Friday, September 25, 2009

mulut saya, harimau saya

Ada yang bilang saya suka nyolot. Barangkali ada benarnya. Kalau boss saya bilang, saya ini enggak takut berkonfrontasi dengan siapapun (tapi kalau disuruh menghadapi gerombolan preman, saya tetap mikir). Tapi hubby saya barangkali lebih benar. Dia bilang, saya bukannya enggak takut berkonfrontasi, saya hanya tidak berpikiran panjang. Lakukan dulu, akibatnya pikirkan belakangan! Jadi dia sering sekali mengeluh tentang pemikiran pendek saya.

Saya memang kadang suka seenaknya kalau ngomong. Apalagi kalau sama orang yang baru ketemu atau tak dikenal (misalnya waktu antri di bank, di toilet umum, di depan lift, di mal, dll). Pernah nih, saya makan di mal barengan dengan dua temen cewek saya dan ibu pendeta yang lagi hamil. Nah di dekat tempat kami duduk ada dua orang pria mengepul-ngepulkan asap rokok. Hello? 1. Itu ruangan ber-AC, which means kalau ada satu orang saja merokok, maka aduhai asapnya akan segera masuk ke cuping hidung; 2. Di dekat situ ada tanda DILARANG MEROKOK. Seandainya mereka enggak bisa baca, paling enggak mereka bisa lihat tanda rokok yang dicoret. Tapi enggak. Mereka dengan santainya menikmati rokok mereka. Maka saya dekati mereka dan bilang: "Maaf, pak, ada orang hamil, bisa minta tolong dimatikan rokoknya?" Yang jelas tidak akan saya lakukan kalau mereka duduk disitu duluan dan kami duduk belakangan. Tapi kali ini, kami dulu yang duduk, mereka belakangan. Dan mereka memang segera mematikan rokok kemudian got the hell out of there, which was much relief for us. Atau misalnya waktu lagi nunggu bus transJogja di Jogjakarta *ya iyalah, masa di Surabaya?*, kemudian ketika bus berhenti ada remaja-remaja cewek yang enggak sabar menyerobot aja pengen cepetan masuk ke dalam bus, padahal yang di dalam bus belum keluar. Gimana bisa keluar kalo yang dari luar menyerbu masuk ke dalam? Maka tanpa pikir panjang, saya ngomong, "Dulukan yang dari dalam keluar dulu dong, dek!" Iya, saya tahu, saya nekad. Tindakan saya bisa bikin orang lain jengkel, tapi as I said, saya biasanya seperti itu dengan orang yang enggak saya kenal atau baru pertama kali bertemu. Karena pikir saya, ah enggak kenal ini, palingan juga enggak bakal ketemu lagi, seandainya ketemu lagi juga belum tentu ingat. Padahal barangkali nasib berencana mempertemukan kami kembali dan memaksa saya meminta bantuan orang-orang yang saya 'nyolotin' itu.

Kalau parttimer saya si Rikes bilang, masih jarang orang kayak saya ditemuin di Indonesia, karena budaya sungkan yang telanjur menjalar. Jadi saya maklum juga kalau banyak juga yang barangkali tersinggung kalau saya udah mencerocos tak karuan. Apalagi yang nyerempet-nyerempet tentang kritikan yang bisa bikin merah kuping. Kayak misal: kenapa sih harus ada fashion show buat gadis-gadis kecil? kenapa mereka diajarin melenggak-lenggok di atas panggung sambil pake baju nan seksi dan ber-make up tebal padahal dunia mereka masih jauh dari itu? Biasanya kalau saya mulai ngomong gitu, banyak yang sebel hehehe.

Tapi beneran. Saya sedang berusaha setengah hidup untuk menjaga mulut. Supaya enggak sembarangan yang keluar. Supaya enggak lebih banyak orang yang sakit hati gara-gara kata-kata yang keluar dari mulut saya. Dan apa yang sedang saya pergumulkan saat ini, betul-betul akan memaksa saya untuk menjaga mulut ini mengeluarkan apa yang ada di pikiran saya saat itu juga.

God, please...

Friday, 25 September 2009
11:16 am

Sunday, September 13, 2009

dasar ndeso!

Waktu tadi saya nonton iklannya Tukul terbaru tentang produk Air-Conditioner suatu merk, saya tertegun. Disitu ceritanya si Tukul kan kepanasan terus dia nyemplung ke bak mandi. Katanya itu cara tercepat dan terhemat untuk menghilangkan panas. Kemudian ada perempuan *yang rasanya disitu berperan sebagai istrinya - whatever* bilang: "Dasar ndeso! Pake AC *tittttt.. nyebutin merk* dong!" Kenapa saya tertegun? Karena iklan itu memberikan kesan bahwa apa yang dilakukan itu ndeso dan buruk adanya.

Saya enggak tahu darimana kata ndeso. Kalau nggak salah barangkali dari kata desa. Jadi bisa disimpulkan ndeso adalah orang-orang yang perilakunya seperti di desa. What's wrong with living in a village?? Oke, saya ngaku, mungkin saya nggak bisa hidup di desa, tanpa komputer, tanpa tivi, tanpa ponsel, tanpa listrik barangkali. DAN SAYA TIDAK BANGGA BILANG ITU SEMUA. Saya tidak bangga bilang kalau saya sangat bergantung dengan semuanya itu. Jika listrik mati maka saya mati gaya, gosh, what am I proud of that for? Saya justru salut dengan orang-orang yang bisa tinggal di desa. Yang masih bisa hidup tanpa itu semua! Mereka enggak tergantung dengan sesuatu yang bernama komputer, ponsel, maupun tivi!

Pernah saya mau ngenalin temen cewek saya ke temen cowok saya yang jomblo *gini-gini mantan makcomblang handal lho saya!!! leh jadi promosi wkwkwk*. Temen cewek ini enggak punya facebook. Sebenernya nggak masalah kan ya nggak punya facebook, tapi temen cowok saya bilang gini: "Hari gini nggak punya facebook?? Ngapain aja dia sehari-hari??" (Moral of this statement: sehari-harinya dia cuma maen facebook) Pernah juga ada satu teman yang enggak ngerti facebook itu apa, enggak tahu bagaimana penggunaan MS Word dan karenanya nggak tahu Ctrl+S itu apa, Copy-Paste itu apa, but then so what? Dia masih bisa menikmati hidup tanpa tahu facebook, tanpa tahu email, tanpa tahu MS Word and mantra-mantranya. Dia bahkan bisa pergi ke Manchester untuk mengikuti ujian musik sementara kami-kami ini yang sangat mengerti facebook, mahir menggunakan MS Word masih tinggal disini-sini aja, nggak bisa kemana-mana. Ada juga yang bilang: "Idih, hari gini henfon suamimu masih gitu-gitu aja, sekarang kan jamannya Blackberry boo." Tanpa Blackberry suami saya masih bisa hidup, masih bisa cari nafkah, masih bisa nemenin istrinya yang cantek ini hehehe, so what?

Being modern which means knowing almost everything about technology (and maybe owning Blackberry) is not a sin, but being ndeso pun ENGGAK APA-APA. Itu bukan sesuatu yang esensial untuk hidup. Buat apa punya Blackberry kalau dipakai hanya untuk update status di Facebook? Hanya untuk menjaga gengsi? Kata temen saya, gengsi itu letaknya di pantat! Buat apa punya mengejar punya IPhone kalau hanya digunakan untuk telepon dan SMS? Buat apa punya facebook kalau hanya untuk berstatus "oahmm.. ngantuk" atau "enaknya makan apa ya? bakso atau sushi?"? Untuk sebuah eksistensi? Sosialisasi? Saya punya facebook, dan saya juga lagi berjuang untuk tidak bergantung dan kecanduan pada facebook. Facebook berguna juga untuk ketemu lagi dengan teman-teman lama saya yang sudah menyebar kemana-mana. Artis-artis yang dulu sepertinya tak terjangkau juga sekarang hanya sejauh facebook, twitter dan blog. Tapi ENGGAK PUNYA pun enggak papa! Masih bisa menikmati hidup! Enggak ndeso!

Memangnya salah hidup tanpa AC? Salah hidup tanpa komputer? Salah hidup ndeso style? Karena ada orang-orang yang hidup di desa mengolah padi jadi beras itu yang bikin orang Indonesia hidup sekarang! *padahal kan makan ga harus pake nasi ya? dasar orang Indonesia hehehe*

Anyway, it's just a thought. Any opinion will be highly appreciated. Don't get me wrong, saya bukannya enggak suka modern lifestyle tapi modern lifestyle is not the only choice to live with kan? Why don't we respect each other then? Gosh...

Sunday, 13 September 2009
5:26 pm

Thursday, September 10, 2009

duit duit duit

Apabila kita bicara soal uang, maka semua orang sama agamanya. –Voltaire-

Saya lagi ribet masalah duit. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, kapan sih saya pernah nggak ribet soal duit? Kapan sih orang ga pernah ribet sama duit? Mulai dari negara sampai orang-orang yang tinggal di kampung. Semuanya pernah ribet sama duit.

Jadi kalau ada yang bilang: uang adalah akar dari segala kejahatan barangkali ada benarnya.

Saya benci duit, tapi saya butuh duit. Duit lebih sering bikin orang gelap mata dan enggak peduli. Level manusia lebih sering diukur dari banyaknya duit di kantong. Semakin tebel kantong karena duit semakin tinggi levelnya, semakin banyak orang yang menunduk-nunduk di depan dia kalo jalan karena merasa harus hormat. Padahal sebagai sesama manusia kita memang harus saling menghormati, bukan karena mereka banyak duit lalu kita menghormati mereka. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer: Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dan persoalannya. (Bumi Manusia, Pramoedya A. Toer)

Banyak duit sering sekali disamakan dengan kebahagiaan. Padahal itu adalah dua hal yang berbeda. Jika punya banyak duit tapi stress mikirin gimana supaya itu duit nambah terus, apa kemudian jadi kebahagiaan? Kebahagiaan tidak bisa diukur dengan banyaknya uang. Pernah suatu hari teman saya bilang, dia stress karena nggak bisa kasi mamanya duit banyak-banyak sementara mamanya sering cerita kalo teman-temannya (sesama mama-mama) dapet duit jutaan tiap bulannya dari anak-anaknya jadi tinggal mereka ongkang-ongkang kaki saja. Saya nggak nyalahin mamanya teman saya ini, barangkali beliau cuma sekedar cerita walaupun yang cuma sekedar cerita itu bisa bikin stress anaknya.

Sebenernya saya paling males kalau stress hanya gara-gara masalah duit. Tapi apa boleh buat. Saya sering sekali iri sama orang yang kalau mau ke luar negeri aja gampang bukan main. Pernah saya dengar ada juga orang saking kayanya (dia tinggal di Jawa) kalau lagi kepengen nasi babi guling khas Bali, ya udah dia tinggal beli tiket, terbang ke Bali untuk makan siang dengan menu nasi babi guling itu kemudian balik lagi ke Jawa. Itu nasi babi guling harganya jadi mahal banget ya? Jadi inget film Jumper. Tapi saya enggak akan iri dengan orang yang banyak duit tapi memakai duit itu untuk bikin hidup orang lain nggak tenang. Kayak yang pernah saya dengar. Hanya karena pembantunya pernah ambil duit 50 rebu, setelah dipecat dan pembantunya ini kerja lagi di sebuah pabrik, ia menyewa preman-preman itu untuk mendatangi mantan pembantunya ini dan menyeret keluar pabrik – hanya untuk memperingatkan bahwa ia pernah melakukan kesalahan. Oh well, pembantunya memang salah sih, tapi apa perlu sampe menyewa preman *percayalah sewa preman itu tak murah, sodara-sodara* untuk melakukan ancaman?

Jadi poin utama tulisan ini apa? Enggak ada. Saya memang lagi pusing aja masalah duit. Dan saya benci musti pusing kepala hanya gara-gara duit. Untuk informasi saja, saya juga paling benci nunduk-nunduk di depan orang hanya karena dia punya banyak duit. Sama bencinya dengan smoker yang ngerokok di depan tanda dilarang merokok.


Thursday, 10 September 2009
11:43 am

Tuesday, September 01, 2009

a fan

Dulu sekali saya ngefans dengan Boyzone.

Gara-garanya sepele. Sepupu saya dari luar kota datang berkunjung sambil bawa kaset *waktu itu masih kaset, boo* Boyzone album A Different Beat dan bilang kalau dia suka banget dengan Ronan Keating. Setelah saya lihat-lihat cover kaset-nya, dengerin lagu-lagunya, akhirnya saya ngefans dengan Boyzone. Tapi saya nggak suka dengan Ronan, saya lebih suka Stephen Gately, yang belakangan saya tahu bahwa dia nggak mungkin suka sama saya *gile.. siapa saya coba?*, sama nggak mungkinnya suka dengan Charlize Teron atau Beyonce Knowles, karena dia GAY. Dia lebih suka cowok. Enggak ribet, katanya. Yang terakhir saya tambahin sendiri kok, hehehe.

Setelah era Boyzone kelar dan saya nemu cowok-cowok lain yang lebih keren, beralihlah saya mengidolakan Backstreet Boys. Di mata saya, Backstreet Boys (BSB) lebih macho ketimbang Boyzone atau Westlife, karena mereka menyanyi sambil dance. Dan yang paling saya suka di BSB itu bukan Nick Carter, tapi Howard Dorough.

Karena apa? Bukan karena dia GAY *untunglah.. masa saya kedapetan ngefans sama gay mulu?* tapi karena.. karena apa ya? Apa karena dia nggak gay? Lah, kok saya jadi bingung? Pokoknya saya suka deh liat dia!

Masa-masa itu sekarang sudah berlalu. Saya enggak terlalu suka ngefans lagi. Buat saya, artis dan saya itu sama-sama manusia, kenapa saya harus ngefans sesama manusia? Apa istimewanya? Jalan hidup kita aja yang beda.

Tapi, barangkali saya harus menjilat ludah saya sendiri. Kalau ditanya, sekarang saya lagi ngefans sama siapa? Saya bakal balik tanya: artis lokal atau luar negeri nih? Karena ketika ditanya artis luar negeri.. saya rada bingung juga mau jawab. Saya suka dengan Jude Law. Saya suka dengan Charlie Cox. Saya suka dengan Johnny Depp. Tapi kalau sampai harus mengejar mereka, memimpikan ketemu mereka, enggak pernah tuh. Tapi ada satu artis yang bikin saya kepengen ketemu dia. Saya suka ini artis bukan karena dia ganteng. Bukan karena badannya bagus. Bukan karena aktingnya bagus. Bukan juga karena suaranya bagus. Tapi karena dia lucu dan dia selalu menciptakan lagu kocak yang ber-message.

Siapa dia?

Adik saya pasti udah tahu. Temen-temen deket saya juga pasti udah tahu. Karena memang cuma dengan orang ini saya bisa heboh dan lebay.

Siapa dia?

Yang ini nih..







Ada yang tahu namanya?

Yep. Dia itu Yosi dari grup Project Pop, yang lagu-lagunya kocak abis, tapi masih bermakna. Yosi ini yang paling banyak nyiptain lagu-lagunya Project Pop. Dan saya ngefans berat sama dia.

Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan ketemu sama Yosi. Gara-garanya, saya dikasi tugas untuk ngelobi dia untuk jadi salah satu bintang tamu di pementasan amal yang kami adakan bulan November nanti. Saya ketemuan sama dia di hotel *jangan ngeres lho mikirnya*. Sebelum ketemuan ini saya sempat kontak-kontakan sama dia. Awalnya saya telpon dua kali enggak diangkat-angkat. Saya pikir, wah ternyata artis ini memang susah dihubungi yah.. atau emang nggak mau angkat? Tapi baru pagi saya telpon dua kali, sorenya malah Yosi sendiri yang telpon saya. Bisa kebayang saya hebohnya kayak apa?? Dan itu beneran Yosinya sendiri lho yang telepon. Bukan manajernya, bukan istrinya *emang ada hubungan apa coba?* Terus waktu saya sms, dia juga ngebales, biarpun enggak langsung, tapi besoknya. Paling enggak waktu dia bales, dia selalu bilang: sori baru bales. Semakin termehek-mehek lah saya *mulai lebay*!

Terus waktu ketemuan di hotel... ah saya nggak mau cerita disini. Biar itu jadi kenangan pribadi saya. Biar ga ada foto dengan dia, biar ga ada saksi, biar ada yang bilang ga ada bukti kalau saya ketemu dia, saya nggak peduli. Yang penting saya pernah ketemu dia. Biarpun mulut jadi terkunci dan saya belingsatan tak karuan waktu ketemu dia, enggak tahu mau ngomong apa, padahal kata suami, saya ini cerewet bukan main. Biar pertemuan itu betul-betul saya sendiri yang merasakannya. Bukannya saya egois - tidak mau membagikan pengalaman menyenangkan antar seorang fans dan idolanya, tapi karena memang begitulah adanya.

Yosi memang pada akhirnya tidak jadi bergabung menjadi salah satu bintang tamu pada pementasan amal yang kami adakan karena pada tanggal yang sama project pop sudah ada jadwal yang tidak bisa tidak dihadiri oleh Yosi. Tapi ada satu hal lagi yang bikin saya berpikir kalau saya memang nggak salah ngefans sama dia.

Inilah ceritanya. *Dengerin ya, Dek..*

Setelah mendapat kepastian dari sang manajer bahwa pada tanggal tersebut Yosi dan project pop ada jadwal manggung dan karenanya Yosi tidak bisa hadir sebagai bintang tamu pada acara kami, saya mengirim sms pada Yosi untuk memberi informasi tersebut. Paling tidak, untuk berterima kasih karena dia sempat direpotin oleh saya dan berterima kasih karena sebenarnya dia sudah bersedia menjadi bintang tamu pada acara kami, hanya waktu yang tidak memungkinkan. Ketika saya kirim sms itu, saya SAMA SEKALI tidak berharap bakal dibalas. Hei, saya cuma memberitahu kan? Just info. Tapi ternyata dia masih membalas. Dia minta maaf karena jadwal acara kami bentrok dengan jadwal acaranya yang menyebabkan ia nggak bisa bergabung dengan kami. Dan dia berharap *yang ini saya tahu sih mungkin rada ada sedikit basa-basi hehe* bisa pelayanan bareng lain waktu.

So sweet? Atau biasa aja? Barangkali ada yang bilang saya berlebihan. Saya lebay. Biar aja. Yang penting saya menikmatinya. Dan saya menganggap itu mungkin sedikit hadiah dari Yang Di Atas buat saya.

1st of September 2009
2:42 pm