Sunday, August 16, 2009

penjajahan

"... karena penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan..."
- Preambule UUD '45 -

Ada sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik kemarin pagi: "Jika pada hari ini pemerintah Indonesia memutuskan semua pemuda angkat senjata untuk menjajah Brunei Darusallam, negara kecil tapi kaya raya itu, apa yang akan anda lakukan? Angkat senjata mendukung pemerintah atau tidak?"

Saya mungkin tidak akan mau angkat senjata demi penjajahan. Beratus-ratus tahun bangsa Indonesia hidup dalam penjajahan bangsa asing, dan beratus-ratus tahun itu pula rakyat merasakan bagaimana menderitanya hidup dibawah kungkungan pemerintah asing. Tapi yang nyata sekarang, rakyat yang merasakan menderitanya hidup dibawah kungkungan pemerintah asing sudah semakin sedikit. Dan karenanya kemerdekaan menjadi rutinitas bahkan sesuatu yang tak terlalu penting bagi orang-orang tertentu. Sudah bukan jamannya lagi upacara bendera. Kibarkan bendera di depan rumah saja, beres!

Kata siapa kita sudah merdeka dari penjajahan? Kita belum merdeka. Kita masih dijajah oleh teroris. Masih dijajah oleh kapitalisme. Masih dijajah oleh koruptor. Masih dijajah oleh yang nggak bisa disebut satu per satu disini.

Tapi saya senang, karena penjajahan sekarang lebih cerdas dan karenanya diperlukan orang-orang jajahan yang lebih cerdas. Saya senang masih ada orang-orang bersama-sama bersatu mengutuk teroris. Saya senang karena kapitalisme meskipun ada tidak menjadikan bangsa ini semakin runtuh. Dan saya senang karena koruptor-koruptor sedikit demi sedikit mulai diberantas.

Pembaca boleh sinis. Pembaca boleh mencibir. Karena tidak banyak yang memuji Indonesia. Tidak banyak yang angkat topi buat Indonesia. Lebih banyak lagi orang yang mencaci Indonesia. Mengeluh tentang Indonesia. Dan lari dari Indonesia. Saya mungkin salah satunya. Tapi saya percaya Indonesia akan jadi lebih baik dengan adanya penjajahan. Bukan penjajahan oleh bangsa lain, tapi penjajahan oleh sesuatu yang tak kasat mata. Yang barangkali lebih berbahaya daripada yang tampak.

Tak apa. Penjajahan mungkin diperlukan supaya orang-orang tetap berjuang untuk sebuah kemerdekaan. Kemerdekaan yang terus diperbarui. Supaya orang-orang tidak terlena oleh apa yang sering disebut dengan freedom. Seperti ikan cod dan ikan lele jika disatukan dalam satu tempat. Ikan cod akan terus hidup jika ikan lele terus memburunya untuk dimakan.

Selamat ulang tahun, Indonesiaku..

Monday, 17 August 2009
10:56 pm

Saturday, August 15, 2009

jatuh cinta

Sepupu saya lagi jatuh cinta.

Dan saya baru sadar bahwa orang yang sedang jatuh cinta kadang-kadang bisa menjadi egois. Jika ketemu maka pembicaraannya juga berkisar tentang dia yang lagi pedekate. Jika ngobrol juga berkisar tentang dia yang begini dan begitu. Kalau saya mau ikutan cerita, nanti balik lagi jadi tentang dia lagi.

Jatuh cinta memang bikin orang jadi egois.

Tapi jatuh cinta yang sebenar-benarnya sebenarnya juga tidak jadi egois. Aneh ya? Ia jadi egois jika tidak sedang bersama yang di-jatuh-cinta-i. Jika sedang bersama dengan yang di-jatuh-cinta-i, ia akan penuh perhatian dan kasih sayang.

Jadi memang benar bahwa jatuh cinta seperti melihat dua sisi mata uang yang berbeda tapi lekat satu dengan yang lain. Egois tapi tidak egois.

"Aku nggak percaya cinta!"
"Tapi kamu pacaran sampai empat kali! Kalau nggak pakai cinta lantas pakai apa? Pakai tai?"
"Mereka yang cinta padaku! Bukan aku yang cinta pada mereka! Aku nggak percaya cinta!"

Menyedihkan. Dunia ini penuh dengan orang yang jatuh cinta. Tidak percaya? Banyak manusia egois kan? Dan di dunia yang penuh dengan orang yang jatuh cinta ini, ada juga orang yang bilang dia nggak percaya cinta. Menyedihkan sekali. Ironis.

Ada cinta di secangkir kopi.
Ada cinta di jalan raya.
Ada cinta di kantin kampus.
Ada cinta di kantor sempit berukuran 1x5 meter.
Ada cinta di facebook.
Ada cinta di sambal terasi.
Ada cinta di sepeda motor tua yang berisik.
Ada cinta dimana-mana.

Biarpun egois. Biarpun tidak tahu diri. Biarpun kadang tak masuk akal. Biarpun bisu. Jatuh cinta tetap mengesankan.

Jatuh cintalah pada orang yang sama jika ia memang berharga bagimu untuk dijatuhi cinta. Tapi jatuh cintalah pada orang yang berbeda jika orang yang sama tak lagi dirasa berharga bagimu untuk dijatuhi cinta. Tapi berilah orang yang sama itu rasa hormat karena setidaknya ia pernah membuatmu merasakan cinta.

Saturday, 15 August 2009
12:22 am

ps: to the one I love till now, the one who still sticks with me, whatever freaky I am, whatever irrationally I am, whatever ugly I am.. I am still falling in love with you, San..


Wednesday, August 05, 2009

saya dan omong-omong kosong tentang agama

God didn't do this. We did.
-Robert Neville, I am Legend-

Dari kecil saya diajari bahwa saya tinggal di negara dengan lima agama, berbagai suku dan ras didalamnya - multikulturalis dimana perbedaan adalah sesuatu yang menyatukan dan bukannya memecahbelahkan. Tapi saat ini, saya lagi pengen ngomong tentang agama saja. Kenapa? Karena saya, kamu, kalian nggak pernah bisa milih kita lahir sebagai suku atau ras apa, sementara saya, kamu, kalian bisa memilih agama apa yang mau kita anut. Dan karena saya, kamu, kalian nggak bisa memilih suku dan ras mana, maka it will end of any points. Mau diperdebatkan sampai tua juga, suku dan ras enggak akan berubah. Dan karena saya beragama Kristen, maka saya tidak akan membahas tentang agama lain disini - it doesn't seem right kalau saya mengkritisi agama lain padahal yang sebener-benernya saya enggak betul-betul mengerti tentang agama mereka.

Pada suatu waktu di gereja, si pengkhotbah bertanya: what is religion? Apakah agama itu? Selama ini ketika orang-orang melakukan hal baik dan menurut mereka benar, mereka melandaskan perbuatan itu atas nama agama. Tapi yang menarik kuping saya adalah, menurut beliau, agama hanyalah media yang terstruktur rapi, ada aturannya dan ada pemimpinnya. That's it. Itu menurut beliau. Saya sendiri berpendapat agama adalah sebuah sistem yang mengatur cara manusia beribadah pada Tuhan mereka sekaligus wadah buat mereka untuk melakukan ibadah itu.

Karena itu saya kadang nggak habis mengerti jika kebetulan kuping saya mendengar ada orang-orang yang menjelek-jelekkan gereja lain *sori saya pakai gereja, karena disini saya beribadah di gereja bukan di tempat ibadah lain*. Misalnya: gereja itu noh kaga ada roh kudus, soalnya nggak ada yang bisa pakai bahasa roh atau eh, di gereja lu baptis percik atau baptis selam? kalau baptis percik, kaga sah tauk! baptis selam lebih alkitabiah! (kalau mau lebih alkitabiah lagi ke sungai yordan noh...) atau gereja lu rame kayak diskotik gitu, aye kaga bisa konsen beribadah dan laen-laen. Tapi yang sebenar-benarnya saya mikir, emangnya siapa dia kok berani-beraninya bilang itu jelek dan ini bagus, atau itu benar dan ini salah, atau disitu ada nggak ada roh kudus hanya karena enggak kelihatan jemaat yang berbahasa roh, atau sah enggak sah cara baptisan yang dilakukan, atau bagaimana cara memuji Tuhan. Memangnya Tuhan pernah membatasi bagaimana cara kita memujiNya? I'm under impression we can do any ways to worship Him. Dan soal cara baptisan, menurut saya, mau percik maupun selam itu enggak menjadi masalah. Kalau ketika saya dibaptis tapi hati saya sebenarnya enggak percaya sepenuhnya, baptisan yang dilakukan juga mungkin tetap nggak sah kali ya? Yang penting hati bukan sih? Karena (sekali lagi) menurut saya, baptisan di gereja itu adalah simbol, bahwa jemaat itu sudah menerima Yesus sebagai juru selamat dan siap menyatakan diri pada dunia bahwa ia adalah seorang Kristen.

Saya pernah terlibat percakapan seru dengan seorang teman. Mulainya dari saya sih. Saya bilang gini: kenapa sih cewek-cewek itu saling menggosipkan satu dengan yang lain? Maksud saya, diakui atau nggak, yang sering ngomong jelek di belakang itu cewek, dan siapa yang diomongin jelek? Ya cewek juga! Got what I mean? Terus teman saya bilang, iya juga sih, kapan hari waktu kebaktian di gerejanya terus dia lihat cewek pakai tanktop dia langsung ngebisikin pacarnya dan bilang: "Ko, liat deh, itu cewek kebaktian kok pakai tanktop?" Saya langsung bersin. Bukan karena denger dia ngomong gitu, tapi karena emang lagi mau bersin, hehehe. Enggak, tapi saya langsung meng-counter kata-katanya. Apa ada aturan kita harus pakai apa kalau mau ke gereja? Harus rapi jali? Berpakaian bagus? Bersepatu? Harus dandan? Harus tampil cantik? Tampil ganteng? Harum baunya? Enggak ada, saya kira! Lantas kenapa sih kita menghakimi atau ngomongin orang berdasarkan apa yang enggak patut menurut kita? Dulu papi saya juga pernah negur seorang anak remaja, hanya karena dia pakai sandal waktu ikut kebaktian. Kalau memang dia punyanya sandal aja gimana? Bukankah jauh lebih penting menyiapkan hati sebelum kebaktian daripada menyiapkan penampilan? Mungkin cewek ber-tanktop memang mau pamer badannya yang seksi waktu datang kebaktian *siapa tahu ada cowok sugan (super-ganteng) datang ke gereja? hehe*, tapi we never know kan? So why are we bothered with this matter?

Pernah juga dengar percakapan kayak begini nggak?
Interviewer: Denger-denger, anda sedang menggugat cerai suami anda?
A: Iya benar.
Interviewer: Kenapa ya, mbak? Apa ada sesuatu?
A: Ya ini semua mungkin takdir. Memang sudah jalan Tuhan harus melewati cobaan yang begini.

Pernah enggak? Pernah? Pernah? Lha, yang menggugat cerai itu siapa? Kok jadi nyalahin Tuhan sih? Yang serupa seperti ini nggak melulu tentang perceraian lho. Tapi banyak juga saya dengar *salah satunya terkadang keluar dari mulut saya sih*, jika terjadi sesuatu yang jelek terjadi *banjir, perang, penyakit*, banyak yang bertanya: kenapa sih Tuhan? Yah ini memang kehendak Tuhan. Waktu nonton I am Legend dan si Neville bilang: GOD DIDN'T DO THIS. WE DID. Bener banget!!! Banjir? Lah, siapa yang buang sampah sembarangan? Yang nebangin pohon seenak udel? Perang? Lah, siapa yang memulai peperangan? Siapa yang memutuskan mereka salah dan kami benar? Penyakit HIV yang belom ditemukan obatnya? Lah, siapa yang memutuskan untuk melakukan hubungan sex dengan lebih dari satu pasangan? Siapa? Dan seenaknya saja kita bilang TUHAN ADA DI BALIK SEMUA INI.

Barangkali saya sendiri juga tidak melulu benar. Saya terkadang bisa salah. Pemikiran saya bisa juga keliru. Dan saya sedang belajar untuk tidak men- judge from what it seems only. Pada kenyataannya sulit sekali untuk melakukan hal itu. Mungkin karena itu saya bilang juga, enggak mudah jadi orang Kristen. Lebih mudah melihat apa yang salah atau jelek pada diri orang lain daripada apa yang salah atau jelek dari diri sendiri. Sama dengan kata pepatah: gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak atau apa kata Alkitab:
Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? (Mat 7:3)

Sungguh. Saya
enggak bermaksud memojokkan orang Kristen atau agama Kristen. Saya juga orang Kristen dan saya bangga mengakuinya. Dan menurut saya, Kristen bukanlah sekedar agama. Kristen adalah orang-orang yang mengaku murid Kristus - yang (menurut saya, sekali lagi) seharusnya lebih peduli dengan ajaran Kristus daripada doktrin atau interpretasi yang dibuat oleh manusia - terlebih lagi daripada ngurusin bagaimana cara kita beribadah. Ngomong-ngomong soal itu, saya pernah diminta menulis di majalah gereja. Dan inilah waktu itu yang saya tulis:

PERDEBATAN
Seorang majelis gereja marah-marah. Dia baru saja bertugas di kebaktian pemuda. Namanya juga anak muda, kebaktiannya tentu ala anak muda. Alat musik lengkap, mulai dari yang berisik sampai yang mengalun. Memang jadi lebih bagus, tapi bapak majelis itu merasa tidak sepantasnya kebaktian model begitu diterapkan di gereja ini.

“Sejak kapan kita pakai musik berisik seperti itu!” katanya keras. “Macam diskotik saja! Musik itu harus yang syahdu, bikin damai di hati, bukan musik yang bikin jantungan!”


“Jadi ini cuma soal musik ya, pak?” tanya ketua komisi pemuda.


“Apa bedanya diskotik dengan gereja kalau musiknya seperti itu?!” Bapak majelis tidak peduli dengan pertanyaan si ketua komisi pemuda. Dia tetap menyerocos panjang lebar.


“Kalau masalahnya cuma musik, mungkin kita hanya belum terbiasa saja menggunakan musik macam itu di gereja ini, Pak.” Ketua komisi pemuda masih berusaha menjelaskan dengan sabar, meskipun hatinya nggondok bukan main.

“Sebagai anak muda, kalian harus belajar lebih banyak tentang tata cara dan tata laksana di gereja kita! Jangan asal coba-coba kayak begitu!”


Ketua komisi pemuda yang semakin dongkol karena diomelin panjang lebar pun membantah. “Lho, Pak, komisi dewasa kemarin juga bikin kebaktian khusus! Mereka malah undang pembicara dari Jakarta! Bukan dari gereja yang sealiran kita! Sudah begitu bayar mahal lagi! Masa pembicara kayak begitu dibayar sepuluh juta! Kan bukan pelayanan lagi itu, tapi sudah komersil!”

Salah satu pengurus komisi dewasa yang mendengar percakapan anak muda dengan majelis itu jadi ikutan marah. “Lho, kok jadi menyalahkan komisi saya? Kan tidak apa sekali-kali mengundang pembicara dari gereja yang tidak sealiran dengan gereja kita? Betul kan, bapak majelis? Bukankah waktu itu dalam rapat bapak ibu majelis sudah setuju? Hitung-hitung kita juga bisa belajar sesuatu yang beda dari biasanya.”

“Ya itu maksud saya, Pak Majelis!” Si pemuda merasa mendapat angin segar. “Kami pakai musik yang beda juga supaya dapat suasana yang beda, yang nggak membosankan. Kami anak-anak muda juga ingin berkreasi! Musik kan juga ciptaan Tuhan. Dan lagi, apa salahnya juga bertepuk tangan ketika kita menyanyi? Kan tidak menyalahi aturan manapun?”

Bapak majelis semakin marah-marah. “Tidak bisa! Kreasi macam apa kalau malah mengabaikan apa yang sudah ada dan lagu-lagu yang ditetapkan? Apalagi pakai tepuk-tepuk tangan segala! Dalam tata laksana gereja kita tidak ada itu!”

Seorang guru Sekolah Minggu yang kebetulan lewat jadi ikut-ikutan. “Tapi, Pak, kita di Sekolah Minggu juga tidak pakai lagu-lagu yang ditetapkan, Pak! Kalau pakai lagu-lagu itu, anak-anak juga jadi sulit menyanyikannya. Jadi, menurut saya, musik dan lagu itu memang bukan sesuatu yang esensial. Dan saya rasa bertepuk tangan pada waktu menyanyi juga tidak salah. ”


Bapak majelis jadi bingung. Mengapa tiba-tiba jadi dia yang disalahkan? Lalu kepada ketua komisi pemuda dia berkata: “Pokoknya tidak boleh!”


Semuanya bengong.

Malamnya ketua komisi pemuda merenung di rumah – teringat kembali perdebatannya dengan bapak majelis tadi siang. Dia sebenarnya tidak terima dengan teguran bapak majelis yang berkesan menghakimi. Bukan sekali itu pula dia terima teguran serupa. Datangnya juga dari orang-orang tertentu saja. Barangkali orang-orang yang merasa lebih mengerti tentang sistem dan aturan-aturan di gereja itu. Ayahnya, seorang jemaat biasa dalam gereja itu bertanya padanya. “Ada apa?”

Ketua komisi pemuda menceritakan kembali yang terjadi tadi siang tanpa embel-embel bahwa ia marah dan kecewa dengan bapak majelis tersebut. Ia ceritakan dengan datar tanpa berharap ayahnya dapat memberikan solusi yang tepat.


“Apa ada yang salah dengan musik dan lagu-lagu yang dimainkan seperti biasa?” tanya sang ayah.

“Tidak ada, ayah. Kami hanya ingin bikin kebaktian ala anak muda. Ingin bikin sesuatu yang tidak biasa. Apa itu salah juga?”

Sang ayah manggut-manggut tapi tidak mengatakan apa-apa.

“Kenapa ayah diam saja?”


“Ayah sedang berpikir.”


“Coba katakan apa yang sedang ayah pikirkan.”


“Ayah berpikir seandainya Tuhan ikut dalam percakapan kalian tadi siang, kira-kira apa yang akan Dia katakan?”


Ketua komisi pemuda tersentak mendengar apa yang ayahnya katakan. Sejurus kemudian dia senyum-senyum sambil menggumamkan kata terima kasih pada ayahnya.
Hari Minggu setelah kebaktian pemuda, sambil cengar-cengir ketua komisi pemuda mendekati bapak majelis. “Bagaimana, Pak kebaktian kali ini?”

Bapak majelis terlihat ragu-ragu untuk menjawab. “Yah… sudah lumayan. Mestinya tetap tidak perlu ada lagu-lagu itu. Kita kan punya lagu-lagu sendiri.”


Kali ini komentar bapak majelis tidak berhasil membuat hatinya jengkel. Ketua komisi pemuda tetap tersenyum dengan ramah, sehingga bapak majelis sendiri pun ikutan tersenyum.
“Sudahlah. Saya mengerti gairah anak muda untuk membuat sesuatu yang berbeda memang lebih besar. Kami yang sudah mulai tua ini memang lebih nyaman dengan yang sudah ada. Tapi juga merupakan tugas kami untuk memberitahu kalian supaya kalian tidak lantas melupakan apa yang sudah ada.”

Tidak jauh dari ketua pemuda berdiri, sang ayah disapa oleh salah satu pengurus komisi dewasa.
“Bapak datang KKR yang kami adakan minggu lalu kan ya, Pak?” tanya ibu muda itu dengan sopan.

Sang ayah mengangguk.


“Bagaimana pendapat bapak tentang acara KKR tersebut? Bagus? Biasa saja? Kurang bagus? Atau bagaimana? Perlukah kami adakan lagi?”

Sang ayah diam sejenak kemudian menjawab: “Tidak penting apa pendapat saya. Yang penting apa pendapat Tuhan. Betul begitu?”

Ibu muda itu tertegun.

21 Oktober 2008
2:41 pm


Thursday, 6 August 2009
11:40 am

Tuesday, August 04, 2009

my (damned) pride

Dari dulu saya suka nulis. Mulai nulis cerita sampai nulis naskah. Makanya waktu kecil doyan banget saya sama majalah Bobo, selalu rebutan sama adek kalo mau baca itu majalah. Saya pernah nulis cerita tentang lima puteri di sebuah kerajaan *lupa sudah namanya* yang ditinggal orang tuanya dan kerajaan itu hendak diambil alih oleh pengasuh mereka dan suaminya. Saya sendiri sebenarnya nggak inget kalau pernah nulis naskah kayak begituan. Tapi pernah waktu pulang ke rumah di kampung halaman, tiba-tiba nemu kertas-kertas tulisan saya itu. Saya sampai ketawa-ketawa sendiri ngebacanya. Mungkin itu sebabnya saya bikin blog. Untuk menuangkan tulisan-tulisan ga penting hasil pemikiran iseng-iseng saya. 

Tapi kali ini, ini baru pertama kalinya saya rasakan. Saya lagi benci menulis.

Beneran. Saya lagi nggak ada passion untuk nulis. Saya nggak tahu kenapa, tapi mungkin itu juga penyebab blog ini seperti dilupakan oleh penulisnya. Saya lama sekali enggak membuka blog ini. Ada beberapa teman yang menanyakan (adek saya juga) kenapa sih kok nggak pernah nge-blog lagi. Awalnya, saya pikir gara-gara facebook (salahin yang laen!! salahin!!). Tapi kemudian, saya pikir bukan juga lah. Mungkin karena kesibukan yang menyita waktu: pementasan bulan November, tugas kantor ke luar kota, kerjaan-kerjaan di kantor dan urusan rumah yang ribet juga (memang ribet kalau ga ada pembantu sih even though I hate to admit).

Beberapa waktu terakhir ini emang saya lagi dituntut nulis ini dan itu. Sebenernya enggak apa-apa sih, saya butuh juga dituntut supaya jam terbang kian tinggi *jyah gaya banget*. Tapi in the end ketika saya merasa tuntutan itu hanya untuk memenuhi ambisi pribadi seseorang, saya marah. Saya merasa dimanfaatkan. Dan saya berhenti menulis. Saya selesaikan naskah itu, tentu saja, karena saya sudah bilang ’ya’, karena saya nggak rela naskah itu jadi terbengkalai di tangan saya. Dan saya memaksa diri saya untuk menyelesaikan naskah itu bukan lagi untuk ambisi pribadi orang itu, tapi terlebih untuk Dia yang sudah kasih saya talenta untuk menulis. 

Belum juga itu naskah beres, dan hati yang campur aduk itu terbenahi, udah ada orang lain lagi yang minta tolong untuk bikin naskah. Sungguh. Saya nggak bermaksud nyombong. Saya sering dimintain tolong nulis naskah bukan karena tulisan saya bagus saya kira, tapi karena saya yang lagi available. Dan sejujur-jujurnya, saya nggak terlalu suka jika disuruh menulis naskah tapi ide dan konsep udah ada di kepala yang suruh nulis. Ya tulis aja sendiri napa?? Saya lebih enjoy kalau itu naskah saya tulis dengan ide saya sendiri, fresh from my kitchen’s brain dan itu naskah mau saya apain terserah saya. Mau saya bunuh semua karakternya juga terserah saya. Mau saya bikin seaneh mungkin endingnya juga terserah saya. Saya akan lebih puas dengan hasilnya daripada membaca naskah yang idenya dapet dari orang lain, yang alurnya juga ditentukan oleh orang lain. Jari-jari seperti ada yang ngiket. 

Lantas saya teringat sebuah kutipan: pride comes before a fall.

Yang membuat saya berpikir.. barangkali memang saya harus melewati yang seperti ini untuk pride saya yang udah terlalu tinggi. Entah sejak kapan saya berurusan dengan pride saya yang kian lama kian meninggi. Saya enggak mau diperintah. Saya enggak mau disuruh. Saya merasa bisa melakukan semuanya sendiri. Saya nggak mau orang lain ngurusin urusan pribadi saya. Saya kadang suka marah-marah karena orang-orang suka kasi comment atas apa yang saya perbuat sementara menurut saya mereka enggak tahu kenapa saya melakukan apa yang saya lakukan - dan karena mereka enggak tahu, enggak selayaknya mereka kasi comment. Padahal jika dipikir secara positif, barangkali mereka bukannya mau ikut campur urusan saya. Barangkali mereka memang tulus memberikan perhatian pada saya. Ketika saya disuruh dan diperintah, itu karena mereka nggak mau saya melakukan hal-hal yang mungkin enggak bijak keluar dari mulut saya. 

Me and my pride. Bikin saya benci melakukan sesuatu yang saya cintai. Ada yang bilang: it is better to lose your pride with someone you love rather than to lose that someone you love with your useless pride. Sempat juga meng-counter kalimat itu dengan: it is better to lose someone/something you lover rarter than to lose my pride – my pride makes me alive. Tapi pada kenyataannya, kehilangan sesuatu yang dicintai seperti kehilangan salah satu bagian tubuh. Biasanya ada, jadi nggak ada. Dan itu tidak mengenakkan sama sekali. Lebih baik sakit gigi daripada kehilangan sesuatu/seseorang yang dicintai. 

Saya lagi berjuang melawan ego saya. Saya lagi berjuang menjinakkan pride saya. Karena saya menyadari pride becomes useless when I let it control myself.

Dari situlah, saya kembali menulis ini. Berat sekali memulainya. Tapi saya percaya, sesuatu yang betul-betul saya cintai nggak akan pernah bisa saya lepaskan begitu saja.


Tuesday, 4 August 2009
2:01 pm