biasanya salah satu orang tuanya (atau kedua orang tuanya) jadi dokter. Lazim deh, lazim.

Dulu saya sendiri pernah mengalaminya. Mami saya guru piano, jadi kalau misalnya saya pas ditanya: mami kamu kerja apa, terus saya jawab guru piano, biasanya orang yang tanya itu bakal ngomong: wah.. berarti kamu pinter main piano juga dong ya. Ini kalimat yang bikin saya serba salah buat ngejawab balik. Ntar kalau saya bilang ya saya bisa main piano, maka orang itu kemungkinan bakal bilang lagi: iya dong harus bisa, kan anaknya guru piano…. Tapi kalau saya bilang enggak bisa main piano maka yang ada komentarnya kemungkinan: anaknya guru piano kok ga bisa maen piano? Fyi juga, papi mami saya sudah bertahun-tahun ikutan Paduan Suara. Suara papi saya enak gila. Dan mereka agak-agak kecewa sepertinya waktu tahu ketika di Surabaya (lepas dari pandangan mereka, ceilah), saya enggak aktif di Paduan Suara. Saya malah nyemplung di teater. Jadi ibaratnya, saya buah belimbing yang jatuh di dekat buah rambutan (oke, saya tahu ini ilustrasi yang aneh bin nggak nyambung, kalau kata Ria dan Kristina, ini masih sodaraan dengan Jaka Sembung). Tapi begitulah. Menurut saya sih, sah-sah dan wajar saja kalau anak mengikuti jejak orang tua. Karena dari kecil mereka hidup di lingkungan tersebut. Namun, enggak salah juga buat anak-anak yang enggak mengikuti jejak orang tua mereka. Karena mereka toh punya kehidupan sendiri, punya hak asasi sendiri untuk menentukan masa depan mereka. Seperti kata Kahlil Gibran: For their souls dwell in the house of tomorrow, which you cannot visit, not even in your dreams.

Mam, I’m sorry to let you down. ;(


Wednesday, 5 May 2010
11:18 am