Monday, March 10, 2008

sekolah dan laskar-laskarnya

Kerja di sebuah institusi pendidikan tidak lantas menyebabkan saya dapat melihat kecintaan dan gairah belajar yang besar. Berulang kali saya harus mengelus dada, karena dari sekian ribu mahasiswa yang kuliah di tempat saya bekerja, barangkali hanya segelintir yang betul-betul punya niat untuk belajar. Padahal untuk dapat kuliah disini, diperlukan merogoh kocek yang tidak sedikit. Saya mengelus dada lebih keras lagi ketika nonton film: Denias, Senandung di Atas Awan hasil kolaborasi antara Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen dan baca buku tetralogi: Laskar Pelangi yang ditulis oleh Andrea Hirata. Sekilas film ini tidak ada hubungannya dengan buku tetralogi tersebut. Penulisnya juga lain. Tetapi film dan buku ini sama-sama bercerita tentang kisah nyata seseorang yang berjuang dalam hidupnya untuk memperoleh pendidikan yang layak.



Denias mengambil setting di Papua, sambil memamerkan keindahan alamnya yang masih hijau. Film ini bahkan berhasil mengambil gambar sebuah pelangi yang sudah tidak pernah saya nikmati lagi sejak saya tinggal di Surabaya. Bagusssss sekali. Menonton film ini membuat saya bernafas lega, karena masih ada tempat seindah itu di Indonesia ini. Sayang sekali keindahan seperti itu sering diabaikan. Orang-orang lebih memilih hijrah ke Jakarta yang katanya lebih modern. Semakin modern, semakin bagus, katanya. Lebih menjanjikan. Katanya. Lebih dekat ke pemerintah pusat, jadi kalau ada apa-apa, mau protes, gampang. Tinggal ngejogrok di depan kantor pemerintah pusat atau kantor kepresidenan sambil mengibarkan spanduk-spanduk dan berorasi. Barangkali lebih baik terabaikan seperti Papua, karena dengan terabaikan itu, Papua masih jauh dari tangan-tangan jahil yang gatal menggerus pepohonan, padang rumput, hutan menjadi gedung bertingkat, perumahan mewah, lapangan golf dan mal. Cukuplah saya membandingkan Jakarta dengan Papua. Saat ini saya mau bercerita tentang seorang DENIAS. Dia pernah menulis di sebuah buku untuk diberikan pada gurunya ketika ia mengajukan keinginannya untuk bersekolah di sekolah kota. Begini bunyinya. Nama saya Denias. Mama saya suruh saya sekolah. Karena dia bilang gunung takut pada anak sekolah. Tapi kenyataannya untuk bersekolah pun bukan sesuatu yang mudah buat dia. Sebagai seorang anak laki-laki dan tinggal bersama-sama orang-orang sekampungnya dengan adat tradisional yang kental, ayahnya berharap ia tinggal bersama ayahnya untuk membantu ayahnya bekerja. Sekolah terdekat di kampung Denias hanyalah sebuah gubuk rentan beratapkan jerami yang jika terkena angin kencang barangkali akan segera rubuh. Jarang pula seorang guru mau ditempatkan di pedalaman seperti itu. Satu-satunya guru yang mau, harus kembali ke Jawa karena istrinya sakit. Yang menggantikan guru tersebut hanyalah seorang tentara, yang tak lama kemudian harus memenuhi panggilan tugasnya di luar Papua. Tetapi keinginan Denias untuk mendapatkan pendidikan yang layak begitu besar. Gairah belajarnya luar biasa. Luar biasa besar sehingga ia memutuskan untuk lari dari rumah, ke kota yang jauhnya bermil-mil supaya bisa sekolah di sekolah yang bagus. Tetapi untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan belajar di sekolah yang bagus pun tidak mudah bagi Denias. Karena ia miskin, ia tidak punya uang untuk membayar uang sekolah. Karena miskin itu pula, seorang temannya, anak kepala suku menganggap ia tidak layak bersekolah di sekolah yang sama dengannya. Pendeknya, anak kampung ya nggak usah mimpi mau sekolah! Tapi, kerasnya niat Denias buat sekolah bikin ibu guru di sekolah kota itu terenyuh. Sayangnya tidak semua guru ikut terenyuh. Lebih banyak yang lebih suka mengikuti prosedur yang berlaku daripada bersusah-susah memperjuangkan satu anak kampung yang kepengen sekolah.



Lain lagi dengan buku tetralogi: Laskar Pelangi. Mengambil setting di Belitong, tempat terabaikan lain di Indonesia, Laskar Pelangi juga bercerita tentang anak-anak yang mau belajar dan berotak cerdas tetapi harus berjuang keras supaya bisa sekolah. Sepuluh anak, salah satunya adalah penulis sendiri, bersekolah di gubuk doyong *juga* dengan keadaan sekolah yang separuh rubuh, padahal tak jauh dari situ, berdiri sekolah mewah bertajuk SEKOLAH NEGERI. Sekolah itu tentu saja hanya buat mereka yang berduit, yang mampu menyekolahkan anak-anaknya tanpa khawatir jumlah angka yang harus dibayar. Tetapi, sekolah di bangunan yang separuh rubuh tidak lantas menyebabkan sepuluh anak laskar pelangi ini berhenti belajar. Justru sekolah yang megap-megap nafasnya itu *setiap saat khawatir akan ditutup karena kurang murid* melecut semangat anak-anak itu. Penulisnya sendiri seolah-olah ingin nimbrung beropini bahwa kecerdasan tidak hanya diukur dari kepandaian di bidang tertentu macam matematika, fisika, kimia, atau pelajaran yang butuh daya ingat dan ketelitian tinggi, tapi juga mereka yang punya jiwa seni yang cukup tinggi meskipun nilai matematikanya bobrok. Mereka yang tidak punya daya ingat cukup kuat untuk menghafal tapi mampu memimpin kelas dengan baik. Bahwa sekolah tidak hanya untuk mereka yang berduit, tapi untuk mereka yang mau belajar dan berjuang untuk kehidupan yang lebih baik.

Saya prihatin dengan anak-anak orang kaya yang kuliah di tempat saya bekerja ini. Masuk ke kelas hanya untuk duduk terkantuk-kantuk atau bergosip dengan teman-teman satu genk atau mencoret-coret kertas atau ribut sendiri. Datang terlambat, klewas-klewes. Waktu ujian, malah curi-curi kesempatan untuk kerjasama dengan teman. Kalau diberi tugas, dibuatnya asal-asalan, jiplak sana, contoh sini, yang penting selesai dan dijilid rapi, nggak peduli biarpun isinya sampah. Awas saja buat bapak dosen kalau tetap dikasi nilai jelek. Dosennya nggak masuk, malah bersukacita, seperti dapet rejeki nomplok, padahal mereka bayar untuk kuliah disini. Kalau dosennya masuk terus malah menggerutu, dosen kok rajin betul, tidak memberi kesempatan buat mahasiswa-mahasiswinya yang manis ini untuk santai sejenak, libur. Saya heran. Saya prihatin. Saya gregetan. Banyak orang diluar sana yang kepengen kuliah saja tidak mampu, cuma bisa sampai SMA. Boro-boro SMA, lebih banyak lagi yang nggak tamat SD dan SMP. Terus kalau sudah begini, salah siapa? Mau dibawa kemana generasi-generasi bangsa ini?


Belajar tidak harus di sekolah yang bagus. Dari sekolah yang hampir separuh rubuh pun bisa menghasilkan laskar-laskar penerus bangsa.


Monday, 10 March 2008
11:32 am

"You're never too old to learn..."

0 komentar ajah: