Monday, December 21, 2009

perempuan, hargailah dirimu sendiri

Oke, saya memang sudah sering mendengar hal yang baru saya dengar. Tapi itu tidak terjadi di sekitar saya. Atau paling nggak, saya sendiri dan orang-orang yang saya kenal tidak mengalaminya. Biasanya lebih sering saya baca di surat kabar atau dengar di televisi, baik melalui berita nasional maupun infotainment. Saya bicara tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT - Sumpah, ga ada hubungannya sama KD-Anang).

Perempuan ini cantik. Ia juga lulus dengna nilai diatas rata-rata. Dan pada waktu ia kuliah, ia punya pacar yang tampan. Orang tuanya juga tidak mengalami kesulitan yang berarti secara ekonomi. Maka tak heran jika semua mengira hidup perempuan ini bahagia.

Tapi ada yang orang-orang tidak tahu. Orang-orang tidak tahu bahwa sudah sejak berpacaran, kekasihnya yang tampan itu suka memukulnya jika ia marah. Yang tahu barangkali hanya sahabat dan orang tuanya. Dan mereka sudah memberikan nasehat dan saran berkali-kali untuk meninggalkan kekasihnya itu. Mereka memang pernah putus, tapi atas nama cinta mereka kembali menjalin hubungan sampai akhirnya memutuskan untuk menikah. Tidak sedikit yang urun pendapat untuk mempertimbangkan ulang keputusannya untuk menikahi lelaki itu. Tetapi, lagi-lagi atas nama cinta dan pengakuan lelaki itu untuk sebuah perubahan yang positif menyebabkan perempuan ini mengucapkan janji setia di depan altar bersama kekasihnya itu.

Beberapa tahun kemudian. Anaknya sudah dua. Yang kedua baru berumur beberapa bulan. Ia pulang ke rumah orang tuanya bersama kedua anaknya. Matanya sembab dan di beberapa tempat ada biru-biru lebam yang mencurigakan. Tapi setiap kali ditanya ia bilang ia hanya jatuh. Pernah juga ia menjawab tidak sengaja terkena seterika panas. Banyak yang tidak percaya tentu saja, tapi perempuan ini bersikeras bahwa itu semua hanya kecelakaan belaka. Beberapa waktu kemudian ia meninggal. Visum membuktikan bahwa luka-luka di sekujur tubuhnya bukan karena jatuh, bukan pula karena seterikaan panas yang 'tidak sengaja' mengenai tubuhnya. Dan saksi-saksi yang ada bilang bahwa ia disiksa oleh suaminya, tapi ia tidak punya keberanian untuk mengatakan pada orang-orang, bahkan kepada orang tuanya sendiri, karena ia hanya akan disiksa lebih keras. Lelaki tampan itu sekarang buron. Entah dimana dia sekarang.

Saya miris. Barangkali karena sebegitu dekatnya kisah itu nyata terjadi di dekat saya. Sepasang suami istri itu dulu mahasiswa di kampus tempat saya bekerja. Tapi barangkali yang menyebabkan lebih miris adalah ketidakberanian perempuan itu untuk melapor. Memang ada agama-agama yang melarang untuk bercerai, tapi untuk kasus seperti ini butuh terapi dan perhatian khusus. Jangan pernah meniru perempuan-perempuan lemah basuhan sinetron yang sering nongol di televisi. Yang bisanya hanya berdoa, menangis dan menanti uluran tangan saja - dengan dalih: pembalasan ada dalam tangan Tuhan. Berdoa tentu sah-sah saja. Oke-oke saja. Kita memang harus berdoa untuk tiap hal yang kita harapkan dan kerjakan. Tapi berdoa saja tidak cukup! Lakukan sesuatu! Perempuan diciptakan tidak dari tulang tumit laki-laki untuk diinjak-injak, tidak juga dari kepala laki-laki untuk menginjak-injak, tapi perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki karena di mata Sang Pencipta, yang menyebabkan laki-laki dan perempuan adalah SEPADAN.

Perempuan, hargailah dirimu sendiri. Setinggi apa kamu menghargai dirimu? Setinggi apa yang sudah kamu lakukan untukmu sendiri. Jangan pernah, jangan pernah biarkan siapapun termasuk suamimu, anak-anakmu, keluargamu, siapapun menginjak-injak martabatmu. Tidak menghargai keberadaanmu. Tapi juga jangan pernah kamu sendiri melecehkan dan bahkan tidak menghormati mereka.

Monday, 21 December 2009
6:34 pm

Sunday, December 20, 2009

anak-anak itu...

Saya kasihan sama anak-anak kecil jaman sekarang. Kenapa? Begini ceritanya.

Tadi siang saya pergi ke mal deket rumah saya untuk makan siang bareng hubby dan om. Kebetulan di Food Court situ lagi rame banget. Setelah dilihat-lihat ternyata ada anak yang ulang tahun di depan stand KFC. Banyak balon dan musik-nya berdentum-dentum. Agak mengganggu sih, tapi namanya juga pesta ulang tahun anak-anak ya. Kalau mau sepi mah ke kuburan aja. Setelah beberapa waktu, sambil menunggu pesanan makanan datang, kuping saya menangkap sesuatu yang ganjil (bukan, bukan lalat kok). Gendang telinga saya mendengar lagu yang lagi diputar. Dan karena cukup familiar, maka saya kaget juga kalau lagu itu sampai diputar di pesta ulang tahun anak-anak.

Begini reffrain lagunya:
jangan jangan kau menolak cintaku/ jangan jangan kau ragukan hatiku/ ku kan selalu setia menunggu/ untuk jadi pacarmu

jangan jangan kau tak kenal cintaku/ jangan jangan kau hiraukan pacarmu/ putuskanlah saja pacarmu/ lalu bilang i love you padaku

Sama sekali enggak nyangka kalau lagu macam itu diputar di dalam pesta ulang tahun anak-anak! Dalam pesta pernikahan juga enggak cocok! Saya dan hubby sampai geleng-geleng sendiri. Lebih geleng-geleng lagi, waktu acaranya sudah mulai dan pembawa acaranya, instead of ngajakin anak-anaknya nyanyi selamat ulang tahun buat yang berulang tahun, malah lebih heboh ngajakin nyanyi ini:

Lupa, lupa lupa lupa, lupa lagi syairnya
Lupa, lupa lupa lupa, lupa lagi syairnya

Ingat, ingat ingat ingat, cuma ingat kuncinya
Ingat, aku ingat ingat, cuma ingat kuncinya

C A minor D minor ke G ke C lagi

A minor D minor ke G ke C lagi

A minor D minor ke G ke C lagi

(Note: asal tahu aja, saya sampe tanya om Google dulu lirik lagu ini, karena saya SAMA SEKALI nggak hapal!)


Saya tahu sih anak-anak Indonesia sedang krisis lagu-lagu yang sesuai untuk umur mereka. Dulu jaman saya masih ada Enno Lerian, Agnes Monica, Bondan Prakoso, Melisa 'Si Tukang Bakso', Meissye, Trio Kwek-kwek, Susan dan Ria Enes. Lirik yang mereka nyanyikan juga sederhana dan memang sesuai dengan umur mereka masing-masing. Makanya saya kasihan sama anak-anak jaman sekarang. Mereka kekurangan lagu. Mereka lebih kenal dengan lagu-lagunya es teh dua gelas, eh maksudku ST 12, Wali, Kangen Band, Kuburan Band, dsb, yang kebanyakan mengumbar lagu-lagu untuk orang dewasa (orang dewasa yang lagi cinta-cintaan). Makanya nggak heran kalau anak-anak jaman sekarang fasih sekali nyanyi lagu-lagu yang biasa ditayangkan di tipi-tipi atau lagu-lagu sinetron. Karena yang ada memang cuma itu! Tapi malah mengherankan kalau ada orang tua yang ngomong dengan bangga bahwa anaknya yang baru berumur tiga tahun bisa nyanyi tema lagunya sinetron dengan lengkap. Kemana sih Papa T. Bob yang biasa ciptain lagu anak-anak itu? Seandainya anak-anak sekarang enggak krisis lagu-lagu yang sesuai dengan umur mereka, mungkin pesta ulang tahun anak itu tadi enggak perlu memutar lagu-lagunya ST 12. Tapi hanya untuk pesta ulang tahun saja lho, enggak masalah kan pakai lagu anak-anak yang sudah ada biarpun jadul? At least, itu lebih cocok untuk mereka gitu loh. Seandainya anak saya diundang ulang tahun yang lagu-lagunya pake lagu-lagu yang tadi diputar, kira-kira apa yang bakal saya lakukan ya? Diam saja sambil senyum-senyum kecut? Atau pamitan dengan dalih ada acara lain?

Let's worry about that when I have to. ;)

Sunday, 20 December 2009
5:57 pm

Tuesday, December 15, 2009

saya nggak benci dia

Saya membaca kalimat itu, tapi sama sekali tidak terpikirkan bahwa saya akan memikirkannya sampai beberapa hari ke depan.

Bunyi kalimatnya begini: "Kasihilah seterumu; Peduli amat?"

Iya. Saya = "Peduli amat?" Saya duduk di bangku belakang organ karena bertugas mengiringi dan saya duduk manis mendengarkan khotbah hari Minggu itu.

Saya tahu. Saya tahu bahwa sebagai orang Kristen saya seharusnya mengasihi orang yang membenci saya atau orang yang saya benci atau orang yang mbencekno. Saya tahu bahwa kalau saya hanya menyayangi mereka yang baik pada saya, saya sama saja dengan orang-orang 'biasa' lainnya. Saya juga tahu bahwa lebih baik saya mendoakan berkat buat orang yang saya benci, bukan malah merencanakan balas dendam. Saya juga tahu bahwa saya diperintahkan seperti itu not for my enemy's sake, tapi for my sake; supaya saya bisa tidur tenang tiap malam, supaya saya enggak melulu berpikiran jelek tentang orang-orang tertentu. Dan saya tahu bahwa mengasihi dan mendoakan orang yang saya benci itu NGGAK REALISTIS.

Saya pernah begitu percaya dengan seseorang. Saya menganggap dia paling mengerti saya. Dia sahabat saya sekaligus saudara saya biarpun enggak ada ikatan darah. Dan saya enggak pernah (ini betul, saya tidak berlebihan) ngomong jelek di depan atau di belakangnya dengan maksud serius. Tapi ada satu waktu. Satu waktu yang kalau barangkali memang sudah waktunya kamu akan beranggapan bahwa seseorang yang kamu percaya dan kamu anggap sahabat ternyata tidak sesuci dan semulia yang kamu kira. Ada satu waktu kamu berpikir bahwa kamu totally wrong tentang dia. Bahwa ternyata dia sama sekali enggak memahami kamu, dan lebih lagi kamu menemukan juga bahwa dia itu backstabber.

Dan satu waktu itu, ketika saya mengalaminya sendiri, saya harus akui. Itu adalah saat dimana saya pernah membenci orang sepanjang hidup saya. Bahkan melihat wajahnya pun saya muak. Dengar suaranya pun bisa bikin perut saya mual. Membaca statusnya di facebook pun bisa bikin saya pengen banting komputer (untung saya masih punya akal sehat). Saya pernah menangis semalaman gara-gara bertengkar dengan dia. Saya menangis karena saya membodohi diri saya sendiri karena sudah begitu percaya padanya. Seumur-umur, baru kali itu saya rasakan. Dan memang benar. Rasa benci bisa lebih kuat berkali-kali lipatnya daripada rasa-rasa lainnya. Dan rasa benci itu betul-betul seperti racun yang menggerogoti dirimu pelan-pelan.

Ada banyak hal, banyak pemikiran dan banyak ucapan yang bisa bikin saya berpikir normal kembali. Tidak. Saya masih belum bisa melupakan apa yang terjadi di malam naas itu, tapi paling tidak saya merasa saya tidak membencinya. Saya sudah bisa melihat wajahnya. Sudah bisa ngomong santai kalau ketemu dengannya. Dan sudah enggak kepengen banting komputer kalau baca statusnya di facebook. Tapi ada satu rasa baru. Saya enggak benci dia. Saya cuma kehilangan rasa percaya atas dirinya. Dan rasa ini menimbulkan konsekuensi baru: sebisa mungkin saya nggak mau melakukan hal-hal yang berhubungan dengannya. Sebisa mungkin. Bahkan jika di suatu waktu, saya harus ke toilet dan nggak ada orang lain yang barangkali bisa dititipin anak saya selain dia, saya akan memilih untuk membawa anak saya ke toilet daripada saya nitipin anak saya ke dia.

Saya nggak bisa tidur cuma semalam itu saja setelah pertengkaran dengannya. Selebihnya saya bisa tidur nyenyak. Saya bisa makan banyak. Intinya, saya nggak mengalami apa-apa saja yang biasanya dialami oleh orang yang punya musuh dan rasa benci yang berurat dan berakar. Yang saya masih nggak bisa lakukan adalah: saya nggak bisa mendoakan berkat buat dia. Ini bikin saya miris. Kenapa? Karena saya tahu apa yang baik dan benar untuk dilakukan, tapi saya nggak bisa melakukan. Saya bukan malaikat. Saya bukan orang suci.

Saya tanya sama Tuhan: Tuhan, apa kalimat itu buat saya? Kalau betul, maafin saya, Tuhan.. kasi saya sedikit waktu lagi, supaya saya bisa betul-betul lupa dan bisa ngedoain dia. Saya enggak benci dia. Saya cuma kehilangan rasa percaya.

Barangkali itu pe-er buat saya untuk sebuah resolusi di tahun yang baru.

Tuesday, 15 December 2009
1:04 pm

Thursday, December 03, 2009

tangga

Anakku suka sekali dengan tangga. Tiap kali melihat tangga ia selalu menggapai-gapai tanganku, supaya aku mau menemaninya naik, mengeksplorasi dunia apa yang ada di ujung tangga. Kadang-kadang, karena kekhawatiranku yang berlebihan, aku lebih sering melarangnya untuk naik. Ngeri rasanya membayangkan ia memanjat tangga itu dan jatuh berdebam karena langkahnya belum seteguh langkah orang dewasa. Suara tangisannya bisa bikin hatiku remuk. Apalagi suara tangisan karena menahan sakit.

Tapi aku tahu mengapa ia suka sekali dengan tangga. Setidaknya barangkali kesukaannya dia akan tangga itu bisa merupakan persoalan genetik. Aku pun dulu tergila-gila dengan tangga. Setiap kali melihat tangga aku selalu bergegas ingin memanjat. Berkali-kali ayah dan ibuku berteriak-teriak melarang, karena tidak semua tangga aman untuk anak kecil. Kadang-kadang selain tidak aman, tangga itu berada dalam area asing. Di rumah orang lain misalnya. Tidak mungkin orang tuaku membiarkanku berkeliaran menaiki anak tangga.

Jika ditanya mengapa aku tergila-gila dengan anak tangga, maka jawabku begini. Aku ingin tahu apa yang ada disana. Di ujung tangga sebelah atas maksudku. Apakah disana ada ruangan serupa dengan dibawahnya? Apakah ruangan biasa saja? Atau malah lebih menarik? Atau jangan-jangan disana ruang angkasa yang tidak bisa sembarangan manusia masuk? Seringkali bahkan aku berimajinasi bahwa ujung tangga adalah pintu menuju dunia yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Dimana lingkarannya berbentuk segitiga, sementara yang berbentuk kotak dibilang hati dan yang berbentuk hati dibilang trapesium. Bayangkan jika ujung tangga itu adalah ruang masa depan. Pasti aku akan nekad memanjat untuk barang sejenak mengintip seperti apa masa depan itu. Sampai sekarang aku masih suka dengan tangga meskipun tidak segila-gila dulu. Mengapa? Karena aku sudah tumbuh dewasa. Pikiranku jadi lebih cupet. Ada rasa takut, rasa khawatir, rasa sungkan dan rasa-rasa tak enak lainnya. Lagipula, imajinasiku akan ujung tangga sudah tak lagi menarik. Ah, imajinasi anak kecil selalu jauh lebih menarik daripada imajinasi orang dewasa. Dalam pikiran orang dewasa, tangga hanyalah alat untuk menuju lantai dua. Apa yang ada di lantai dua itu tergantung dari apa yang ada di lantai pertama. Jika lantai pertama adalah toko baju anak-anak, maka kemungkinan besar lantai kedua adalah toko mainan anak-anak. Jika lantai pertama hanya ada ruang tamu, ruang tengah dan ruang makan, maka hampir bisa dipastikan lantai kedua berisi kamar-kamar tidur. Kamar tidur orang tua dan kamar tidur anak. Tidak menarik bukan?

Buatku, penemuan tangga jauh lebih brilian daripada penemuan lift/elevator. Penemu elevator si Elis G. Otis itu pasti orang yang malas memanjat tangga, makanya berpikir daripada dia yang tersengal-sengal menggerakkan kedua kakinya untuk naik tangga satu persatu, biar tangganya saja yang bergerak. Seperti yang kadang-kadang kulihat pada mahasiswa-mahasiswa dikampusku. Naik ke lantai tiga dari lantai dua saja naik lift, padahal jalan menuju lift lebih jauh daripada jalan menuju tangga. Lagipula, masih menurutku, lift dan elevator itu hanyalah merupakan pengembangan dari ‘bentuk’ anak tangga. Tugasnya sama, dengan tujuan yang sedikit ditambahkan. Setidaknya manusia yang menggunakan lift/elevator tidak perlu ngos-ngosan untuk naik ke lantai berikutnya, juga tidak membuang terlalu banyak waktu. Tapi, tetap saja, buatku tangga masih lebih menarik dan lebih brilian. Asal tahu saja, konsep tangga diciptakan pertama kali untuk mengambil madu dari sarang lebah diatas pohon. Dan ini dilakukan oleh manusia-manusia zaman batu dulu. Kata siapa manusia modern lebih pintar dari manusia zaman dulu? Keliru. Manusia modern justru lebih manja dan tinggal menikmati dan mengembangkan hasil penemuan-penemuan manusia terdahulu.

Kenapa aku masih suka dengan tangga? Karena tangga juga mengingatkanku tentang hidup. Jangan pernah memikirkan lelahnya menaiki anak-anak tangga karena rasa lelahnya akan terbayar jika sudah sampai di ujung anak tangga. Setidaknya rasa penasaranmu terjawab. Dan tak ada yang lebih menyenangkan daripada rasa penasaran yang terjawab, meskipun jawabannya tidak kau sukai sekalipun. Apa yang akan terjadi tahun depan? Apa yang akan terjadi tahun 2012? Apa yang akan terjadi jika aku sudah tua, peyot dan tidak terlihat cantik lagi? Itu urusan nanti. Naiki saja anak tangganya satu persatu. Karena tiap anak tangga memiliki pemandangannya sendiri-sendiri, kesulitannya sendiri-sendiri. Apapun yang terjadi di akhir anak tangga, itu urusan nanti.

Gitu aja kok repot.

Thursday, 3 December 2009
3:03 pm

Tuesday, November 24, 2009

inilah sebabnya...

Jadi inilah sebabnya saya jarang nge-blog....


Sibuk..sibuk..sibuk... Menjelang pementasan hampir tiap hari ke tempat latihan. Banyak sekali yang terjadi. Bete. Senang-senang. Tegang. Stress. Beberapa hari menjelang hari H juga tiba-tiba banyak masalah, sampai kepengen menangis dan keluar kata-kata:
I know God will not give me anything I can't handle. I just wish He didn't trust me so much. Tapi bener, ini baru tiga hari setelah pementasan, dan sudah saya rasakan kangen latihan. Dulu mulai latihan bulan Juni hanya sekali seminggu, hari Kamis. Kemudian jadi dua kali seminggu: Senin dan Kamis. Kemudian jadi tiga kali seminggu: Senin, Selasa dan Kamis. Puncaknya adalah seminggu sebelum hari H, adaaaaaa aja kegiatan. Mulai dari latihan, persekutuan dan pertemuan dengan panitia. Sekarang rasanya senang sekali sudah selesai. Senang sekaligus sedih *memang manusia nggak pernah puas hehehe* karena kumpul-kumpul dengan teman-teman freak waktu latihan udah nggak ada lagi. Nggak tahu kapan bakal ada acara kayak gini lagi, tapi kayaknya sih... SOON. ;D

Tuesday, 24 November 2009
1:56 pm

PS: to all the actors and actresses, we're all in this together! God be with us!
PPS: Btw, itu pementasan dengan judul NYANYIAN ANGSA. =)

Thursday, November 19, 2009

pernikahan=ribet?

Gara-gara chattingan dengan Kristina yang sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan pesta pernikahan, saya jadi kepengen nulis lagi tentang persiapan pernikahan. Dia bilang stress bukan main mempersiapkan pernikahan karenanya menikah cukup sekali seumur hidup! Amen aja ya, Kris. Amen untuk menikah sekali seumur hidup maksudnya, hehehe.

Di Indonesia, persiapan pernikahan=ribet. Betul! Ribet bukan main! Apalagi kalau sudah bersangkutan dengan adat-istiadat ini dan itu. Dulu saya kepengen sekali pesta outdoor, ga banyak tamu (hanya keluarga dan sahabat-sahabat saja) dan pakai gaun pengantin putih selutut (enggak kayak si Carrie di Sex and The City sih, tapi paling enggak yang nggak ribet pake kurungan ayam di bawah gaun!). Tapi kenyataannya, ketika mempersiapkan itu dengan budget terbatas, dan saya dapet paketan dari bridal (gaunnya aja second hand), saya nggak menemukan gaun yang saya ingini (karena yang disediain dalam paket itu juga terbatas). Sampai saya cukup stress waktu itu dan menggerutu: "Siapa sih yang nemuin gaun pengantin ribet begini? Bikin perkara aja!" Karena itu waktu hubby nawarin foto outdoor saya bilang: ENGGAK, TERIMA KASIH. Saya nggak bisa ngebayangin pake gaun seribet itu dan jalan diluar disuruh bergaya ini dan itu pada photo session. Saya pake foto indoor karena itu juga sudah sepaket dengan yang saya pilih. Kalau enggak, mungkin saya juga malas foto indoor juga, dan pasti akan menimbulkan keresahan diantara keluarga, karena rupanya foto pre-wedding itu wajib hukumnya. Untuk keindahan. Kalau Kristina, foto untuk penunjuk jalan bagi para tamu supaya nggak tersesat ke pesta pernikahan lain.

Itu baru soal foto pre-wedding. Belum foto-foto untuk ditayangkan di LCD (biasanya foto mempelai berdua dari kecil), foto liputan, tempat pernikahan (standing or table?), hotel tempat pertemuan kedua mempelai, bridal (gaun dan tuksedo mempelai, make up mempelai perempuan, orang tua perempuan dan bridesmaid), bunga-bunga (I hate flowers, waktu saya tanya, bisa pake daun ga, petugas bridalnya cuma bengong), sovenir, undangan, mobil, kamar untuk foto-foto sebelum pertemuan kedua mempelai, entertainment-nya (full music, atau tarian atau mengundang bintang tamu plus MC terkenal dari ibukota?), untuk holy matrimony harus menghubungi romo (untuk katholik), pendeta (untuk kristen), saya enggak tahu untuk saudara yang muslim apa istilahnya imam? Belum lagi surat-surat yang mesti diurus. Saya harus pulang ke Pekalongan untuk mengurus surat n1-n3. Asli ribet! Dan itu harus disiapkan berbulan-bulan sebelum tanggal pernikahan yang sudah ditetapkan. Berbulan-bulan untuk satu acara tak lebih dari dua puluh empat jam. Tidak heran karena intensitas stress yang tinggi menyebabkan banyak pula pasangan yang putus menjelang hari pernikahan mereka. Betul. Tidak heran.

Ini sedikit berbeda dengan persiapan pernikahan di Amerika yang pernah saya dengar dari teman saya. Prinsip mereka kalau ada yang gampang kenapa harus ribet! Makanya ada juga drive-thru khusus untuk mereka yang ingin menikah super kilat, enggak perlu tetek-bengek segala macam itu! Bahkan beberapa gereja pun memberlakukan kemudahan bagi pasangan yang ingin menikah. Mereka tak lagi harus mengucapkan vow (ikrar), tapi hanya promise (janji) saja. Itu pun terjadi karena barangkali orang-orang disana malas untuk menikah, living together saja sudah nyaman kok! Mengapa harus menikah? Kalaupun pernikahan mereka masih menggunakan gereja, itu pun kebanyakan, saya dengar, karena ada pengaruh dari dongeng-dongeng live happily ever after, gedung gereja disana kan bagus-bagus. -source from Only in America written by Vincent A.-

Tapi kenyataannya saya tinggal di Indonesia, bukan di Amerika, jadi pada waktu itu saya terseret arus keribetan yang saya sebenarnya juga ogah. Kalau dipikir-pikir (dan ini bikin saya cukup sakit hati), kita yang di Indonesia ini sedikit dipermainkan oleh budaya konsumtif yang sering disodor-sodorkan di bawah hidung kita. Pergilah ke wedding expo dan kalian akan tahu maksud saya. Kita akan merasa bahwa tiba-tiba selembar undangan dengan harga lima belas ribu perak dengan desain yang cantik tiba-tiba menjadi penting. Bayangkan jika yang diundang 700 orang, maka kita harus merogoh kocek kita sejumlah IDR 10.500.000 hanya untuk undangan saja! Padahal kemana akhirnya undangan itu berakhir di tangan yang diundang? Kadang-kadang bahkan berakhir di tempat sampah. Lima belas ribu pun melayang. Buat saya lima belas ribu bisa jadi mie ayam tiga mangkuk jika beli di kantin kantor. Pergilah ke wedding expo, dan jika kita tiba-tiba merasa bahwa gaun pengantin first hand dan dibuat khusus atas permintaan kita menjadi begitu penting, tak peduli harganya, maka kita juga sudah terseret oleh poros keribetan yang mahal itu. Karena gaun itu toh hanya bisa dipakai sekali pada waktu pernikahan itu saja, tidak mungkin dipakai untuk pesta pernikahan sahabat dimana kita hadir sebagai tamu. Enggak, saya enggak sirik karena gaun saya second hand dan undangan saya murah meriah karena didesain oleh sepupu sendiri dan dicetak oleh saudara sendiri. Budget saya memang terbatas tapi saya bangga karena biaya pesta pernikahan kami sebagian besar menggunakan hasil keringat kami sendiri (terutama hasil keringat hubby yang bekerja tiap malam bikin roti di toko bakery di sebuah suburb di Victoria, Oz, luv you babe!). Bukan. Bukan juga saya iri dengan mereka yang pesta pernikahan mewah mereka dibiayain oleh orang tua, bukan! Berbahagialah mereka karena tidak perlu pusing dengan biaya! Dan karena itulah, ketika hari H, untuk menghormati keluarga, kami masih mau juga mengikuti kemauan mereka yang menurut kami memang sebaiknya dilakukan. Tapi ketika tukang potret langsung menyuruh saya dan hubby untuk membalikkan badan ketika pertemuan pertama kami di hari H (yang sedang mempersiapkan pernikahan dengan adat China pasti tahu maksud saya), maka saya bilang dengan tegas: Maaf, pak, kita punya cara lain! Enak aja, cami (calon suami) datang kita malah disuruh membelakangi, kalau yang datang orang lain gimana? Bisa salah orang dong?

Intinya sih sebenernya bukan soal keribetan persiapan pesta pernikahan yang enggak lebih dari dua puluh empat jam itu. Tapi kehidupan setelah itu. Jatuh bangunnya. Suka dukanya. Naik turunnya. Karena pernikahan bukanlah seperti dongeng Cinderella, live happily ever after kemudian the end. Kehidupan yang sesungguhnya justru baru dimulai. Saya enggak bilang gampang, karena pada kenyataannya tidak demikian. Berapa kali kami bertengkar hebat dan merasa barangkali pisah adalah hal yang terbaik? Berapa kali kami saling berdiam diri karena saling menyalahkan? Banyak kali. Enggak gampang. Dan I hate to say kalau kadang-kadang saya merasa hidup lajang jauuuuhhhhh lebih mudah daripada hidup berkeluarga.

Saya pernah mendapat kalimat bagus dari teman saya yang baru menikah: "Attack the issue, not the person." Yang sering banget memang dilupakan. Saya cenderung menyalahkan hubby kalau ada masalah, padahal lebih baik kongkalikong sama hubby untuk nyelesain masalah tersebut.

Balik ke persiapan pernikahan di Indonesia yang ribet raya ini, yang penting adalah seribet apapun persiapannya, memang harus lebih siap menghadapi yang lebih ribet setelah sehari menjadi raja dan ratu di atas singgasana. Dan yang lebih ribet itu nggak cuma berbulan-bulan, tapi seumur hidup.

Thursday, 19 November 2009
3:24 pm

PS: Untuk my friends, Kristina dan Lydia yang lagi siap-siap untuk jadi istri, a very good luck for you two!

Thursday, October 29, 2009

Nyanyian Angsa

Buat teman-teman yang ada di Surabaya...
Buat teman-teman yang pengen ikut andil untuk kasi sumbangan ke pendidikan Kristen di kota-kota kecil di Jawa Timur...
Buat teman-teman penggemar WS Rendra...
Buat teman-teman yang suka nonton teater...
Buat teman-teman yang belum punya acara pada hari Sabtu, tanggal 21 November 2009...
Buat teman-teman yang berminat...

Datang ya!
MALAM PENGGALANGAN DANA
Sabtu, 21 November 2009
pk. 19.00 WIB
"Nyanyian Angsa" karya Alm. WS Rendra
Bertempat di AUDITORIUM UK PETRA
Jl. Siwalankerto no. 121-131, Surabaya

Silahkan dilihat cuplikan videonya.



Harga Tiket:
Reguler Rp 15.000,-
VIP Rp 25.000
VVIP Rp 50.000

Jika berminat, bisa kontak saya langsung via blog ini. Thanks alot!
Atau langsung klik aja ke http://www.gods-2009.com/ untuk pembelian tiket.

Thursday, 29 November 2009
10:52 am

Tuesday, October 27, 2009

masih tentang facebook

Kadang-kadang, diantara status-status tak jelas yang berseliweran di dinding facebook saya, ada satu atau dua status yang berkesan 'ngomel' atau 'nyindir'. Yang paling baru tulisannya kira-kira begini: "Facebook ini apakah untuk ajang pertemanan atau ajang narsisme yah?" Sebelum status ini, saya sudah pernah juga baca yang rada ngomel: "Enggak ngerti kenapa sih pada nulis status-status nggak penting!" atau "Hello, guys, emang gue pikirin lu mau kentut kek, mau beol kek, perlu gitu nulis di status?" Yang tulisannya nyindir juga ada: "Kayaknya ngumpulin status-status di facebook nih bisa jadi cerita menarik!"

Jujur aja, dulu saya sempet rada kecanduan dan lumayan sering update status ga penting. Tapi dulu update status saya masih hitungan jam, bukan hitungan menit (bandingkan dengan twitter-nya para seleb yang bisa beberapa meni
t sekali nge-tweet, saya pikir mereka orang tersibuk sedunia, tapi kenyataannya, saya aja nggak bisa nge-tweet beberapa menit sekali seperti mereka). Lama kelamaan saya nggak mau merasa terlalu attach dengan facebook. Oke, saya ngaku, setiap kali duduk manis di kursi kantor, facebook adalah salah satu web yang saya buka secara rutin selain email pribadi dan email kantor saya, tapi beberapa waktu terakhir saya enggak terlalu sering update status (bener nggak? bener!).

Kemudian saya pikir-pikir (sesuai hobi saya yang suka observing people's behavior), sebenarnya menarik juga loh mengamati status-status yan
g ter-update setiap harinya. Dan setelah mengamat-amati cukup lama, saya mengkategorikan facebook's status updater menjadi seperti di bawah ini:
1. Reporter
Updater kategori ini sering menulis kayak: @Kampung Daun, makanannya enak euy atau lagi nge-gym nih, duh kapan kurusnya yah atau atau hanya baru bangun tidur, tapi masih ngantuk atau hanya sekedar @home. Makanya saya kasi nama reporter karena rata-rata statusnya melaporkan keadaan, tempat pelapor berada dan apa yang baru saja dilakukan
2.
Ecclesiastic (alias rohaniwan/rohaniwati) Updater tipe ini biasanya suka quote dari Alkitab atau nulis doa kayak: Dear God, forgive me and all my sins atau kadang-kadang juga ngutip syair lagu rohani kayak a whole new world..ehhh salah, salah itu bukan lagu rohani kan ya? Uhm, kayak S'bab Kau besar, kekuatanMu ajaib, tiada seperti Engkau... atau kadang bisa juga nulis: Tuhan tak pernah tertidur, jadi jangan pernah menyerah.
3. Gamer
Updater tipe ini biasanya suka minta-minta tolong untuk membantu dia melawan mafia dalam MAFIA WAR (game opo sih iki... sering di-invite, tapi sekali tidak tetap tidak!). Atau suka. Sekarang enggak cuma Mafia War, ada juga Vampire War, terus Castle Age (kalau ga salah) terus Pet Society terus Farmville terus Sorority Life terus Aquarium terus.. weleh banyak pokoke.

4. Quizzer
Seperti nama kategorinya, bisa ditebak bahwa updater tipe ini suka sekali ngikutin quiz yang tersedia di facebook (kadang-kadang saya juga sih hihihi, tapi biasanya quiz yang cukup menarik, kalau hanya 'Hantu apa yang ada di kamar anda?', mending saya nggak ikut deh, daripada kepikiran).
5. Hidden-message messenger

Kalau updater tipe ini biasanya nulis status untuk ditujukan ke salah satu orang aja, walaupun mungkin empat ratus friends lainnya membaca status, enggak masalah buat dia. Yang penting orang yang dimaksud juga dapet pesan tersembunyi dari dia. Updater tipe ini juga bisa saja mengungkapkan cinta pada seseorang tapi belum punya keberanian untuk mengungkapkan langsung. Contoh status: Kangen kamu
...
6. Promoter
Updater ini biasanya punya toko online jadi sering mempublikasikan 'barang-barang dagangannya'. Katanya sih, via facebook ini cukup efektif untuk meningkatkan penjualan. Statusnya tentu saja berkisar: Ada barang baru lho.. sila
hkan dilihat-lihat dulu.. (iyah, cie.. jangan kesindir loh!!! wkaakakaka)
7. Curhat Mania (maap saya ga nemu bahasa inggrisnya 'curhat', haruskah: heart devoter? i dont think so)
Biasanya statusnya berisi curhat-curhat pribadi, dan kadang-kadang nggak nyadar kalau dengan nulis status itu x friends dalam list dia akan menerima status tersebut. Jadi misal dia nulis status: aku patah hatiiii... dan jumlah temannya ada 1000, maka 1000 orang itu tahu bahwa dia sedang patah hati.

8. Questioner
Bisa dilihat dari kategorinya, updater tipe ini biasanya statusnya berkisar pertanyaan. Misalnya: ada yang tahu gempa terakhir itu berapa skala
richter? Tapi kadang-kadang juga bisa: enaknya makan siang ini makan apa ya? ada ide? atau kenapa sih semuanya terjadi padaku?? Yang terakhir ini pertanyaan retoris yang ga perlu jawaban maupun comment sebenernya, tapi karena penulis menulis di facebook maka dia juga nggak bisa ngelarang orang kasi comment di statusnya dia.
9. Quoter
Kayaknya saya cukup sering nih di tipe ini karena i love insightful quotes very much! Jadi kalau dapet quote bagus dari film or dari buku or dari email biasanya saya tulis di status. Contohnya: to be a princess you have to believe that you a
re.
10. Announcer
Maksudnya tukang kasi pengumuman. Misal mo ada acara apa gitu terus update status: Buat panitia XX, nanti jangan lupa rapat jam 7 malam yah. On time lohhh...

Sisanya? Yah... mungkin ada yang mau nambahin?

Intinya sih.. enggak masalah deh mau tulis status apa. Tapi memang harus berhati-hati dalam update status. Karena enggak jarang juga orang bisa tersinggung dengan status yang ter-update padahal yang menulis belum tentu bermaksud demikian. Apalagi yang mengandung unsur SARA. Yakin deh, diantara friendlist kita tuh kemungkinannya kecil sekali kalau satu agama semua. Juga jangan sampai de
h, update status berupa keluhan tentang bos tapi lupa kalau boss juga ada di frenlist. Kayak gini:

I hate to say but yes.. Facebook is where your privacy is not private anymore. Just be careful, guys...

Tuesday, 27 October 2009
12:20 pm


Friday, October 16, 2009

supermom?

Baru teringat bahwa sudah setahun ini saya hidup tanpa pembantu. Seumur-umur, seingat saya, dari kecil saya sangat bergantung pada pembantu. Sampai saya kuliah pun, kost tempat tinggal saya juga tantenya pakai pembantu. Saya berhenti menggantungkan diri pada pembantu setelah saya menikah. Bukan karena saya tiba-tiba kerajinan melakukan tugas-tugas rumah tangga, tapi karena pada waktu itu saya sempat diajak suami menikmati hidup ala kadarnya di Melbourne, Australia. Hidup pas-pasan tanpa pembantu. Kembali dari negeri kangguru itu, saya masih tinggal di rumah mertua, yang lagi-lagi memakai jasa pembantu. bulan keempat sesudah saya punya anak, saya mulai berburu pembantu, karena saya bekerja. Lagipula saya butuh punya pembantu sendiri kalau pindah rumah nanti. Akhirnya saya dapat pembantu yang lumayan cocok untuk saya ikutan boyong pindahan rumah, tapi ia tidak kembali setelah lebaran tahun lalu. Saya sendiri sebenarnya tidak terlalu percaya dengan pembantu atau babysitter. Maraknya berita tentang babyistter yang menganiaya anak majikan bikin saya keder untuk meninggalkan anak dan pembantu sendiri di rumah. Jadi selama bekerja, anak dan pembantu saya titipkan di rumah mertua. Waktu itu. Setelah ia tak kembali, saya tak lagi berburu pembantu baru, tapi saya berburu daycare yang bagus tapi tidak terlalu mahal. Seperti yang sudah pernah saya katakan, saya tipikal orang yang act first, think later. Maka dengan gagah berani tapi tidak sakti mandraguna, saya bilang, tak apa-apa anak di daycare selama jam kerja, tugas-tugas rumah tangga saya yang urus! Berbulan-bulan setelah keputusan itu, saya baru merasakan beratnya pekerjaan pembantu tapi terlalu gengsi mengakuinya.

Jika saya bilang mengerjakan tugas pembantu, maka saya memang mengerjakan tugas pembantu. Hubby kadang-kadang masih membantu juga, thank goodness, enggak semua pria di Indonesia mau melakukan seperti yang dia lakukan. Ada yang bilang saya hebat karena selain kerja di kantor delapan jam sehari, saya masih harus ngurus rumah dan batita. Tapi barangkali lebih banyak lagi yang bilang saya tolol: ada yang gampang kok cari yang sulit. Menyusahkan diri sendiri saja. Makanya jangan sekali-kali menganggap remeh perempuan yang memilih karir menjadi ibu rumah tangga penuh waktu, karena jam kerjanya bukan delapan jam sehari, tapi dua puluh empat jam sehari dan tidak dapat libur di akhir pekan. Barangkali seperti motto McD (eh sekarang di Indo TonyJack's ya?): 24/7.

"Ciecie itu supermom." Begitu yang pernah saya dengar seseorang berkata pada saya. Awalnya saya anggap itu pujian. Senangnya bukan main diberi titel supermom. Menjadi supermom adalah sesuatu yang membanggakan. Tapi yang sebenarnya menjadi supermom itu melelahkan. Apalagi kalau menuruti tuntutan masyarakat yang tersebar di iklan-iklan di televisi. Bayangkan saja, seorang ibu dituntut untuk memasak makanan yang enak (pakai minyak ini, bumbu penyedap itu, kecap ini, dsb), dituntut untuk kreatif bikin snack (puding ini, sirup itu, es krim ini, roti itu), dituntut untuk membuat lantai tetap bersih (karena hidup terjadi di atas lantai), dituntut untuk mencuci pakaian tapi tetap cantik (jangan lupa memutihkan baju putih yang kotor dan menghilangkan noda pada pakaian warna), dituntut juga untuk cuci piring (sekaligus mengumpulkan ibu-ibu arisan biar dapat tambahan duit belanja), dan... ah saya capek nulisnya! Intinya begitu-begitu tugas ibu semua dah! Selain itu, seolah-olah belum cukup tugas-tugas yang harus dikerjakan, ibu-ibu diatas tiga puluh dan empat puluh juga dituntut untuk menunda kerutan dan menjaga supaya tetap awet muda (biar masih bisa memasak, mencuci baju, mencuci piring, mengepel, menyeterika, dll).

Seandainya jadi supermom itu semudah iklan obat nyamuk di televisi. Nyamuk datang, ibu semprot dengan obat nyamuk merk B dengan gaya keren, dan semua berteriak menyambut SUPERMOM! Ah, indahnya dunia barangkali jika semudah itu. Tapi tidak. Tidak semudah itu. Mungkin ada juga yang akan bilang, kalau mau dapat titel supermom ya memang ada harga yang harus dibayar, ada sesuatu yang harus dilakukan, ada kecoak yang harus dibunuh (eh? ga nyambung ya? biarin! blog saya ini! hehehe)! Entahlah, saya juga nggak tahu apa yang saya lakukan sekarang ini benar adanya? Atau bodoh tak terkira-kira? Atau hanya karena idealisme belaka (makan tuh idealisme!)? Atau apa?

Yang jelas ini melelahkan. Pergi tidur dalam keadaan lelah juga tidak bikin tidur jadi nyenyak. Yang jelas ini bikin capek. Dan rasa capek sama sekali tidak membantu saya untuk lebih memperhatikan hubby dan anak saya. Terlebih, tidak menyehatkan pergaulan pula.

Apa saya terdengar mengeluh? Mungkin. Tapi tidak. Saya tidak mengeluh. Saya hanya curhat.

Friday, 16 October 2009
12:38 am

Wednesday, October 14, 2009

batik

Sebenarnya saya mau tulis ini sudah lama, sejak saya tahu kalau UNESCO menetapkan batik adalah warisan budaya bangsa yang berasal dari Indonesia. I also found this in UNESCO website.

"Indonesian Batik has a rich symbolism related to social status, local community,
nature, history and cultural heritage; provides Indonesian people with a sense of identity and continuity as an essential component of their life from birth to death; and continues to evolve without losing its traditional meaning."
Selanjutnya pada tanggal 2 Oktober, ditetapkan menjadi hari Batik - untuk merayakan keputusan dari UNESCO tersebut. Thanks to UNESCO - and our neighbour.

Pada waktu saya mendengar ini, sebenarnya saya cukup senang dan bahagia *ceilah bahasanya*. Karena akhirnya budaya kita diakui dunia luar! Akhirnya kita berhasil 'ngecup
' atau klaim duluan bahwa batik adalah budaya negara kita, bukan budaya negara tetangga yang suka ngaku-ngaku itu! Akhirnya Pekalongan rules! Karena eh karena Pekalongan adalah kota batik dan kampung halaman saya! Akhirnya!

Tapi kemudian saya berpikir ulang. Sebenarnya, diakui tidak diakui, diresmikan tidak diresmikan BATIK tetap produk Indonesia kok. Tari pendet biarpun di-klaim sama negara tetangga juga tetap produk Indonesia kok. Yang ciptain juga orang Indonesia. Warisan budaya bangsa yang berasal dari Indonesia kok. Kita gembira dan menetapkan hari batik, kemudian ribuan orang turun ke jalan dan mengenakan baju batik, pertanyaan yang menggelitiki adalah: KENAPA BARU SEKARANG? Kenapa baru sekarang sih kita bangga bahwa kita punya batik? Dulu sebelum baju batik jadi trend, jarang sekali saya lihat anak-anak muda pakai batik. Jangankan anak-anak muda, yang tua-tua *baca: dewasa* juga jarang. Paling-paling kalau cuma mau kondangan atau menghadiri pemilihan lurah atau waktu lebaran. Kenapa baru bangga sekarang setelah bertahun-tahun batik itu secara turun-temurun diproduksi oleh anak-anak bangsa Indonesia? Kenapa baru menetapkan batik day itu tahun ini? Kenapa? Enggak, saya enggak bilang kalau hari memakai batik tanggal 2 Oktober kemarin itu sia-sia dan useless. Saya pakai rok batik hari itu, dan senang sekali sejauh mata memandang terlihat orang pakai batik. Kampus tempat saya bekerja jadi lautan batik. Saya senang. Ini awal yang bagus. Tapi ya itu tadi.. kenapa baru sekarang?

Bolehlah dibilang saya skeptis, saya berpikiran negatif, tapi saya merasa euforia batik day beberapa waktu yang lalu itu euforia karena akhirnya kita berhasil mendahului negara tetangga untuk dapat 'pengakuan' dari UNESCO. Sudah cukup tari pendet, rendang, aksara jawa yang di-klaim sebagai milik mereka. Sudah cukup! Tapi kalau dipikir ulang lagi *kebanyakan mikir ulang nih*, mereka boleh meng-klaim, tapi yang sebenarnya itu semua asli produk Indonesia! Yang menciptakan juga orang Indonesia!

Saya sempat membaca blog-nya marcell siahaan (yang menikah dengan artis asal negara tetangga tersebut). Pada waktu rakyat Indonesia marah karena banyak budaya Indonesia diaku-akui sebagai budaya negara tetangga, ia sedang dalam persiapan bekerjasama dengan musisi asal negara tetangga tersebut. Entah yang dikatakannya ini wujud pembelaan diri dia atau memang pemikirannya saja, tapi dia bilang begini: Jangan seperti anak kecil yang merengek dan langsung marah-marah, banting-banting barang ketika mainannya diambil. Padahal kalau mainannya tidak disentuh, anak itu juga lupa kalau dia pernah punya mainan. Jangankan diurus, diingatpun tidak (Marcell's blog).Dan terus terang saja, maaf jika pembaca mungkin tidak setuju, tapi saya akur dengan kalimat ini. Selama ini saya melihat juga budaya Indonesia sudah tidak terlalu lagi menjadi kebanggaan. Modernity! Tarian jawa mah kuno! Musik dangdut itu musik kampung! Aksara jawa itu bahasa dan tulisan yang ribet! Bikin nilai pelajaran bahasa daerah saya dulu menghiasi rapor karena jadi satu-satunya yang warnanya merah *wah ketauannnn*. Kalau datang ke pernikahan, biasanya musiknya pakai lagu-lagu barat *saya juga lhooo hehehehe, jadi malu*, jarang saya dengar pakai musik dangdut *uhm, mungkin kecuali kalau di desa dan di kampung-kampung gitu yah*. Rata-rata kalau diusulin untuk pakai dangdut atau gending jawa suka bilang aihhh kampungan bangett sihhh *iya saya tahu enggak semua lah*, Padahal, tahu nggak, waktu saya di Melbourne dan saya sempat datang ke pernikahan teman gereja yang married sama bule setempat, mereka pakai musik dangdut untuk disko time. Tamu-tamu yang bule juga pada 'melantai' pake musik itu lho! Dan seru aja, sih. Balik ke kalimat-nya Marcell, barangkali memang perlu ada satu moment yang menyadarkan rakyat Indonesia betapa banyaknya budaya Indonesia yang sudah hampir dilupakan. Yang melulu dipikirkan sekarang malah MIYABI, PORNOGRAFI *bahkan kemben khas bali katanya pernah hendak di'musnah'kan karena bisa dianggap porno*, PORNOAKSI, SINETRON. Kenapa? Kenapa enggak menghabiskan waktu untuk memelihara budaya bangsa Indonesia yang unik dan cantik-cantik ini? Kenapa lebih ribut tentang sesuatu yang diberi nama MORAL karena helloooo... moral itu bukannya urusan pribadi masing-masing individu? Kalau memang kita bermoral, bukankah jauh lebih berguna jika menggantikan waktu untuk demo menentang kedatangan miyabi dengan terjun ke daerah gempa untuk nolongin mereka yang sedang kesusahan? Bukankah lebih bermoral jika waktu untuk demo 'bikini untuk putri indonesia di miss universe competition: perlu atau tidak?' itu diganti dengan waktu untuk memikirkan bagaimana mempopulerkan kembali budaya Indonesia dan mengembalikan nama baik Indonesia yang lekat dengan terorisme?

Saya pikir, barangkali memang rakyat Indonesia butuh tamparan dari negara tetangga *sorry about that* karena dengan begitu, kami jadi bangun dari lamunan dan mati suri serta ketidaksadaran bahwa betapa kayanya Indonesia dengan berbagai hal: perbedaan-perbedaan yang ada, suku-suku dengan keunikan masing-masing, banyak agama dan penganutnya yang saling menghormati, makanan-makanan kaya rempah, tari-tarian yang indah dan beraneka ragam. Saya akui, kadang-kadang saya tidak bangga atau mungkin bangga tapi cuek dengan budaya-budaya yang ada di Indonesia, tapi memang sudah saatnya mencintai apa yang ada di negeri sendiri *kecuali sinetron! wkakakak teteppp* , tidak melulu berkiblat pada western culture.

Anyway, I really love this song!

NEGERI IMPIAN
by: PROJECT POP (
ha!)
Alkisah sebuah negeri di jaman prasasti

Yang dulu hijau makmur gemah ripah loh jinawi

Namun tiba-tiba datang raksasa sakti

Menghancurkan negeri adu domba sana sini

Raksasa tertawa hahahahaha

Gembira karena membuat orang2 jadi sengsara
Rakyat pun menangis hihihihihi

Ksatria bertikai membela diri dan golongannya sendiri

Reff:
Ada
kah negeri impian, negeri khayalan
Negeri yang kudambakan
Disana tak ada perang dan kejahatan
Rakyatnya aman dan tentram

Menyenangkan, mengasyikkan


Nafsu serakah raksasa semakin menjadi
Tiga kali sehari dia minta upeti

Raksasa menjawab, perut buncit kayak demit

Bikin lari terbirit-birit

Adakah negeri impian, negeri khayalan

Idaman semua orang
Semua cukup sandang pangan

Bergandengan tangan

Menjunjung persaudaraan

MERDEKA!!!

Wednesday, 14 October 2009
4:01 pm

Wednesday, October 07, 2009

fame is cruel

Masih ingat nggak, waktu SD atau SMP, biasanya cewek-cewek punya buku semacam diary yang isinya biodata temen-temennya. Jadi mereka akan bertukar buku diary tersebut kemudian saling mengisi. Tulisannya berkisar antara nama, alamat, dsb bahkan kadang-kadang singkatan dari nama si pemilik buku atau si penulis. Ngerti nggak maksud saya? Misalnya: JatuhcintaEmangSipSipIndahEkali *agak ga nyambung sih, tapi ngerti kan maksudnya? masih nggak ngerti? ya sud lah...* Nah, sebagai anak yang cukup gaul, saya juga punya tuh buku diary semacam itu. Yang menarik dari buku ini yang mau saya ceritakan adalah, saya menulis cita-cita saya.

Tahu nggak apa yang saya tulis? Enggak tahu? Ya iyalah wong saya belum ngomong. Saya nulis begini: CITA-CITA: JADI PENYANYI ATAU BINTANG FILM (JANGAN KETAWA YA). Saya yakin semua teman saya atau orang yang baca tulisan itu pasti akan tersenyum simpul sampai yang ketawa terbahak-bahak. Soalnya saya sendiri waktu nemu buku diary itu bertahun-tahun kemudian juga ketawa geli. Barangkali karena waktu itu saya masih kecil, masih nggak terlalu ngerti tentang pekerjaan jadi penyanyi atau bintang film yang banyak muncul di televisi, jadi berani bermimpi menjadi orang terkenal.

Kalau ditanya, sekarang masih pengen nggak? Saya dengan pasti, sambil hormat ke bendera merah putih yang berkibar, akan berteriak lantang: TIDAK, TERIMA KASIH. Kenapa? I'll tell you.

Terus terang, saya enggak hobi nonton infotainment. Tapi saya tetap lumayan ngeh dengan info seleb-seleb, kayak: PROJECT POP NGELUARIN ALBUM BARU *saya langsung merencanakan pengeluaran untuk beli CD yang asli, ceilah* atau DEWI PERSIK AKHIRNYA DICERAI ALDI TAHER, SAIPUL JAMIL DIBERI SELAMAT *berita yang aneh* atau ANANG-KD AKHIRNYA RESMI BERCERAI *akhirnya cerai juga toh?* atau MARSHANDA MARAH-MARAH DI YOUTUBE *sayang nggak sempet nonton videonya* atau MANOHARA AKHIRNYA KEMBALI KE PELUKAN IBUNDA *duh tapi kok jadi montok gitu?* Melihat dan mendengar berita-berita ini saya jadi sadar akan satu hal: FAME IS CRUEL. Coba saja bayangkan kalau infonya kayak gini: JOY-BAND NGELUARIN ALBUM BARU *apaan tuh JOY-BAND? dari kelurahan mana?* atau SARIYEM AKHIRNYA DICERAI PAIJO, DULKARIM DIBERI SELAMAT *berita yang lebih aneh, itu pembantu rumah sebelah sama supirnya rumah depan yah?* atau RUDI-DIAN AKHIRNYA RESMI BERCERAI *rudi siapa nih? rudi wowor? dian siapa? dian nitami? bukannya dian nitami sama anjas?* atau JULEHA MARAH-MARAH DI YOUTUBE *wooo orang edan palingan, terus search video lain*.

Mungkin nggak, jadi heboh? Hal sekecil apapun yang dilakukan seleb/orang terkenal bisa jadi hal yang besar. Seakan-akan mereka bukan manusia yang nggak boleh melakukan kesalahan. Julia Perez pernah dicekal albumnya karena memberi bonus berupa kondom. Puluhan, bahkan ratusan pemilik tempat lokalisasi pun barangkali juga melakukan hal yang serupa: memberi bonus kondom pada pelanggan, tapi mereka enggak dicekal. Padahal apa bedanya? Bedanya adalah Julia Perez terkenal secara nasional *atau internasional?* sementara pemilik tempat lokalisasi itu lokal-lokal aja mah dikenalnya. Orang pacaran putus-nyambung itu biasa. Yang luar biasa adalah cerita yang dibikin infotainment untuk putus-nyambungnya Raffi Ahmad, Raditya Dika dan sederet nama seleb muda lainnya. Karena apa? Karena mereka terkenal! Dan lebih anehnya karena masyarakat juga PEDULI dengan berita putus nyambung-nya mereka. Agak tidak adil juga kalo dibilang, ITU RESIKO MEREKA JADI ARTIS. Istilah kerennya: itu HARGA YANG HARUS DIBAYAR untuk jadi artis.

Saya bilang fame is cruel itu kalau lagi kebetulan menonton infotainment dan baca kolom gosip di majalah atau surat kabar. Terus terang aja, saya belajar untuk tidak 100 persen percaya pada apa yang tertulis di media seperti surat kabar atau tabloid. Apalagi kalo tulisannya tentang berita seseorang, karena biasanya ada bias *eksplisit atau implisit* terlihat disitu. Kalau tulisannya bilang, A cerai dengan B karena ada pihak ketiga, maka saya enggak akan terlalu percaya dengan berita itu, mana tahu kan kita alasan perceraian yang sebenarnya itu kayak apa? Terus kalau ada berita kayak: Sheila Marcia sedih harus mendekam di penjara lagi, kata sedih itu belum tentu keluar dari muluh Sheila Marcia sendiri lho! Mungkin waktu itu dia lagi sakit perut, jadi bawaannya cemberut, terus langsung diinterpretasikan oleh wartawan jadi SEDIH. Cruel bukan? Makanya saya terkadang suka bertanya-tanya dengan mereka yang daftar di audisi Indonesian idol misalnya, atau daftar untuk jadi pemain sinetron, apa mereka sudah siap untuk jadi terkenal? Apa mereka sudah berpikir bahwa menjadi terkenal itu, selain ada enaknya juga ada enggak enaknya? Bahwa menjadi terkenal juga bersiap kehidupan pribadi terganggu, bahkan barangkali jika tidak kuat mental, kehidupan siap disetir oleh manajer, fans dan jadwal kegiatan yang seabreg? Sudah siap?

Maka dari itu.. Sudahlah, saya tidak lagi bermimpi jadi penyanyi atau bintang film. Bukan karena saya takut dengan popularitas/fame, tapi karena saya enggak bisa nyanyi dan enggak bisa akting di depan kamera. Saya ini pendiam dan pemalu, remember?

Cita-cita saya sekarang? Masih jadi penulis. Masih pengen tinggal di luar negeri. Masih pengen backpacking. Masih pengen ambil S2. Terkenal enggak terkenal lah....

Wednesday, 7 October 2009
11:45 am

Friday, September 25, 2009

mulut saya, harimau saya

Ada yang bilang saya suka nyolot. Barangkali ada benarnya. Kalau boss saya bilang, saya ini enggak takut berkonfrontasi dengan siapapun (tapi kalau disuruh menghadapi gerombolan preman, saya tetap mikir). Tapi hubby saya barangkali lebih benar. Dia bilang, saya bukannya enggak takut berkonfrontasi, saya hanya tidak berpikiran panjang. Lakukan dulu, akibatnya pikirkan belakangan! Jadi dia sering sekali mengeluh tentang pemikiran pendek saya.

Saya memang kadang suka seenaknya kalau ngomong. Apalagi kalau sama orang yang baru ketemu atau tak dikenal (misalnya waktu antri di bank, di toilet umum, di depan lift, di mal, dll). Pernah nih, saya makan di mal barengan dengan dua temen cewek saya dan ibu pendeta yang lagi hamil. Nah di dekat tempat kami duduk ada dua orang pria mengepul-ngepulkan asap rokok. Hello? 1. Itu ruangan ber-AC, which means kalau ada satu orang saja merokok, maka aduhai asapnya akan segera masuk ke cuping hidung; 2. Di dekat situ ada tanda DILARANG MEROKOK. Seandainya mereka enggak bisa baca, paling enggak mereka bisa lihat tanda rokok yang dicoret. Tapi enggak. Mereka dengan santainya menikmati rokok mereka. Maka saya dekati mereka dan bilang: "Maaf, pak, ada orang hamil, bisa minta tolong dimatikan rokoknya?" Yang jelas tidak akan saya lakukan kalau mereka duduk disitu duluan dan kami duduk belakangan. Tapi kali ini, kami dulu yang duduk, mereka belakangan. Dan mereka memang segera mematikan rokok kemudian got the hell out of there, which was much relief for us. Atau misalnya waktu lagi nunggu bus transJogja di Jogjakarta *ya iyalah, masa di Surabaya?*, kemudian ketika bus berhenti ada remaja-remaja cewek yang enggak sabar menyerobot aja pengen cepetan masuk ke dalam bus, padahal yang di dalam bus belum keluar. Gimana bisa keluar kalo yang dari luar menyerbu masuk ke dalam? Maka tanpa pikir panjang, saya ngomong, "Dulukan yang dari dalam keluar dulu dong, dek!" Iya, saya tahu, saya nekad. Tindakan saya bisa bikin orang lain jengkel, tapi as I said, saya biasanya seperti itu dengan orang yang enggak saya kenal atau baru pertama kali bertemu. Karena pikir saya, ah enggak kenal ini, palingan juga enggak bakal ketemu lagi, seandainya ketemu lagi juga belum tentu ingat. Padahal barangkali nasib berencana mempertemukan kami kembali dan memaksa saya meminta bantuan orang-orang yang saya 'nyolotin' itu.

Kalau parttimer saya si Rikes bilang, masih jarang orang kayak saya ditemuin di Indonesia, karena budaya sungkan yang telanjur menjalar. Jadi saya maklum juga kalau banyak juga yang barangkali tersinggung kalau saya udah mencerocos tak karuan. Apalagi yang nyerempet-nyerempet tentang kritikan yang bisa bikin merah kuping. Kayak misal: kenapa sih harus ada fashion show buat gadis-gadis kecil? kenapa mereka diajarin melenggak-lenggok di atas panggung sambil pake baju nan seksi dan ber-make up tebal padahal dunia mereka masih jauh dari itu? Biasanya kalau saya mulai ngomong gitu, banyak yang sebel hehehe.

Tapi beneran. Saya sedang berusaha setengah hidup untuk menjaga mulut. Supaya enggak sembarangan yang keluar. Supaya enggak lebih banyak orang yang sakit hati gara-gara kata-kata yang keluar dari mulut saya. Dan apa yang sedang saya pergumulkan saat ini, betul-betul akan memaksa saya untuk menjaga mulut ini mengeluarkan apa yang ada di pikiran saya saat itu juga.

God, please...

Friday, 25 September 2009
11:16 am

Sunday, September 13, 2009

dasar ndeso!

Waktu tadi saya nonton iklannya Tukul terbaru tentang produk Air-Conditioner suatu merk, saya tertegun. Disitu ceritanya si Tukul kan kepanasan terus dia nyemplung ke bak mandi. Katanya itu cara tercepat dan terhemat untuk menghilangkan panas. Kemudian ada perempuan *yang rasanya disitu berperan sebagai istrinya - whatever* bilang: "Dasar ndeso! Pake AC *tittttt.. nyebutin merk* dong!" Kenapa saya tertegun? Karena iklan itu memberikan kesan bahwa apa yang dilakukan itu ndeso dan buruk adanya.

Saya enggak tahu darimana kata ndeso. Kalau nggak salah barangkali dari kata desa. Jadi bisa disimpulkan ndeso adalah orang-orang yang perilakunya seperti di desa. What's wrong with living in a village?? Oke, saya ngaku, mungkin saya nggak bisa hidup di desa, tanpa komputer, tanpa tivi, tanpa ponsel, tanpa listrik barangkali. DAN SAYA TIDAK BANGGA BILANG ITU SEMUA. Saya tidak bangga bilang kalau saya sangat bergantung dengan semuanya itu. Jika listrik mati maka saya mati gaya, gosh, what am I proud of that for? Saya justru salut dengan orang-orang yang bisa tinggal di desa. Yang masih bisa hidup tanpa itu semua! Mereka enggak tergantung dengan sesuatu yang bernama komputer, ponsel, maupun tivi!

Pernah saya mau ngenalin temen cewek saya ke temen cowok saya yang jomblo *gini-gini mantan makcomblang handal lho saya!!! leh jadi promosi wkwkwk*. Temen cewek ini enggak punya facebook. Sebenernya nggak masalah kan ya nggak punya facebook, tapi temen cowok saya bilang gini: "Hari gini nggak punya facebook?? Ngapain aja dia sehari-hari??" (Moral of this statement: sehari-harinya dia cuma maen facebook) Pernah juga ada satu teman yang enggak ngerti facebook itu apa, enggak tahu bagaimana penggunaan MS Word dan karenanya nggak tahu Ctrl+S itu apa, Copy-Paste itu apa, but then so what? Dia masih bisa menikmati hidup tanpa tahu facebook, tanpa tahu email, tanpa tahu MS Word and mantra-mantranya. Dia bahkan bisa pergi ke Manchester untuk mengikuti ujian musik sementara kami-kami ini yang sangat mengerti facebook, mahir menggunakan MS Word masih tinggal disini-sini aja, nggak bisa kemana-mana. Ada juga yang bilang: "Idih, hari gini henfon suamimu masih gitu-gitu aja, sekarang kan jamannya Blackberry boo." Tanpa Blackberry suami saya masih bisa hidup, masih bisa cari nafkah, masih bisa nemenin istrinya yang cantek ini hehehe, so what?

Being modern which means knowing almost everything about technology (and maybe owning Blackberry) is not a sin, but being ndeso pun ENGGAK APA-APA. Itu bukan sesuatu yang esensial untuk hidup. Buat apa punya Blackberry kalau dipakai hanya untuk update status di Facebook? Hanya untuk menjaga gengsi? Kata temen saya, gengsi itu letaknya di pantat! Buat apa punya mengejar punya IPhone kalau hanya digunakan untuk telepon dan SMS? Buat apa punya facebook kalau hanya untuk berstatus "oahmm.. ngantuk" atau "enaknya makan apa ya? bakso atau sushi?"? Untuk sebuah eksistensi? Sosialisasi? Saya punya facebook, dan saya juga lagi berjuang untuk tidak bergantung dan kecanduan pada facebook. Facebook berguna juga untuk ketemu lagi dengan teman-teman lama saya yang sudah menyebar kemana-mana. Artis-artis yang dulu sepertinya tak terjangkau juga sekarang hanya sejauh facebook, twitter dan blog. Tapi ENGGAK PUNYA pun enggak papa! Masih bisa menikmati hidup! Enggak ndeso!

Memangnya salah hidup tanpa AC? Salah hidup tanpa komputer? Salah hidup ndeso style? Karena ada orang-orang yang hidup di desa mengolah padi jadi beras itu yang bikin orang Indonesia hidup sekarang! *padahal kan makan ga harus pake nasi ya? dasar orang Indonesia hehehe*

Anyway, it's just a thought. Any opinion will be highly appreciated. Don't get me wrong, saya bukannya enggak suka modern lifestyle tapi modern lifestyle is not the only choice to live with kan? Why don't we respect each other then? Gosh...

Sunday, 13 September 2009
5:26 pm

Thursday, September 10, 2009

duit duit duit

Apabila kita bicara soal uang, maka semua orang sama agamanya. –Voltaire-

Saya lagi ribet masalah duit. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, kapan sih saya pernah nggak ribet soal duit? Kapan sih orang ga pernah ribet sama duit? Mulai dari negara sampai orang-orang yang tinggal di kampung. Semuanya pernah ribet sama duit.

Jadi kalau ada yang bilang: uang adalah akar dari segala kejahatan barangkali ada benarnya.

Saya benci duit, tapi saya butuh duit. Duit lebih sering bikin orang gelap mata dan enggak peduli. Level manusia lebih sering diukur dari banyaknya duit di kantong. Semakin tebel kantong karena duit semakin tinggi levelnya, semakin banyak orang yang menunduk-nunduk di depan dia kalo jalan karena merasa harus hormat. Padahal sebagai sesama manusia kita memang harus saling menghormati, bukan karena mereka banyak duit lalu kita menghormati mereka. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer: Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dan persoalannya. (Bumi Manusia, Pramoedya A. Toer)

Banyak duit sering sekali disamakan dengan kebahagiaan. Padahal itu adalah dua hal yang berbeda. Jika punya banyak duit tapi stress mikirin gimana supaya itu duit nambah terus, apa kemudian jadi kebahagiaan? Kebahagiaan tidak bisa diukur dengan banyaknya uang. Pernah suatu hari teman saya bilang, dia stress karena nggak bisa kasi mamanya duit banyak-banyak sementara mamanya sering cerita kalo teman-temannya (sesama mama-mama) dapet duit jutaan tiap bulannya dari anak-anaknya jadi tinggal mereka ongkang-ongkang kaki saja. Saya nggak nyalahin mamanya teman saya ini, barangkali beliau cuma sekedar cerita walaupun yang cuma sekedar cerita itu bisa bikin stress anaknya.

Sebenernya saya paling males kalau stress hanya gara-gara masalah duit. Tapi apa boleh buat. Saya sering sekali iri sama orang yang kalau mau ke luar negeri aja gampang bukan main. Pernah saya dengar ada juga orang saking kayanya (dia tinggal di Jawa) kalau lagi kepengen nasi babi guling khas Bali, ya udah dia tinggal beli tiket, terbang ke Bali untuk makan siang dengan menu nasi babi guling itu kemudian balik lagi ke Jawa. Itu nasi babi guling harganya jadi mahal banget ya? Jadi inget film Jumper. Tapi saya enggak akan iri dengan orang yang banyak duit tapi memakai duit itu untuk bikin hidup orang lain nggak tenang. Kayak yang pernah saya dengar. Hanya karena pembantunya pernah ambil duit 50 rebu, setelah dipecat dan pembantunya ini kerja lagi di sebuah pabrik, ia menyewa preman-preman itu untuk mendatangi mantan pembantunya ini dan menyeret keluar pabrik – hanya untuk memperingatkan bahwa ia pernah melakukan kesalahan. Oh well, pembantunya memang salah sih, tapi apa perlu sampe menyewa preman *percayalah sewa preman itu tak murah, sodara-sodara* untuk melakukan ancaman?

Jadi poin utama tulisan ini apa? Enggak ada. Saya memang lagi pusing aja masalah duit. Dan saya benci musti pusing kepala hanya gara-gara duit. Untuk informasi saja, saya juga paling benci nunduk-nunduk di depan orang hanya karena dia punya banyak duit. Sama bencinya dengan smoker yang ngerokok di depan tanda dilarang merokok.


Thursday, 10 September 2009
11:43 am

Tuesday, September 01, 2009

a fan

Dulu sekali saya ngefans dengan Boyzone.

Gara-garanya sepele. Sepupu saya dari luar kota datang berkunjung sambil bawa kaset *waktu itu masih kaset, boo* Boyzone album A Different Beat dan bilang kalau dia suka banget dengan Ronan Keating. Setelah saya lihat-lihat cover kaset-nya, dengerin lagu-lagunya, akhirnya saya ngefans dengan Boyzone. Tapi saya nggak suka dengan Ronan, saya lebih suka Stephen Gately, yang belakangan saya tahu bahwa dia nggak mungkin suka sama saya *gile.. siapa saya coba?*, sama nggak mungkinnya suka dengan Charlize Teron atau Beyonce Knowles, karena dia GAY. Dia lebih suka cowok. Enggak ribet, katanya. Yang terakhir saya tambahin sendiri kok, hehehe.

Setelah era Boyzone kelar dan saya nemu cowok-cowok lain yang lebih keren, beralihlah saya mengidolakan Backstreet Boys. Di mata saya, Backstreet Boys (BSB) lebih macho ketimbang Boyzone atau Westlife, karena mereka menyanyi sambil dance. Dan yang paling saya suka di BSB itu bukan Nick Carter, tapi Howard Dorough.

Karena apa? Bukan karena dia GAY *untunglah.. masa saya kedapetan ngefans sama gay mulu?* tapi karena.. karena apa ya? Apa karena dia nggak gay? Lah, kok saya jadi bingung? Pokoknya saya suka deh liat dia!

Masa-masa itu sekarang sudah berlalu. Saya enggak terlalu suka ngefans lagi. Buat saya, artis dan saya itu sama-sama manusia, kenapa saya harus ngefans sesama manusia? Apa istimewanya? Jalan hidup kita aja yang beda.

Tapi, barangkali saya harus menjilat ludah saya sendiri. Kalau ditanya, sekarang saya lagi ngefans sama siapa? Saya bakal balik tanya: artis lokal atau luar negeri nih? Karena ketika ditanya artis luar negeri.. saya rada bingung juga mau jawab. Saya suka dengan Jude Law. Saya suka dengan Charlie Cox. Saya suka dengan Johnny Depp. Tapi kalau sampai harus mengejar mereka, memimpikan ketemu mereka, enggak pernah tuh. Tapi ada satu artis yang bikin saya kepengen ketemu dia. Saya suka ini artis bukan karena dia ganteng. Bukan karena badannya bagus. Bukan karena aktingnya bagus. Bukan juga karena suaranya bagus. Tapi karena dia lucu dan dia selalu menciptakan lagu kocak yang ber-message.

Siapa dia?

Adik saya pasti udah tahu. Temen-temen deket saya juga pasti udah tahu. Karena memang cuma dengan orang ini saya bisa heboh dan lebay.

Siapa dia?

Yang ini nih..







Ada yang tahu namanya?

Yep. Dia itu Yosi dari grup Project Pop, yang lagu-lagunya kocak abis, tapi masih bermakna. Yosi ini yang paling banyak nyiptain lagu-lagunya Project Pop. Dan saya ngefans berat sama dia.

Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan ketemu sama Yosi. Gara-garanya, saya dikasi tugas untuk ngelobi dia untuk jadi salah satu bintang tamu di pementasan amal yang kami adakan bulan November nanti. Saya ketemuan sama dia di hotel *jangan ngeres lho mikirnya*. Sebelum ketemuan ini saya sempat kontak-kontakan sama dia. Awalnya saya telpon dua kali enggak diangkat-angkat. Saya pikir, wah ternyata artis ini memang susah dihubungi yah.. atau emang nggak mau angkat? Tapi baru pagi saya telpon dua kali, sorenya malah Yosi sendiri yang telpon saya. Bisa kebayang saya hebohnya kayak apa?? Dan itu beneran Yosinya sendiri lho yang telepon. Bukan manajernya, bukan istrinya *emang ada hubungan apa coba?* Terus waktu saya sms, dia juga ngebales, biarpun enggak langsung, tapi besoknya. Paling enggak waktu dia bales, dia selalu bilang: sori baru bales. Semakin termehek-mehek lah saya *mulai lebay*!

Terus waktu ketemuan di hotel... ah saya nggak mau cerita disini. Biar itu jadi kenangan pribadi saya. Biar ga ada foto dengan dia, biar ga ada saksi, biar ada yang bilang ga ada bukti kalau saya ketemu dia, saya nggak peduli. Yang penting saya pernah ketemu dia. Biarpun mulut jadi terkunci dan saya belingsatan tak karuan waktu ketemu dia, enggak tahu mau ngomong apa, padahal kata suami, saya ini cerewet bukan main. Biar pertemuan itu betul-betul saya sendiri yang merasakannya. Bukannya saya egois - tidak mau membagikan pengalaman menyenangkan antar seorang fans dan idolanya, tapi karena memang begitulah adanya.

Yosi memang pada akhirnya tidak jadi bergabung menjadi salah satu bintang tamu pada pementasan amal yang kami adakan karena pada tanggal yang sama project pop sudah ada jadwal yang tidak bisa tidak dihadiri oleh Yosi. Tapi ada satu hal lagi yang bikin saya berpikir kalau saya memang nggak salah ngefans sama dia.

Inilah ceritanya. *Dengerin ya, Dek..*

Setelah mendapat kepastian dari sang manajer bahwa pada tanggal tersebut Yosi dan project pop ada jadwal manggung dan karenanya Yosi tidak bisa hadir sebagai bintang tamu pada acara kami, saya mengirim sms pada Yosi untuk memberi informasi tersebut. Paling tidak, untuk berterima kasih karena dia sempat direpotin oleh saya dan berterima kasih karena sebenarnya dia sudah bersedia menjadi bintang tamu pada acara kami, hanya waktu yang tidak memungkinkan. Ketika saya kirim sms itu, saya SAMA SEKALI tidak berharap bakal dibalas. Hei, saya cuma memberitahu kan? Just info. Tapi ternyata dia masih membalas. Dia minta maaf karena jadwal acara kami bentrok dengan jadwal acaranya yang menyebabkan ia nggak bisa bergabung dengan kami. Dan dia berharap *yang ini saya tahu sih mungkin rada ada sedikit basa-basi hehe* bisa pelayanan bareng lain waktu.

So sweet? Atau biasa aja? Barangkali ada yang bilang saya berlebihan. Saya lebay. Biar aja. Yang penting saya menikmatinya. Dan saya menganggap itu mungkin sedikit hadiah dari Yang Di Atas buat saya.

1st of September 2009
2:42 pm