Friday, November 22, 2013

percakapan tahi kucing

"Jaman sekarang tidak ada yang namanya pemberian yang tulus!" sabdanya suatu sore.

Seharusnya aku membalas sabdanya dengan pertanyaan seperti ini: "Kok bisa?" atau "Mengapa kamu bilang begitu?" atau "Maksudmu?" Tapi mulutku terkunci, karena aku tak sudi terperangkap dengan sabdanya yang sok tahu itu. Lagipula aku sedang sibuk.

"Hadiah-hadiah itu macam tahi kucing yang berceceran di jalan. Dan kamu tahu, semua kucing itu tidak tahu diri!"

Lagi-lagi aku diam, sebab aku kurang setuju jika ada yang mengatakan bahwa kucing itu hewan yang tidak tahu diri. Kucing justru hewan yang tahu diri. Ia tahu bahwa dirinya dijadikan mitos di banyak tempat, karena itu dia bisa seenaknya hidup disana-sini tanpa ada yang berani macam-macam dengannya. Kalau menurutku hewan yang paling tidak tahu diri itu kecoak. Buruk rupa tapi pede nongol di tempat-tempat tak seronok seperti kamar mandi dan toilet, tempat manusia mengumbar kelamin masing-masing dan bagian-bagian tubuh yang biasanya tertutup.

"Begini maksudku," katanya lagi.

Benar kan? Tak disahuti pun ia masih menyerocos, apalagi jika kusahuti.

"Suatu waktu kamu bertemu dengan seorang bapak tua penjaja makanan. Ia sudah tua, terlihat selalu letih, dan jika berjalan selalu menggunakan tongkat. Kamu kasihan, kemudian kamu bantu ia berjalan. Kamu belikan makanan. Kamu beri uang untuk ongkos perjalanan pulang. Keesokan harinya, kamu melihat lagi bapak tua ini. Dan kamu merasa kamu masih harus membantunya, maka kamu lakukan hal yang sama. Kamu bantu ia berjalan, kamu belikan makanan dan kamu beri juga uang untuk ongkos perjalanan pulang."

"Tidak ada yang salah dengan itu kan?" sahutku akhirnya.

"Ya! Tidak ada yang salah dengan itu," katanya lagi makin bersemangat. "Sampai suatu ketika bapak tua tadi berubah jadi penuntut. Ketika melihatmu datang, ia akan mendatangimu, memintamu membantunya berjalan. Memintamu membelikan makanan. Ia mulai berani mengatakan ia tidak suka nasi padang yang kamu belikan di rumah makan A. Ia lebih suka nasi padang di rumah makan B - yang harganya lebih mahal. Kemudian ia juga akan minta uang untuk ongkos perjalanan pulang. Seperti biasanya. Dan ketika kamu tidak bisa memberikan itu semua, ia akan marah-marah. Menuntut. Seolah-olah pemberian yang awalnya kamu berikan dengan tulus dan cuma-cuma sudah berupa bentuk menjadi hak yang seharusnya ia terima."

"Ha! Bisa jadi! Tapi itu tidak lantas menjadi alasan utama buatmu mengatakan pemberian itu seperti tahi kucing!" Aku mulai memanas, sebab aku kurang rela mengakui bahwa apa yang dikatakannya ada benarnya.

Ia tersenyum-senyum senang melihatku membalas perkataannya. "Sekarang coba bayangkan. Kamu menyetir mobilmu malam-malam seperti yang barusan kamu lakukan, kemudian kamu melihat seseorang tergeletak di pinggir jalan dalam keadaan tidak sadar. Apa kamu akan berhenti dan menolongnya? Atau paling tidak, memeriksa keadaannya?"

"Tentu saja!" sahutku cepat.

"Benarkah?" Ia tersenyum sinis. "Kalau memang begitu, mengapa kemarin malam kamu tidak melakukannya?"

Aku terdiam. Teringat kemarin malam ketika aku menolak menghentikan mobil saat ada laki-laki terjatuh dari motor. Kataku saat itu: "Ya kalau dia jatuh beneran? Kalau ternyata dia preman yang pura-pura jatuh? Gimana? Mau jadi apa kita? Lagian kamu nggak baca koran apa? Banyak kasus yang kayak begitu. Mau menolong malah bikin kantong bolong. Taruhannya nyawa!"

Ia tersenyum-senyum lagi. "Percayalah, bukan kamu satu-satunya yang berpikir seperti itu. Hidup di jaman sekarang ini, memang kita harus ekstra hati-hati. Jadi benar kan teoriku?"

Aku mulai manggut-manggut cemberut. Antara membenarkan tapi gengsi untuk mengakuinya dan yang sedang kulakukan tak kunjung selesai sebab aku sesungguhnya kurang mengerti apa yang kulakukan.

"Nenekku juga begitu!" cerocosnya lagi. "Tiap ulang tahun, ia dapat banyak hadiah. Dari anak-anaknya. Tapi yang paling dia tunggu-tunggu tentu dari anak laki-lakinya yang sulung. Om-ku itu! Yang paling kaya diantara saudara-saudaranya. Bisnisnya paling sukses, mobilnya lima, rumahnya besar. Makanya dia juga yang paling didengar oleh Nenek, soalnya hadiah darinya untuk Nenekku selalu mahal. Terakhir Nenek dibelikan gadget yang paling baru. Sampai terharu biru Nenekku dibuatnya. Hatinya sudah dibeli oleh Om-ku itu!"

Lagi-lagi aku menggerutu tanda setuju dengannya tapi tak rela kalau ia benar, sambil bertanya-tanya dalam hati apakah memang benar sudah tidak ada lagi pemberian yang tulus di dunia ini?

"Seperti tadi pagi," lanjutnya, "aku ditelepon marketing bank. Dia bilang karena aku sudah menjadi nasabah yang setia, mereka mau memberikan kompensasi. Semacam hadiah begitu. Hadiahnya sejumlah uang. Tapi ternyata setelah penjelasan yang panjang dan ruwet, aku baru tahu kalau yang dimaksud hadiah uang itu adalah pinjaman yang katanya berbunga rendah. Nah, kubilang juga apa? Mana ada hadiah gratisan kayak begitu. Tahi kucing!" Ia mengumpat lagi sambil tertawa-tawa.

"Kamu bisa nggak sih diem sebentar dan bantuin aku?" potongku sewot. "Ini mobil kalau nggak segera dibetulkan kita bisa semalaman disini!"

Sebelum ia menyahut, seorang bapak setengah baya mendekat. Di tangannya ada seperangkat alat. "Mari saya bantu, Dik. Saya lihat dari tadi adik berdua kesulitan membetulkan."

Kemudian tanpa menunggu jawaban, si bapak dengan cekatan mencari kerusakan dan membetulkannya.
Ia, kawanku yang cerewet itu tersenyum-senyum sambil berbisik di telingaku: "Paling-paling dia mengharapkan duit dari kita."

"Duitku tinggal lima puluh ribu! Buat isi bensin!" semprotku mendelik.

Tak berapa lama si bapak memberi isyarat padaku untuk menyalakan mesin. Dan, voila! Mesin menyala! Aku lega karena tak perlu disini semalaman, kawanku yang cerewet itu lega karena lagi-lagi bisa membuktikan teorinya tentang pemberian. Diselipkannya selembar uang berwarna biru di tangan si bapak.

Aku tersenyum.

Bukan. Bukan karena pada akhirnya aku sepakat dengan kawanku yang cerewet itu yang bikin aku tersenyum. Aku tersenyum karena lembaran uang berwarna biru dari kawanku itu ditolak oleh si bapak.

Dan si bapak pergi begitu saja, meninggalkan kawanku dengan mulutnya yang menganga lebar. Lebar sekali. Selebar senyumku.

Yang dikira tahi kucing itu ternyata rasanya manis.


Friday, 22 November 2013
03:06 pm

Gambar diambil dari sini

Thursday, September 05, 2013

tips (nggak) berguna (banget) seputar ibu hamil

Saya biasanya jarang (atau malah tidak pernah?) menulis tips-tips. Lebih banyak yang bilang tulisan saya aneh dan nggak banyak yang paham dan suka dengan tulisan saya. Yah… saya nggak bisa maksa orang suka dengan tulisan saya sih. Tapi untuk kali ini, saya kepengen menulis tips-tips berdasarkan pengalaman saya selama 9 bulan dekat dan ikut dalam pergumulan kawan saya yang sedang hamil anak pertama. Ketika saya ikut merasakan pergumulan kawan saya ini, saya baru sadar bahwa sungguh, hamil di negeri ini bisa sangat rumit. Maaf apabila saya lagi-lagi membandingkan keadaan waktu saya hamil di Melbourne dulu. Sangat berbeda. Jadi perempuan hamil di Melbourne itu jauh lebih tenang, damai, dan sentosa walaupun barangkali jauh dari kerabat yang bisa membantu sewaktu-waktu. Disini, orang hamil (terkadang) harus siap jadi tontonan. Anda ingin jadi selebriti dadakan? Hamil-lah! :D Anda laki-laki dan tidak bisa hamil sehingga tidak bisa menjadi selebriti dadakan? Hamili-lah anak politikus yang sedang berencana nyapres, unggah ke youtube, bagikan beritanya lewat media sosial, dijamin Anda juga bisa jadi selebriti dadakan! :P

Sudah gitu, orang-orang di sekitarnya juga ikutan sibuk ngasi tahu nggak boleh ini dan itu. Tapi lucunya hampir nggak ada yang ngasi tempat duduk buat orang hamil kalau pas ada acara-acara hajatan atau menjauh waktu mau merokok begitu melihat ada ibu hamil di dekatnya.

Jadi ini beberapa tips yang tidak sengaja saya kumpulkan selama 9 bulan ini (kawan saya sudah melahirkan bayi yang sehat dan lucu, selamat untuknya):
  1. Kalau Anda kebetulan melihat kenalan Anda hamil, perlakukan dia biasa saja. Tidak perlu heboh seperti melihat selebriti Hollywood atau Jokowi atau Nikita Willy atau Lee Min Ho (asli, saya sampai google untuk dapetin nama ini) lewat di depan mata. Perempuan hamil juga manusia biasa. Tidak perlu lebay bombay menyapa heboh apalagi sampai mengelus perutnya di depan banyak orang. Yang terakhir ini lain persoalan apabila yang Anda kenal itu memang sahabat Anda atau kerabat dekat Anda. Tapi kalau Anda hanya berteman biasa saja dengannya, lebih sopan apabila tidak perlu memakai elusan di perut. Apakah Anda mau kalau sedang jalan tiba-tiba ada seorang kenalan (bukan sahabat, apalagi keluarga) tiba-tiba mengelus perut Anda (yang mungkin berlemak itu)?
  2. Anda ingin memberikan perhatian pada kenalan Anda yang sedang hamil? Cukup berikan saja kursi Anda (kalau Anda sedang duduk) untuknya pada acara-acara besar seperti pesta pernikahan, ulang tahun, dsb. Atau menjauh lah darinya saat ingin merokok. Kalau hendak bertanya, ajukanlah pertanyaan-pertanyaan umum seperti: “Sudah berapa bulan? Sehat-sehat saja semuanya?” Tidak perlu dilanjutkan dengan: “Anaknya cowok atau cewek?” Dan kalau Anda sudah tahu kenalan Anda itu sedang hamil anak kedua, kemudian pertanyaan “anaknya cowok atau cewek?” ini dijawab dengan jenis kelamin yang sama dengan anak pertama, akan lebih sopan apabila Anda tidak merespon dengan: “Ooo..ya nggak papa jenis kelamin sama dengan anak pertama.” Darimana Anda tahu ia ingin punya anak dengan jenis kelamin berbeda? Fyi, tidak semua ibu hamil nyaman dengan pertanyaan yang menyangkut jenis kelamin bayi yang dikandungnya. Ada yang memang belum tahu, ada yang memang tidak ingin semua orang tahu hingga waktunya nanti, ada juga yang memang karena alasan medis, jenis kelamin tidak bisa dilihat. Kalau memang Anda sungguh-sungguh memberi perhatian padanya, tunggulah saat kelahiran bayinya, toh Anda akan tahu juga jenis kelamin si bayi dalam perutnya.
  3. Tidak perlu menakuti-nakuti perempuan hamil dengan yang seperti ini: “jangan benci sama si A, nanti anaknya mirip sama si A lho” atau “jangan marah-marah sama si B, nanti kalau anakmu mirip dia gimana?”. Yang seperti ini sama sekali tidak logis, apalagi ilmiah. Coba bayangkan, bagaimana mungkin si anak akan mirip si A kalau si ibu nggak ngapa-ngapain sama si A? Bagaimana mungkin si anak akan mirip si B kalau si ibu tidur bareng sama si B aja enggak? Jadi, save your breath dengan perkataan yang sia-sia ini. Ingat Firman Tuhan, perkataan sia-sia juga harus dipertanggungjawabkan di hari penghakiman *halah* :P.
  4. Masih berkaitan dengan tips nomor 1, tidak perlu juga berlebihan dalam memperlakukan ibu hamil  dengan mengatakan tidak boleh ini dan tidak boleh itu. Tidak boleh makan ini dan tidak boleh makan itu. Yang wajar saja lah. Sebab pada dasarnya kondisi tiap ibu hamil itu sangat bervariasi. Ada ibu hamil yang memang rentah keguguran dan oleh karena itu ada batasan-batasan yang harus diikuti tapi ada juga ibu hamil yang sangat sehat sehingga hampir tidak ada batasan bahkan dalam hal makanan sekaligus. Oya, minum air es bisa bikin bayi besar itu mitos lho. Yang bisa bikin bayi besar itu kalau ibu hamil punya riwayat penyakit diabetes atau memang sangat suka sekali dengan makanan dan minuman manis. Jadi bukan es-nya yang bikin besar, tapi manisnya itu. Makan makanan pedas juga nggak masalah asal tidak menjadikan si ibu diare. Kalau diare, baru bermasalah karena si ibu akan kekurangan cairan tubuh. Tapi apabila tidak berlebihan, silahkan aja santap nasi ayam penyet Bu Kris dengan sambel pedas yang legendaris itu! Segala sesuatu yang tidak berlebihan itu masih baik adanya, dan itu berlaku tidak hanya untuk perempuan hamil saja, tapi memang untuk seluruh makhluk, kecuali amoeba mamalia (iya, ini makhluk ciptaan saya, cuma belum saya patenkan, soalnya saya lagi sibuk mikirin masalah negara).
  5. Oya, satu lagi. Anda nggak perlu harus bertanya atau berkomentar kok tiap kali bertemu dengan orang hamil. Masih banyak sejuta topik yang lebih asyik untuk dibicarakan daripada lagi-lagi bertanya "Sudah berapa bulan?" atau "Anaknya cowok atau cewek?" atau "Ini anak keberapa?" atau "Udah 6 bulan? Kok kecil?" atau "Baru 4 bulan? Kok gede banget perutnya?" Yakin lah, tanpa Anda bertanya atau berkomentar pun, si ibu hamil ini pasti sudah menjawab ribuan *ini bisa betulan! :P* pertanyaan serupa dari orang lain. Just give her a break. Santai aja. Ibu-ibu hamil juga masih membicarakan soal Ben Affleck jadi Batman, soal wig-nya Nicky Minaj yang segambreng, soal cuaca yang tak keruan, soal Miss World vs Rupiah yang melemah, soal banyak manusia tak tahu diri yang mencalonkan diri jadi presiden tahun depan, soal rumah makan yang baru buka, dsb kok. 

Saya nggak ahli menulis tips sih. Jadi minta maaf kalau ada yang sudah telanjur baca ini karena mengira akan berguna untuk bangsa dan negara tapi pada kenyataannya tidak. Saya siap bertanggungjawab di hari kiamat nanti dan akan berkata bahwa yang saya tulis ini murni berdasarkan pengalaman dan perasaan pribadi. Dan untuk kawan saya yang baru saja melahirkan: selamat menempuh hidup baru! :)

*Waktunya undur diri sebelum ditimpuk tomat busuk, telor ceplok dan es cendol sekaligus oleh para pembaca* :P

Thursday, 5 September 2013
12:28 pm

PS: Gambar diambil dari sini

Saturday, August 10, 2013

pagar

Seorang asing baru pindah ke sebuah negeri. Konon di negeri itu tanahnya subur, penduduknya ramah,  cuacanya bersahabat dan lain-lain yang baik. Istilah kerennya: gemah ripah loh jinawi. Itu sebabnya barangkali ia pindah ke negeri tersebut. 

Ia beli sebuah rumah mungil, untuk dirinya sendiri. Serupa dengan rumahnya yang mungil, ia bangun pagar yang mungil pula. Tetangganya terheran-heran melihat pagar semungil itu. Mereka belum pernah melihat pagar semungil itu. Karena itu setiap kali ada yang lewat rumah si orang asing ini, tak pernah ada yang lewat begitu saja tanpa peduli. Selalu ada yang berhenti, entah untuk mengomentari, entah untuk sekedar menunjuk, entah untuk mentertawakan, entah apapun.

Si orang asing itu heran melihat laku para tetangganya. Masakan hanya karena pagar, mereka jadi bertingkah aneh seperti itu? 

Suatu pagi, saat ia sedang sarapan di dekat jendela - ia memang selalu sarapan di dekat jendela - ia melihat pemandangan yang mengejutkan sekaligus menakjubkan. Pagar rumahnya lenyap! Astaganaga. Bergegas ia keluar dari rumah untuk memeriksa. Ia tertegun melihat bahwa si pencuri - kalau memang ada orang gila yang mencuri pagar - telah dengan teliti untuk tidak meninggalkan jejak maupun bekas. Tetangga-tetangga yang kebetulan lewat di depan rumahnya dan mendengarkan cerita tentang lenyapnya pagar si orang asing itu menyarankan untuk lapor polisi saja. Namun, si orang asing memutuskan untuk tidak lapor siapa-siapa, karena sebetulnya pagar itu tidak ia buat dari bahan yang istimewa sehingga dapat dijual lagi dengan harga mahal. Pagarnya tidak terbuat dari besi, yang barangkali jika dijual, si pencuri bisa mendapatkan uang untuk makan seminggu dua minggu. Pagarnya itu terbuat dari kayu dan kayunya pun ia kumpulkan dari bekas bangunan yang hampir ambruk. Hanya orang gila yang mau beli.

Sebab itu, esoknya ia bangun kembali pagarnya. Masih dengan bahan yang sama. Masih dengan bentuk yang sama. Dan masih dengan tinggi yang sama. Dan pagar yang baru ini masih mendapatkan reaksi yang sama dari para tetangganya. Reaksi heran bin tak mengerti. Si orang asing tidak peduli. Rumah itu toh rumahnya sendiri. Pagar itu pagarnya sendiri. Ia yang bikin. Ia yang mendirikan. Memangnya para tetangga itu menyumbang apa sampai-sampai ia harus peduli dengan reaksi mereka?  

Beberapa hari kemudian, peristiwa pagi itu terulang kembali. Saat ia sedang duduk untuk sarapan, dilihatnya bahwa pagarnya sudah kembali lenyap. Dan lagi-lagi seperti sebelumnya, lenyapnya juga tak berbekas. Tak ada tanda-tanda pagar itu dicuri dengan paksa. Pagar itu seperti hilang begitu saja. Orang asing itu mulai bertanya-tanya dalam hatinya apakah ada salah satu dari para tetangganya yang ingin usil dan mengerjain ia. Beberapa tetangga yang mengusulkan untuk lapor polisi kini mulai mengusulkan untuk minta bantuan orang pintar. Orang pintar disini adalah orang yang pintar menemukan barang-barang hilang dengan cara yang aneh. Bukan pintar karena di sekolah ia selalu juara atau pintar karena umur dua puluhan sudah mendapatkan gelar PhD. 

Tapi, lagi-lagi si orang asing memutuskan untuk membangun kembali pagarnya seperti semula. Masih dengan bahan yang sama. Masih dengan bentuk yang sama. Dan masih dengan tinggi yang sama. Meskipun untuk itu, ia mendapatkan tambahan reaksi dari para tetangganya. Selain aneh, ia mulai mendapatkan tambahan label 'gila'. Yang sopan biasanya cukup mengatakan: 'kurang waras'. Tapi yang terang-terangan juga tak kalah banyak. Sehingga, tak lama ia juga mulai terbiasa dibilang 'laki-laki aneh yang gila'. Sudah aneh, gila pula. Biar saja. Ia masih bisa hidup meski dibilang aneh lagi gila. Yang penting ia tahu bahwa ia tidak gila betulan.

Hingga di pagi hari yang lain, peristiwa tersebut lagi-lagi terulang. Pagarnya lenyap. Lagi. Untuk yang ketiga kalinya. Dan yang ketiga kalinya itu berhasil bikin laki-laki ini jengkel. Apa salahnya sehingga ia harus selalu kehilangan pagar? Pagar yang tak berharga pula! Pagar yang cuma terbuat dari bahan bekas pula! Pagar yang saking pendeknya, sebenarnya bisa membuat si pencuri berpikir ulang untuk mencuri isi rumahnya saja ketimbang mencuri pagarnya yang jelek itu. 

Ditanyainya para tetangga satu persatu. Pernahkah ada diantara mereka yang pernah mengalami peristiwa aneh seperti yang ia alami? Dan satu persatu pula para tetangganya menggeleng. Tak ada satu pun dari mereka yang pernah kehilangan pagar. Maka, ia memutuskan untuk mengamati pagar-pagar rumah para tetangganya. Sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Diamatinya dengan takjub, bahwa baru ia sadari, para tetangganya rupanya orang-orang kaya, sebab mereka membangun pagar dengan bahan-bahan yang mahal dan pagar itu berdiri tegak menjulang tinggi, sehingga hampir mustahil ada orang yang melompat masuk tanpa ketahuan si empunya rumah. Ada pula pagar yang dilengkapi dengan aliran listrik, sehingga bagi yang nekad masuk ke rumah tanpa diundang, akan terkena sengatan listrik yang tak main-main. Ada juga pagar yang meskipun sudah dibangun tinggi dengan ujung-ujung runcing diatasnya, masih juga dijaga anjing berwajah menyeramkan. Si orang asing ini tertegun-tegun bin terheran-heran melihat pagar-pagar rumah tetangganya. Hingga di ujung jalan, ada rumah dengan pagar yang tinggi, kuat dan selalu terkunci. Beberapa inci dari pagar yang itu, ada pagar lain yang lebih tinggi, lebih kuat dan juga terkunci. Ia makin terheran-heran. Di balik pagar itu ada rumah yang besar, mewah namun kelihatan kesepian. Salah satu tetangganya bilang, rumah itu milik salah satu orang terkaya di kota itu. Ia cuma mengangguk-angguk.

Lantas ujung matanya menemukan sesuatu di kotak sampah rumah besar yang kesepian itu. Dilihatnya sepotong kayu yang ia kenal. Sepotong kayu dengan bahan yang sama yang ia pakai untuk membangun pagar rumahnya. Dikoreknya lebih dalam kotak sampah itu, dan ia menemukan potongan-potongan kayu lainnya. Makin terheran-heranlah ia. Masakan orang yang paling kaya di kota ini yang mencuri pagar rumahnya yang murahan itu?

Tak lama sebuah mobil mewah berhenti di dekatnya. Si supir menyuruhnya masuk. Entah bagaimana ia menurut saja. Ia merasa ini ada hubungannya dengan pagar-pagarnya yang lenyap. 

Di dalam mobil itu ada seorang tua. Laki-laki dengan tongkat di tangan, yang memandanganya sedemikian rupa, namun lantas tersenyum sedih. 

Dengan wajah sayu, laki-laki tua itu minta maaf padanya. Ia mengaku pada si orang asing bahwa ia yang mencuri pagar-pagar rumahnya. Mengapa, tanya orang asing itu. 

Dan beginilah jawabnya kepada orang asing itu: "Kucuri pagar rumahmu karena aku cemburu. Aku cemburu karena kamu masih punya rasa percaya pada orang-orang yang hidup di sekelilingmu. Kamu percaya meski pagar rumahmu pendek, orang takkan datang untuk mengganggumu atau mengobrak-abrik isi rumahmu buat mencari barang berharga untuk dicuri. Coba lihat aku. Lihat para tetanggamu. Aku cemburu sekaligus marah karena tak terima masih ada orang sepertimu yang masih punya rasa percaya. Aku? Aku tak percaya pada orang lain. Aku bahkan tak percaya pada istri dan anak-anakku sendiri. Aku tak percaya pada pegawai-pegawaiku. Mereka kelihatannya saja setia padaku, tapi mereka sebenarnya setia pada uangku. Asalkan aku masih punya lembaran-lembaran uang untuk disumpalkan ke mulut mereka, mereka takkan menyentuhku. Aku tak percaya pada mereka. Tak percaya pada siapapun di dunia ini. Karena itulah kubangun pagarku tinggi-tinggi, kubuat dua kali lipat, supaya aku tetap merasa aman."

Mendengar serentetan curahan hati laki-laki tua pencuri pagar rumahnya yang baru saja ia kenal, tiba-tiba saja orang asing itu merasa menjadi manusia yang paling beruntung dan paling bahagia di muka bumi ini. Dan itu semua karena ia memiliki sesuatu yang sederhana dan barangkali tak ia sadari ia miliki sebelumnya, yaitu: rasa percaya. Kali ini diamatinya satu persatu rumah-rumah yang ia lewati melalui jendela mobil mewah milik laki-laki tua itu. Makin banyak rumah yang ia lewati, makin prihatinlah ia. Laki-laki tua tadi benar, wabah penyakit rasa percaya itu sudah menjangkit sedemikian rupa di negeri ini - setidaknya di kota tempat ia tinggal ini. Pagar-pagar yang menjulang tinggi. Orang-orang yang bergegas masuk ke rumah tanpa menyapa kanan kiri. Anak kecil yang jatuh dan tak ada yang menolong, karena mereka takut anak kecil itu hanya pura-pura jatuh dan pada akhirnya yang berniat menolong malah jadi buntung sebab barang berharganya dicuri. Ia bahkan jadi teringat liputan di sebuah stasiun televisi yang memperlihatkan para polisi dan petugas keamanan repot mengosongkan jalan demi keamanan presiden dan rombongan yang akan lewat. Apa jadinya jika presiden tak lagi percaya pada rakyatnya?

Maka dengan sendu ia putuskan untuk turun dari mobil mewah itu. Barangkali tempat ini bukan tempat yang tepat untuk orang sepertinya. Ia tak bisa hidup terus-menerus dengan rasa curiga. Ia tak bisa begitu saja membunuh rasa percaya yang ia miliki. Sama seperti pagar rumahnya yang dicuri, seperti itulah yang ia rasakan saat ini: rasa percaya yang sedikit berkurang. Dan ia tak suka rasa percayanya dicuri orang yang baru ia kenal. Ia masih ingin membangun pagarnya pendek-pendek, dengan bahan yang tak mahal dan tetap tak punya rasa curiga terhadap orang-orang yang lewat depan rumahnya.

Pagi berikutnya, para tetangga menemukan rumah orang asing itu kosong. Pagar yang baru sudah dibangun. Masih dengan bahan yang sama. Masih dengan bentuk yang sama. Masih dengan tinggi yang sama. Hanya kali ini ada papan yang bertuliskan demikian:

"Masuklah hai kamu yang kelaparan, yang kehausan, yang ingin berteduh dari cuaca tak bersahabat. Tak perlu mengetuk, masuk saja dan percayalah semuanya tersedia untuk kamu yang membutuhkan."

Sayangnya, hingga bertahun-tahun kemudian, rumah itu tetap kosong. Tak ada yang mengetuk, tak ada yang masuk. Ada yang bilang itu rumah hantu. Ada yang bilang itu jebakan teroris. Ada juga yang tak percaya semuanya tersedia untuk yang membutuhkan. Yang pasti, pagarnya tak lagi ada yang mencuri. Sampai suatu ketika papan itu akhirnya dicabut pemerintah setempat dan diganti dengan papan bertuliskan: "DISITA. MILIK NEGARA."

Saturday, 10 August 2013

Gambar diambil dari sini


Friday, August 09, 2013

tindik


Mengunjungi kawan yang baru bersalin itu terkadang menjadi dilema tersendiri untukku. Di satu sisi, aku ikut gembira, seorang lagi bayi molek lahir dan ada sepasang suami istri yang bahagia menyambut si bayi. Harapan dan jiwa baru untuk peradaban manusia. Di sisi lain, aku malah berpikir yang tidak-tidak, seperti bumi yang makin penuh dan sesak. Terutama apabila bayi itu lahir di pulau Jawa. Kebebasan memang cuma mitos, karena seandainya manusia memang makhluk bebas, maka sedari dini ia bisa menentukan ingin lahir ke bumi ini atau tidak.

Dilema yang lebih dalam lagi kurasakan apabila persalinan itu mengandung anak perempuan yang lahir. Tiba-tiba saja - entah bagaimana - aku bisa merasa kasihan pada bayi perempuan yang baru lahir. Apalagi bayi perempuan yang belum juga seminggu menghirup polusi udara itu sudah dilubangi kedua telinganya untuk digantungi sesuatu yang bernama anting-anting. Seolah-olah sebagai pertanda bagi si orang tua bahwa bayi mereka resmi menyandang jenis kelamin perempuan. Vagina sebagai penanda saja tak cukup, sebab vagina tidak diperuntukkan untuk dilihat khalayak umum. Padahal dunia perlu tahu bayi ini berjenis kelamin perempuan.

Tindik pada telinga bayi perempuan sejak lahir bagiku seperti tuntutan yang diputuskan di ruang pengadilan tanpa pembelaan. Bayangkan. Semenjak kecil, perempuan sudah dituntut untuk mengenakan anting-anting. Sesuatu yang tak diberikan pada para bayi laki-laki. Bagaimana jika kelak bayi-bayi perempuan itu seperti diriku yang menyesali kedua lubang di telingaku yang sudah bertahun-tahun tak kugantungi sesuatu? Dan juga bertanya-tanya sepertiku, mengapa untuk telingaku sendiri, aku sudah kehilangan hak untuk tidak melubanginya?

Jadi beginilah aku berpikir. Disini, di negeri tempat aku tinggal ini, dimana tindik begitu penting untuk dilakukan pada seorang bayi perempuan, seumpama hutan belantara bagi para perempuan. Kau takkan pernah merasa aman dan harus selalu waspada. Tindik adalah simbol, bahwa menjadi perempuan di negeri ini sama dengan diserbu oleh banyak kata 'seharusnya'. Perempuan seharusnya pakai rok. Perempuan seharusnya tidak duduk mengkangkang. Perempuan seharusnya berambut panjang. Anak perempuan seharusnya bermain boneka dan pada hari Kartini bersedia didandani seperti ondel-ondel, lengkap dengan gincu tebal, rambut palsu yang berat dan berjalan dengan terseok-seok karena sepatu sewaan yang tak nyaman. Perempuan seharusnya akrab dengan baju warna merah muda dan belanja di musim diskonan. Perempuan seharusnya kawin sebelum umur 30, sebab bisa diberi stempel 'tidak laku' jika lewat dari umur segitu. Perempuan seharusnya.... Dan tiba-tiba aku merasa tak rela. Tak rela membayangkan betapa panjang daftar 'seharusnya' yang akan kutulis apabila kupaksa untuk meneruskan.

Aku tak pernah suka kedua lubang di telingaku. Buatku, kedua lubang itu kesia-siaan belaka sebab aku nyaris tak pernah menggunakannya. Aku menerima dibilang makhluk aneh hanya karena aku bercerita bahwa saat umurku dua tahun, aku sudah berani bertengkar dengan ibuku perkara baju berenda yang hendak dipakaikan ke tubuhku. Oh betapa aku benci dengan baju berenda yang bisa bikin tubuhku gatal-gatal. Aku juga tak malu mengakui bahwa aku suka duduk mengkangkang tanpa bermaksud tidak sopan atau sengaja melawan aturan moral yang dibikin masyarakat untuk perempuan. Duduk mengkangkang saat berkendara bikin aku merasa aman dan duduk mengkangkang saat santai bikin aku nyaman. Bukankah cara duduk ini seperti selera makan? Jika aku suka sambel terasi, lantas apa itu dosa? Aku toh tidak merepotkan orang lain?

Diam-diam aku berharap, kelak banyak perempuan memahami bahwa sebenarnya mereka cuma punya satu aturan 'seharusnya'. Perempuan seharusnya punya hak untuk mendefinisikan sendiri hidup dan mimpi mereka, tanpa perlu diatur-atur negara dan masyarakat. Ya. Sesederhana itu.

Tapi mungkin ini hanya pikiran konyolku belaka. Barangkali juga berlebihan. Barangkali.

Friday, 9 August 2013
02:07 am

Gambar diambil dari sini

Monday, July 29, 2013

seorang laki-laki tua

Tak ada yang istimewa dari penampilan laki-laki tua yang sudah beruban itu. Yang khas barangkali adalah kekehnya yang cenderung beruntun dan senyumnya yang sering menghias di wajahnya. Itu saja. Tampan? Ia sudah cukup tua untuk dapat dikatakan tampan. Gagah? Ia juga sudah cukup berumur untuk dapat dikatakan gagah meski tak bungkuk jalannya. Tinggi? Ia tak juga tinggi. Sederhananya sederhana: lihatlah ia sekilas saja, belum tentu sosoknya tinggal dalam benakmu.

Berapa banyak orang, kau pikir, ingin menjadi seperti dia? Barangkali tak banyak. Dan barangkali hanya dapat dihitung dengan jari. Apalagi anak-anak muda jaman sekarang, yang cita-citanya tidak jauh-jauh dari orang terkenal, bintang film, fotomodel, penyanyi, anak band atau sederet profesi dengan bonus diliput media, diikuti paparazzi dan dimintain tanda tangan dan foto kemanapun mereka pergi. Atau yang agak beda sedikit, anak-anak muda yang bermimpi mengubah dunia dengan kepintaran mereka dikombinasikan dengan ambisi yang ditanamkan orang tua sejak kecil melalui sekumpulan piagam dan piala dari segala penjuru.

Dari sekian banyak anak-anak muda itu, berapa banyak yang melihat laki-laki tua sederhana tadi sebagai panutan? Entah. Yang jelas, ada yang perlu kau tahu tentang laki-laki tua tak menarik ini. Dulu tiap minggu, ia selalu menggandeng istrinya yang menderita alzheimer ke gereja untuk mengikuti kebaktian. Apabila ada acara makan-makan, ia akan mengambilkan sekaligus menyuapi istrinya dulu sebelum ia sendiri makan. Tak pernah kulihat atau kudengar ia mengeluh atau marah-marah pada istrinya. Ia pernah mengatakan pada kami, ia sudah berjanji akan terus menjaga istrinya apapun keadaannya, dan itu akan terus ia pegang. 

Menurutku, ia lebih dari seorang bintang film Hollywood. Atau penyanyi K-Pop yang digandrungi remaja masa kini. Atau bahkan presiden kita yang doyan ngomong prihatin itu. Laki-laki tua ini mengajarkanku arti cinta sejati yang dibungkus komitmen. Boleh jadi ia anonim, boleh jadi ia tak terkenal, tapi orang-orang seperti ia yang akan terus tinggal dalam hati ini. Menjadi inspirasi sekaligus teladan lebih daripada orang-orang terkenal itu.


Minggu, 28 Juli 2013
5 menit menuju 29 Juli 2013

#36harimenulisrandom - day 2




Saturday, July 27, 2013

dari pucuk daun sebuah pohon


Dari pucuk daun sebuah pohon, seekor serangga tak bernama bertengger. Ia lesu tak nafsu makan. Angin sepoi-sepoi tak lagi menghampirinya. Di bawah sana bukan lagi hamparan rumput hijau, tetapi jalanan berasap - baik kepulan asap dari kendaraan bermotor yang dipakai manusia, kepulan asap dari moncong manusia, juga kepulan debu. Tak lagi bisa ia tonton anak-anak kecil tertawa girang karena layang-layang mereka membubung tinggi di langit biru, menyapa awan-awan. Tak lagi bisa ia amati pasangan orang-orang tua berjalan-jalan sambil menghirup udara segar. Tapi ia tak mengeluh, hanya sedih. Waktunya hampir tiba.

Siang itu, beberapa petugas datang. Dan tak kurang dari sehari, pucuk daun itu terbujur di atas jalan bersemen. Terinjak kaki-kaki serampangan yang wira-wiri. Serangga tak bernama itu tak kurang pahit nasibnya. Cairan tubuhnya tertempel pada pucuk daun tempat ia tadinya bertengger. Lengket dan tak lagi bernyawa. Namun, siapa peduli pada nasib serangga tak bernama? Meskipun barangkali ia adalah saksi jujur sejarah kehidupan? Sejarah kehidupan yang seringkali diputarbalikan sedemikian rupa, sehingga terkadang tak bisa lagi diketahui mana yang benar, mana yang salah?

Benar apa kata Goenawan Mohammad, manusia terlalu sibuk dengan hal-hal besar, sehingga tak punya waktu untuk hal-hal remeh macam serangga.


Sabtu, 27 Juli 2013
6:39 


#36harimenulisrandom

Monday, February 18, 2013

seseorang yang tak ramah

Seorang ibu sedang berjalan-jalan pagi bersama anjingnya.  Setiap pagi ia selalu menyusuri jalan yang sama. Pergi dan kembali ke rumahnya. Si ibu seseorang yang ramah, karena itu selalu ia sapa orang-orang yang kebetulan berpapasan dengan dirinya.

Suatu hari, si ibu melakukan rutinitasnya seperti biasa. Salah seorang tetangga sambil mengendarai mobilnya dengan jendela terbuka, berpapasan dengannya. Seperti biasa si ibu melambaikan tangannya pada tetangga tersebut dan mulutnya siap menggerakkan senyum. Namun apa yang terjadi? Si tetangga tersenyum  pun tidak. Jangankan tersenyum, menoleh pun tidak. Wajahnya cemberut seolah-olah mengisyaratkan pada dunia bahwa ia sedang tidak ingin diganggu. Dan lewatlah si tetangga dengan mobilnya begitu saja.

Si ibu tertegun. Seumur-umur baru kali itu sikap ramahnya mendapat balasan tak menyenangkan. Ia pulang ke rumah dalam keadaan galau dan tidak tenang. Seharian ia berpikir apa salahnya sehingga ia harus mendapatkan perlakuan ramah lagi tak menyenangkan dari tetangga? Apa karena waktu itu ia tidak mengundang si tetangga ke pesta ulang tahunnya? Tapi pesta ulang tahunnya memang hanya untuk keluarga. Tak ada satu pun tetangga yang ia undang. Atau apakah anaknya bikin masalah dengan anak tetangga tersebut sehingga tetangganya jadi malas bertegur sapa dengannya? Lantas segala macam yang tak enak dan cenderung negatif berseliweran di otaknya. Membuat si ibu menghabiskan siang hingga sore hari dengan berpikir keras tentang tetangganya yang tak ramah itu.

Tak jauh dari rumah si ibu, ada rumah si tetangga tadi. Ia riang gembira karena baru mendapatkan kabar dari optik langganannya bahwa kacamatanya yang pecah tadi pagi sudah dapat diambil. Si tetangga ini, seorang perempuan muda, suntuk berat karena tak sengaja menjatuhkan kacamatanya di kamar mandi dan baru menyadari kontak lens-nya sudah tak dapat digunakan. Alhasil, ia harus berangkat kerja dengan menyetir mobil tanpa kacamata. Yang menyebabkan segala sesuatu yang di hadapannya tampak buram. Untung saja kantornya dekat dengan rumah, sehingga ia selamat sampai tujuan tanpa kacamata.

Yang si perempuan muda ini tak tahu, tetangganya – seorang ibu-ibu yang tadi pagi berpapasan dengannya tanpa si perempuan muda ini sadari sedang dihibur oleh pembantunya bahwa di dunia ini memang tak semua manusia itu ramah. Termasuk perempuan muda diatas mobil yang berpapasan dengannya pagi tadi. Yang tidak membalas sapaan ramah si ibu.
Terima saja.

Surabaya, 18 Februari 2013
3:54 pm

Monday, January 28, 2013

beranak

Alkisah di penghujung  tahun 2012, pada akhir sebuah pesta keluarga, seorang perempuan muda menunggu suaminya yang mengambil mobil sambil menggandeng anaknya yang berumur lima tahun. Tak lama kemudian, berdiri di sebelahnya seorang perempuan setengah baya. Perempuan setengah baya itu tersenyum pada perempuan muda tadi dan juga tersenyum pada anaknya. Capek dan lelah karena seharian belum sempat istirahat, perempuan muda ini tidak berminat untuk membuka percakapan dengan perempuan setengah baya tadi. Tapi memang terkadang hidup tak selalu memberikan apa yang kau inginkan. Perempuan setengah baya tadi menyapa perempuan muda itu begini: "Anaknya baru satu ya? Kok nggak nambah? Sudah besar lho anaknya." Kemudian kepada si anak kecil, perempuan setengah baya ini melanjutkan cerocosannya: "Kamu nggak pengen punya adik, Nyo?"

Lantas tanpa babibu, perempuan muda itu mengeluarkan pisau dari tasnya (entah bagaimana pisau itu ada di dalam tasnya) dan ditusukkannya pisau itu sekuat tenaga pada perempuan setengah baya yang tidak ia kenal sama sekali namun sudah sok tahu mencampuri hidupnya. Habis perkara, bukan? Bunuh mereka yang tidak bisa jaga mulut dan lancang bertanya yang bukan urusannya. Sebab ia tak habis mengerti, dari milyaran topik di seluruh dunia ini untuk membuka percakapan, termasuk topik paling biasa macam cuaca sekalipun, mengapa perempuan setengah baya itu harus memilih topik yang itu?

Tapi tidak. Bukankah hidup tak selalu memberikan apa yang kau inginkan? Sayangnya pembunuhan keji tersebut hanya ada di pikiran perempuan muda itu tadi. Yang sesungguhnya terjadi, perempuan muda itu cuma mesem sambil menggandeng anaknya menjauh dari perempuan setengah baya itu tadi. Sebab ia tahu, barangkali jika ia lebih lama berdiri di dekat perempuan tadi, apa yang ada di pikirannya bisa betulan terjadi. Dan ia tidak berminat masuk penjara hanya gara-gara perempuan setengah baya yang tidak bisa menjaga mulutnya. 

Sudah lama perempuan muda itu berpendapat bahwa beranak bukanlah perkara yang mudah. Yang nikmat dari beranak barangkali hanyalah saat-saat kau merasa membubung tinggi di awan-awan selama beberapa detik kemudian tak lama terdengar dengkuran lembut pasanganmu di sebelah. Tapi beranak? 

Perempuan muda itu memiliki pekerjaan yang bagus dan karir yang mapan. Ya. Mereka bilang, manusia macam dia biasa masuk dalam kategori berlabel: wanita karir. Ya. Wanita karir yang sering disalahpahami banyak orang, mulai dari yang tua sampai yang muda. Mulai dari yang mengaku beragama sampai yang tidak beragama. Wanita karir yang selalu dituding menyalahi kodrat dan tidak sayang pada keluarga, khususnya anak-anaknya. Yang meninggalkan anak-anaknya di tangan pembantu atau baby sitter. Yang dengan mudahnya sering dituduh tidak becus mengurus anak-anaknya sendiri. Sejatinya kata mereka yang mengaku lebih tahu, perempuan itu seharusnya seperti Ainun, istri mantan presiden Habibie yang memutuskan untuk tidak bekerja karena ia tidak mau meninggalkan anak-anaknya di tangan orang lain sehingga ia tidak bisa membentuk sendiri karakter anak-anaknya demi sebuah eksistensi dan harga diri sebagai wanita sukses. Ya. Makan saja kata-kata itu, sebab perempuan muda itu berpendapat menjadi ibu tidak lah sesempit pandangan "tugas wanita adalah di rumah dan merawat anak-anak" atau “memutuskan karir untuk membentuk karakter anak-anak di rumah”. Pandangan yang menurut perempuan muda itu sangat fungsional. Persis seperti kata Aristoteles. Peran perempuan di dunia ini fungsional, yaitu supaya laki-laki lebih bebas berekspresi dan berkarir sesuka hati. Juga seperti kata pepatah yang sering didengung-dengungkan motivator, pendeta, atau bahkan tokoh nasional bahwa dibalik laki-laki yang sukses ada perempuan yang hebat. Sungguh terdengar elok dan indah di kuping. Sehingga para perempuan tak cukup harus mendengar sekali, tapi berkali-kali. 

Tapi beranak memang tak semudah mengambil pembantu atau baby sitter setiap kali kau memproduksi bayi, kata perempuan muda tadi. Supaya kelak orang-orang dapat melihat betapa suburnya kau dan betapa kayanya suamimu sebab lima anak-anakmu masing-masing didampingi baby sitter satu persatu. Atau barangkali semudah itu sebenarnya beranak? Bayar satu, dua atau bahkan tiga pembantu atau baby sitter, sesuai dengan jumlah anakmu, sehingga kau tidak perlu repot sebab tahi dan air seni anakmu sudah ada yang mengurus?

Perempuan itu bertanya-tanya lagi dalam hatinya. Masih tidak terima dengan pepatah yang terdengar elok tadi. Jika dibalik laki-laki sukses ada perempuan yang hebat, apakah itu berarti dibalik perempuan sukses ada laki-laki hebat? Ia tidak yakin. Yang lebih masuk akal barangkali begini: dibalik perempuan sukses ada laki-laki yang cemburu. Karena dunia sepertinya sudah telanjur sepakat dengan Aristoteles, Francis Bacon atau bahkan Immanuel Kant dan sejumlah filsuf lainnya bahwa bukan kodrat perempuan untuk sukses di bidang selain rumah tangga. Ada yang salah dengan wanita karir yang sukses. Bahkan ada yang berpendapat wanita karir yang sukses takkan pernah bahagia selama ia belum mendapatkan laki-laki dimana mereka bisa mendedikasikan hidup mereka untuk bercinta dan beranak dengan.

Dan ditengah-tengah kegalauan hatinya, perempuan muda itu menatap anaknya yang sedang tidur dan suaminya yang sedang bekerja. Ia tahu, diluar sana lebih banyak perempuan tak seberuntung dirinya memiliki suami yang mau mengerti urusan rumah tangga dan ikut repot membantu menjaga anak. Yang mau mengerti bahwa keputusan beranak semata-mata bukan karena ketakutan anaknya akan kesepian tanpa kehadiran saudara kandung ataupun kekhawatiran bahwa anaknya akan kerepotan merawat kedua orang tuanya yang sudah renta kelak ketika ia dewasa. Diluar sana, lebih banyak lagi laki-laki yang merasa dirinya suami sekaligus raja yang harus selalu dituruti kemauannya. Yang berpikir bahwa pekerjaannya adalah cari duit sambil menanamkan benih pada sel telur istrinya dan pekerjaan istri adalah menunggu suami di rumah, memasak dan tentu saja beranak setelah benih berhasil tertanam. Ia bersyukur suaminya tak pernah menghakiminya karena ia tetap memilih untuk berkarir dan suaminya juga percaya bahwa kedekatan orang tua dan anak tak semata-mata hasil dari kuantitas waktu tapi lebih pada kualitas. Siapa yang bilang wanita karir tak bisa dekat dengan anak-anaknya? Siapa yang bilang wanita karir tak dapat ikut membentuk karakter anak-anaknya hanya karena delapan jam atau lebih dihabiskan untuk pekerjaan mereka di kantor? Hanya yang buta dan tak mau percaya lah yang bilang demikian.

Dipeluknya anaknya dalam tidur, dan anak itu bergumam ditelinga perempuan muda tadi: "I love you, Mom."

Monday, 28 January 2013
03:42 pm

PS : Gambar diambil dari sini