Rasa tidak berguna karena merasa tidak banyak melakukan apa-apa. Dan tiba-tiba seperti terdaftar menjadi anggota kaum rebahan.
Rasa sedih karena hampir setiap hari mendengar berita duka
dan orang sakit. Lingkarannya pun makin sempit. Kalau dulu seperti jauh di
negeri China sana, sekarang saya tahu siapa yang meninggal karena terpapar virus tersebut. Saya kenal dengan
orang yang sedang menderita karenanya. Dan istrinya terus menerus meminta pada kami, teman-temannya
untuk mendoakan suaminya.
Rasa kecewa dan frustasi karena hampir setiap hari pula saya
membaca segala aksi yang harusnya segera dilakukan oleh sistem dan pemerintahan
tidak dilakukan. Di mana nyambungnya membebaskan napi yang terlibat korupsi
dengan menyelesaikan wabah di negeri yang mereka pimpin?
Rasa marah dan gemas karena juga hampir setiap hari masih
saja ada orang-orang yang menyebarkan berita-berita hoaks yang tidak penting
dan bikin panik. Punya kuota untuk menyebarkan berita yang belum tentu benar ke
mana-mana tapi tidak punya waktu untuk mencari tahu dulu kebenarannya? Tolong
otaknya dipakai. Jangan semuanya diserahin ke Tuhan.
Rasa bersalah karena banyak orang yang terus menerus
mengatakan bahwa kita harus terus bersyukur dan selalu berpikir positif
sementara saya sulit melakukannya. Kalau saya masih bisa makan, pikirkan orang
di luar sana yang tidak bisa makan gara-gara ini. Harus bersyukur. Kalau saya
masih punya atap dan dinding di mana saya bisa berlindung di dalamnya dari
panas, hujan dan orang-orang pembawa virus, bersyukurlah. Banyak orang di luar
sana tidak punya rumah, atau bahkan punya rumah tapi harus tinggal dengan
orang-orang beracun alias toxic (ya, saya bicara tentang kamu wahai para pelaku
KDRT baik fisik maupun verbal!), bersyukurlah. Bersyukur, bersyukur, bersyukur.
Dan ketika saya memaksa untuk bersyukur dan mencoba berpikir positif, mencari-cari
sedikit hal-hal baik di antara banyak hal-hal buruk ternyata melelahkan. Ini
belum ditambah dengan tudingan-tudingan saya sebagai salah satu bagian dari privileged people community atau
komunitas orang-orang yang memiliki hak istimewa, yang bahkan mengunggah atau
memamerkan hasil masakan sendiri saja bisa merasa berdosa dan tidak sensitif.
Dan merasakan lelah pun menghasilkan rasa bersalah.
Lalu saya mencoba berhenti. Berhenti dari hiruk pikuk rasa
yang dalam beberapa minggu terakhir ini memenuhi isi kepala saya. Berhenti
sedih, berhenti kecewa dan frustasi, berhenti marah dan gemas, berhenti merasa
bersalah dan berhenti lelah. Tapi kemudian saya ingat, manusia tidak didisain
untuk untuk tidak bisa merasa. Dan merasa sama pentingnya dengan berpikir (yes,
Descartes, I’m talking to you) agar saya, kamu, kita tetap ada.
Saya tidak pandai berbicara di depan orang banyak. Saya tahu
talenta saya tidak di situ jadi jangan paksa-paksa saya untuk percaya bahwa saya
bisa kalau saya mau belajar karena saya tahu saya jauh lebih baik jika menulis.
Barangkali karena itulah tulisan ini ada: senukil campuran rasa yang mencoba
saya tutupi dan saya hindari beberapa waktu terakhir ini. Pada akhirnya saya
pelan-pelan menyadari, saya tidak sendirian, dan semua sedang berusaha untuk
tidak gila dengan caranya masing-masing. Semua sedang berusaha berjuang dengan
caranya masing-masing. And it’s okay.
Membicarakannya, menuliskannya, menceritakannya, berbagi rasa. Dan kita
akan saling menemukan, karena kita tidak sendirian menanggung ini semua.
Apa kabarmu hari ini? Rasakan saja. Saya, kamu, kita tidak
perlu merasa bersalah karena itu. Sebab bersyukur bukan sebuah keharusan,
tapi sebuah rasa tanpa paksaan.
Aku, kamu, kita tidak sendirian.
Surabaya, 5 April 2020
di tengah gempuran virus COVID-19
Gambar diambil dari sini.
2 komentar ajah:
Kadang memang menjadi rapuh adalah hal yang wajar untuk kita nikmati. Terima kasih tulisannya:)
Terima kasih tulisannya kak:)
Post a Comment